Sabtu, 25 Desember 2010

Selamat Ulang Tahun

Jalan2 k kota medan, oleh2nya buah tomat
Hnya ini yg bs ku ucapkan, Selamat Ulang Tahun padamu sobat,,,
Moga dg bertambahnya usia, jd tmbh imut juga, panjang umur, sht sllu, n sgala cita2 dapt terwujud sll, serta bahagia……….kutunggu traktiranya

Jumat, 24 Desember 2010

Sejarah KH.Rifai

Syaikh Ahmad Rifa’i


Ulama dan Sastrawan Ulung dari Jawa
Syaikh Ahmad Rifa’i (Bukan Syeikh Ahmad Ar Rifa’i yang karyanya di muat bersambung di Cahaya Sufi). Dilahirkan di desa Tempuran Kabupaten Kendal Jawa Tengah pada Tanggal 9 Muharram1200 Hijrah bertepatan dengan tahun 1786 Masehi. Ayahnya bernama RKH. Muhammad bin RKH. Abi Suja’ alias Raden Soetjowidjojo, yang menjadi hakim agama di kabupaten tersebut. Ayahnya meninggal ketika Ahmad Rifa’i berumur 6 tahun. Saudara dekatnya yang paling besar ialah Syaikh Al Asyari (suami Nyai Rajiyah binti Muhammad) ulama pendiri/pemimpin Pondok Pesantren Kaliwungu, mengasuh dan membesarkan dengan pendidikan keagamaan yang benar selama 20 tahun.

Pada tahun 1230 H./1816 M., ketika usianya mencapai 30 tahun, Ahmad Rifa’i pergi ke Mekkah untuk menunaikan kewajiban ibadah haji, dan selama 8 tahun mendalami ilmu-ilmu keislaman
di bawah guru Syaikh Ahmad Usman dan Syaikh Al Faqih Muhammad Ibn Abd al Aziz al Jaisyi, kemudian melanjutkan belajarnya ke Mesir selama 12 tahun, di Kairo, dia belajar kitab-kitab fiqih mazhab Syaffi, demikian dilakukan dengan petunjuk dan arahan dari guru-guru agung dan dua diantara guru-gurunya adalah Syaikh Ibrahim al Bajuri dan Syaikh Abdurrahman al Misry.

Setelah 20 tahun belajar di Timur Tengah, kemudian Ahmad Rifa’i pulang ke Indonesia bersama Syaikh Nawawi Banten dan Syaikh Muhammad Kholil Bangkalan Madura. Dan pada waktu ingin kembali ke Indonesia ketiganya duduk berkeliling memusyawarahkan untuk menyatakan menyebarkan ilmu yang diperolehnya dalam bentuk tulisan, maka mereka bersepakat untuk mengamalkan kewajiban menyampaikan diantara ketiga ulama tersebut, yaitu:
Pertama, kewajiban menjalan kan amar makruf dan nahi munkar.
Kedua, menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa pribumi untuk mencapai kesuksesan dakwah Islamiyah.
Ketiga, mendirikan pondok-pondok pesantren.
Keempat, Jihad fi sabililah untuk mengusir penjajah Belanda dari tanah air.

Mereka sepakat bahwa setiap individu wajib mengembangkan ajarannya, pendidikan dan keagamaan. Maka Muhammad Khofil Bangkalan bertanggung Jawab untuk menyusun kitab-kitab tentang tauhid; Syaikh Nawawi Banten bertanggungjawab dalam menyusun kitab-kitab mengenai tasawuf, dan Syaikh Ahmad Rif’i diberi tanggung jawab untuk mengarang kitab-kitab fiqih. Kedua ulama dari ketiganya memutuskan untuk hidup di tanah airnya, adapun Syaikh Nawawi pada kesempatan lain pergi ke Makkah dan hidup di sana sampai wafatnya di tanah suci tersebut dan dikuburkan di Ma’la, Syaikh Ahmad Rifa’i memilih tinggal di desa Kaliwungu Kendal, agar bisa memusatkan perhatiannya merealisasikan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dan mengarang kitab-kitab Tarajumah. Di samping kesibukannya dalarn urusan pengajaran dan mengarang kitab, Ahmad Rifa’i bekerja keras menanamkan keislaman khususnya kepada murid-muridnya dan kepada masyarakat pada umumnya. Pada waktu itu pemerintah kolonial dan antek-anteknya menjarah penduduk dan tanah airnya untuk dibawa ke negeri kincir angin Belanda.

Ahmad Rifa’i memandang, bahwa mereka itu adalah orang-orang yang bertanggungjawab atas kesengsaraan yang telah menimpa umat Islam pada waktu itu. Gerakan Ahmad Rifa’i telah menyebabkan harus berhadapan dengan pemerintahan kolonial. Karena takut, pemerintah Belanda memanggil Ahmad Rifa’i dan ditempatkan di penjara Kendal dan Semarang.

Setelah keluar dari penjara Ahmad Rifa’i pindah ke desa Kalisalak (Kalisasak). Di desa tersebut dia menikahi gadis yang solehah namanya Sujinah, setelah istri pertamannya, Ummil Umrah meninggal dunia. Kalisalak adalah desa terpencil yang terletak di kecamatan Limpung kabupaten Batang, Jawa Tengah. Di desa tersebut pertama kali Ahmad Rifa’i mendirikan lembaga pondok pesantren yang namanya semakin terkenal di kalangan orang banyak dan berdatangan para murid dari berbagai daerah seperti Kendal, Pekalongan, Wonosobo, dan daerah lainnya.

Untuk memperkuat dan melestarikan pengajarannya selama-lamanya, Ahmad Rifa’i RA. mempersiapkan murid-muridnya dengan cara khusus seperti pengkaderan untuk masa depan pemikiran dan pergerakannya. Mereka itu orang-orang yang akan mengembangkan kitab-kitab yang telah dikarang oleh Ahmad Rifa’i dan mereka dikenal sebagai para penerus. Di antara mereka adalah Abdul Hamid bin Giwa alias Kiai Hadits (Wonosobo), Abu Hasan (Wonosobo), Abdul Hadi (Wonosobo), Abu Ilham (Batang), Ilham bin Abu Ilham (Batang), Maufura bin Nawawi (Batang), Idris bin Abu Ilham (Indramayu), Abdul Manaf dan Abdul Qahar (Kendal), Iman Tsani (Kebumen), Muharar (Purwarejo), Muhsin (Kendal), Muhammad Thuba bin Rodam (Kendal) serta. Abu Salim (Pekalongan) dan sejumlah murid lainnya yang masih banyak.
Ketika pemerintah penjajah mengetahui bahwa gerakan Syaikh Ahmad Rifa’i lambat laun semakin banyak pengikutnya dari daerah lain, maka pemerintah kolonial menangkap dan mengasingkan Ahmad Rifa’i ke Ambon pada tanggal 16 Syawal 1275 Hijriyah (19 Mei 1859).
Maka Ahmad Rifa’i menjadi terasing dari khalayak ramai tetapi dia tidak meninggalkan mengarang kitab sebagai wahana untuk dakwah Islamiyah. Seluruh karya Ar Rifa’i menggunakan bahasa jawa dalam bentuk sya’ir. Menurut keterangan bahwa ia mengarang 4 judul kitab dan 60 kebet tanbih dalam bahasa Melayu ketika berdakwah di Maluku yang kitab-kitabnya dikirimkan ke murid-muridnya di Jawa. Kemudian Ahmad Rifa’i juga pindah ke Kampung Jawa Tondano Kabupaten Minahasa, Menado dan meninggal dunia disana setelah berumur 89 tahun.

Sejarah Kabupaten Batang Jawa Tengah

Sejarah Batang
Kabupaten Batang dapat dibagi dalam 3 periodisasi sejarah. Berdiri sebagai Kabupaten sejak awal abad 17 dan bertahan sampai dengan 31 Desember 1935. Per 1 Januari 1936, Batang secara resmi digabungkan kedalam Pemerintahan Kabupaten Pekalongan.
Tahun 1946, mulai ada gagasan untuk menuntut kembalinya status Kabupaten Batang. Ide pertama lahir dari Mohari yang disalurkan melalui sidang KNI Daerah dibawah pimpinan H.Ridwan. Sidang bertempat di gedung bekas rumah Contrder Belanda (Komres Kepolisian 922).
Tahun 1952, terbentuk sebuah Panitia yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Batang. Panitia ini dinamakan Panitia Pengembalian Kabupaten Batang, yang bertugas menjalankan amanat masyarakat Batang.
Dalam kepanitiaan ini duduk dari kalangan badan legislatif serta pemuka masyarakat yang berpengaruh saat itu. Susunan panitianya terdiri atas RM Mandojo Dewono (Direktur SGB Batang) sebagai Ketua, R. Abutalkah dan R. Soedijono (anggota DPRDS Kabupaten Pekalongan) sebagai Wakil Ketua. Panitia juga dilengkapi dengan dua anggota yaitu R. Soenarjo (anggota DPRDS yang juga Kepala Desa Kauman) dan Rachmat (anggota DPRDS).
Tahun 1953, Panitia menyampaikan Surat Permohonan terbentuknya kembali status Kabupaten Batang lengkap satu berkas, yang langsung diterima oleh Presiden Soekarno pada saat mengadakan peninjauan daerah dan menuju ke Semarang dengan jawaban akan diperhatikan.
Tahun 1955, Panitia mengutus delegasi ke pemerintah pusat, yang terdiri atas RM Mandojo Dewono, R.Abutalkah, dan Sutarto (dari DPRDS).
Tahun 1957, dikirim dua delegasi lagi. Delegasi I, terdiri atas M. Anwar Nasution (wakil ketua DPRDS), R.Abutalkah, dan Rachmat (Ketua DPRD Peralihan). Sedangkan delegasi II dipercayakan kepada Rachmat (Kepala Daerah Kabupaten Pekalongan), R.Abutalkah, serta M.Anwar Nasution.
Tahun 1962, mengirimkan utusan sekali. Utusan tersebut dipercayakan kepada M. Soenarjo (anggota DPRD Kabupaten Pekalongan dan juga Wedana Batang) sebagai ketua, sebagai pelapor ditetapkan Soedibjo (anggota DPRD), serta dibantu oleh anggota yaitu H. Abdullah Maksoem dan R. Abutalkah.
Tahun 1964, dikirim empat delegasi. Delegasi I, ketuanya dipercayakan R. Abutalkah, sedang pelapor adalah Achmad Rochaby (anggota DPRD). Delegasi ini dilengkapi lima orang anggota DPRD Kabupaten Pekalongan, yaitu Rachmat, R. Moechjidi, Ratam Moehardjo, Soedibjo, dan M. Soenarjo.
Delegasi II, susunan keanggotaannya sama dengan Delegasi I tersebut, sebelum menyampaikan tuntutan rakyat Batang seperti pada delegasi-delegasi terdahulu, yaitu kepada Menteri Dalam Negeri di Jakarta diawali penyampaian tuntutan tersebut kepada Gubernur Kepala Daerah Propinsi Jawa Tengah di Semarang.
Delegasi III, yang juga susunan keanggotaannya sama dengan Delegasi I dan II kembali mengambil langkah menyampaikan tuntutan rakyat Batang langsung kepada Mendagri. Sedang Delegasi IV mengalami perubahan susunan keanggotaan. Dalam delegasi ini sebagai ketua R. Abutalkah, sebagai wakil ketua Rachmat, sedangkan sebagai pelapor adalah Ratam Moehardjo, Ahmad Rochaby sebagai sekretaris I, R. Moechjidi sebagai sekretaris II serta dilengkapi anggota yaitu Soedibjo dan M. Soenarjo.
Tahun 1965, diutus delegasi terakhir. Sebagai ketua R. Abutalkah, wakil ketua Rachmat, sekretaris I Achmad Rochaby, sekretaris II R. Moechjidi, pelapor Ratam Moehardjo serta dilengkapi dua orang anggota yaitu M. Soenarjo dan Soedibjo. Delegasi terakhir atau kesepuluh itu, memperoleh kesempatan untuk menyaksikan sidang paripurna DPR GR dalam acara persetujuan dewan atas Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Pemerintah Kabupaten Batang menjadi Undang-undang.
Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Batang terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1965, yang dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 52, tanggal 14 Juni 1965 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri RI Nomor 20 Tahun 1965, tanggal 14 Juli 1965.
Tanggal 8 April 1966, bertepatan hari Jumat Kliwon, yaitu hari yang dianggap penuh berkah bagi masyarakat tradisional Batang, dengan mengambil tempat di bekas Kanjengan Batang lama (rumah dinas yang sekaligus kantor para Bupati Batang lama) dilaksanakan peresmian pembentukan Daerah Tingkat II Batang.
Upacara yang berlangsung khidmat dari jam 08.00 s/d 11.00 itu, ditandai antara lain dengan Pernyataan Pembentukan Kabupaten Batang oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi Jawa Tengah Brigjend (Tit) KKO-AL Mochtar, pelantikan R. Sadi Poerwopranoto sebagai Pejabat Bupati Kepala Daerah Batang, serah terima wewenang wilayah dari Bupati KDH Pekalongan kepada Pejabat Bupati KDH Batang, serta sambutan dari Gubernur Kepala Daerah Jawa Tengah.
[sunting] Daftar Bupati
1. R. Sadi Poerwopranoto, 8 April 1966 s/d 31 Mei 1967
2. R. Harjono Prodjodirdjo, 31 Mei 1967 s/d 10 Oktober 1972
3. Soejitno, 10 November 1972 s/d 21 Maret 1979
4. Soekirdjo, 21 Maret 1979 s/d 1 Januari 1988
5. Soehoed, 26 Juli 1988 s/d 26 Juli 1993
6. Moeslich Effendi, SH, 26 Juli 1993 - 26 Juli 1998
7. Djoko Poernomo, SH, MM, 22 Oktober 1998 - 7 Agustus 2001
8. Bambang Bintoro, SE, 11 Februari 2002 - sekarang
[sunting] Pembagian administratif
Kabupaten Batang terdiri atas 15 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Batang.
Di samping Batang, kota-kota kecamatan lainnya yang cukup signifikan adalah Tulis, Subah, Gringsing (Plelen); ketiganya berada di jalur pantura serta Limpung sebagai segitiga emas pertemuan bisnis Tersono, Bawang, Bandar. Juga di selatan kota Batang ada Bandar yang saat ini berkembang pesat.
[sembunyikan]
l • d • s
Kabupaten Batang, Jawa Tengah

Kecamatan Bandar • Banyuputih • Batang • Bawang • Blado • Gringsing • Kandeman • Limpung • Pecalungan • Reban • Subah • Tersono • Tulis • Warungasem • Wonotunggal


[sunting] Transportasi
Batang dilalui jalan negara jalur pantura(Jalan Daendels 1808 M) , yang menghubungkan Jakarta-Semarang-Surabaya-Banyuwangi ). Meski jalan negara tersebut memiliki 5 lajur, 3 di kanan dan 2 di kiri, namun saat musim mudik lebaran terjadi kemacetan di jalur ini. Tersedia jalur alternatif untuk menghindari kemacetan ini, yaitu melalui Batang - Bandar - Blado - Reban - Bawang - Sukorejo - Parakan - Temanggung - Magelang - Jogja dan Batang - Bandar - Limpung - Tersono - Sukorejo - Weleri - Semarang.
Kabupaten Batang juga dilintasi jalur kereta api lintas utara pulau Jawa (Jakarta-Surabaya). Karena kedekatannya dengan Kota Pekalongan yang lebih besar, kebanyakan kereta api tidak berhenti di stasiun Batang. Naik kereta api melalui wilayah Kabupaten Batang sangat menarik dan tidak membosankan, karena rel berada tepat di tepi pantai yang memiliki pemandangan indah.
Terminal angkutan Bus terpenting di Kabupaten Batang adalah Terminal Banyuputih dan Terminal Limpung yang selalu ramai disinggahi bus antar kota . Sedangkan Bus Antar Kota-antar propinsi akan singgah untuk istirahat di banyak restaurant di Kecamatan Gringsing .
Terminal angkutan barang / truk ada di Banyuputih dan Timbang , sehngga Batang yang terletak di pertengahan pulau Jawa selalu disinggahi truk-truk barang antar pulau di Indonesia .
[sunting] Perekonomian
Posisi wilayah Kabupaten Batang berada pada jalur ekonomi pulau Jawa sebelah utara. Arus transportasi dan mobilitas yang tinggi di jalur pantura memungkinkan berkembangnya kawasan tersebut yang cukup prospektif di sektor jasa transit dan transportasi.
Kondisi wilayah Kabupaten Batang yang merupakan kombinasi antara daerah pantai, dataran rendah dan pegunungan, menjadikan Kabupaten Batang berpotensi yang sangat besar untuk agroindustri, agrowisata dan agribisnis.
[sunting] Potensi Investasi
Terdapat banyak industri tekstil di wilayah Kabupaten Batang, dari skala rumah tangga sampai industri berorientasi ekspor, antara lain PT Primatex dan PT Saritex. Wilayah Kabupaten Batang sangat strategis dari sisi ekonomi, karena dilewati oleh jalur perdagangan nasional, jalan pantura. Wilayahnya yang memiliki garis pantai yang terhitung panjang berpotensi untuk dikembangkan menjadi pelabuhan perikanan maupun pelabuhan kargo untuk barang-barang hasil produksi industri setempat.
Rencana Pemerintah Pusat untuk membangun jaringan transmisi gas bumi dari Cirebon, Jawa Barat ke Gresik, Jawa Timur memiliki potensi tumbuhnya industri besar disepanjang jalur pipa gas tersebut. Pasokan listrik di wilayah Batang juga dapat diandalkan, karena dilewati oleh jaringan SUTET milik PT PLN (persero). Di beberapa wilayah juga memiliki potensi energi hidro yang dapat dikembangkan menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH).
Wilayah Batang yang sangat luas, dengan sejarah bencana geologi yang hampir tidak ada, ditunjang sumber daya manusia yang melimpah akan menguntungkan bagi investor yang hendak membangun industri di wilayah ini.

Tantangan Globalisasi

Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi
Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain). Fenomena modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi. Sebagai akibatnya, media ini, khususnya televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol pola fikir seseorang oleh mereka yang mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Persoalan sebenarnya terletak pada mereka yang menguasai komunikasi global tersebut memiliki perbedaan perspektif yang ekstrim dengan Islam dalam memberikan criteria nilai-nilai moral; antara nilai baik dan buruk, antara kebenaran sejati dan yang artifisial.
Di sisi lain era kontemporer identik dengan era sains dan teknologi, yang pengembangannya tidak terlepas dari studi kritis dan riset yang tidak kenal henti. Dengan semangat yang tak pernah padam ini para saintis telah memberikan kontribusi yang besar kepada keseejahteraan umat manusia di samping kepada sains itu sendiri. Hal ini sesuai dengan identifikasi para saintis sebagai pecinta kebenaran dan pencarian untuk kebaikan seluruh umat manusia. Akan tetapi, sekali lagi, dengan perbedaan perspektif terhadap nilai-nilai etika dan moralitas agama, jargon saintis sebagai pencari kebenaran tampaknya perlu dipertanyakan. Apalagi bila dilihat data-data beriktu:
Di pusat riset Porton Down di Inggris para saintis memakai binatang-binatang yang masih hidup untuk menguji coba baju anti peluru. Hewan-hewan tersebut dimasukkan ke dalam troli yang kemudian diledakkan. Pada awalnya, monyet yang dipakai dalam berbagai eksperimen tetapi para saintis kemudian menggantinya dengan babi. Binatang-binatang tersebut ditembak persis di atas mata untuk meneliti efek daripada misil berkecepatan tinggi pada jaringan otak.
Di Amerika Serikat, di akhir tahun 40-an, anak-anak remaja diberi sarapan yang dicampuri radioaktif, ibu-ibu setengah baya disuntik dengan plutonium radioaktif dan biji kemaluan para tahanan disuntik radiasi – semua atas nama sains, kemajuan dan keamanan. Eksperimen-eksperimen ini diadakan sejak tahun 1940-an sampai 1970-an (Brown, 1994).
Selama tahun 1950-an, 60-an dan 70-an, menurut New York Times, wajib bagi seluruh mahasiswa baru, laki-laki dan perempuan, di Harvard, Yale dan universitas-universitas elit lain di Amerika, difoto telanjang untuk sebuah proyek besar yang didisain dalam rangka untuk menunjukkan bahwa ‘tubuh seseorang’ yang diukur dan dianalisa, dapat bercerita banyak tentang intelegensia, watak, nilai moral dan kemungkinan pencapaiannya di masa depan. Ide ini berasal dari pendiri Darwinisime Sosial, Francis Galton, yang mengajukan foto-foto arsip tersebut untuk dewan kependudukan Inggris. Sejak awal tujuan dari pemotretan-pemotretan ini adalah egenetika. Data-data yang terakumulasi akan dipakai sebagai proposal untuk ‘mengontrol dan membatasi produksi organisme dari orang-orang yang inferior dan tidak berguna’. Beberapa organisme tipe terakhir ini akan dikenakan sangsi bila melakukan reproduksi … atau akan disteril (Rosenbaum, 1995).
Sementara itu media televisi, sebagai hasil pencapaian teknologi modern yang paling luas jangkauannya memiliki dampak sosio-psikologis sangat kuat pada pemirsanya. Beberapa hasil studi berhasil menguak hubungan antara menonton televisi dengan sikap agresif (Huismon & Eron, 1986; Wiegman, Kuttschreuter & Baarda, 1992), dengan sikap anti social (Hagell & Newburn, 1996), dengan sikap aktifitas santai (Selnon & Reynolds, 1984), dengan kecenderungan gaya hidup (Henry & Patrick, 1977), dengan sikap rasial (Zeckerman, Singer &Singer, 1980), kecenderungan atas preferensi seksual (Silverman – Watkins & Sprafkin, 1983), kesadaran akan daya tarik seksual (Tan, 1979), stereotype peran seksual (Durkin, 1985), dengan bunuh diri (Gould & Shaffer, 1986), identifikasi diri dengan karakter-karakter di televisi (Shaheen, 1983).
Hasil-hasil studi yang lain tentang dampak-dampak televisi menunjukkan indikasi yang cenderung ‘agak menggembirakan’. Seperti adanya kesadaran akan segala peristiwa yang terjadi di seluruh dunia (Cairn, 1990), kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara (Conway, Steven & Smith, 1975), bertambhanya pengetahuan akan geografi (Earl & Pasternack, 1991), meningkatnya pengetahuan tentang masalah politik (Furnham & Gunter, 1983), bersikap pro social (Gunter, 1984).
Tetapi perlu dicatat bahwa sejak munculnyaera televisi dibarengi dengan timbulnya berpuluh-puluh channel dengan menawarkan berbagai acara-acara yang menarik dan bervariasi, umat Islam hanya berperan sebagai konsumen, orang Barat-lah (baca, non-Muslim) yang memegang kendali semua teknologi modern tak terkecuali televisi. Dari sini beberapa permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan Islam, mencuat ke permukaan. Pertama, apa langkah yang harus ditempuh oleh setiap Muslim, orang tua dan para pendidik, dalam upaya mengantisipasi dan merespon sejak dini gejala-gejala distorsi moral yang adiakibatkan oleh media televisi, internet dan media-media audio visual lainnya?
Kedua, bahwa Barat merupakan satu-satunya pemegang peran kunci dari seluruh media berita baik media cetak, maupun media elektronik. Seperti dimaklumi pemberitaan-pemberitaan tersebut banyak mengandung bias, khususnya bila ada kaitan langsung atau tidak langsung dengan dunia Islam. Ketiga, sains dan teknologi menjadi dominasi khusus dunia Barat (Young, 1077), dengan demikian setiap Muslim yang berminat mendalami bidang-bidang ini harus mengikuti term-term yang ditentukan oleh Barat, yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai Islami. Sehingga dalam beberapa kasus sering terjadi para saintis Muslim, secara sadar atau tidak, tercerabut dari akar-akar keislaman, dan menjadi pembela fanatik Barat.
Dalam tulisan berikut konsep pendidikan Islam yang ditawarkan meliputi dua tahap, jangka pendek dan jangka panjang. Yang pertama melibatkan pertisipasi setiap individu Muslim, sedang yang kedua mencakup keterlibatan institusi, lembaga dan bahkan negar
Diversifikasi Konsep Pendidikan Islam
Ahmed (1990) mendefinisikan pendidikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan individu-individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktifitas kehidupan secara efektif dan berhasil.”
Khan (1986) mendefinisikan maksud dan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
a. Memberikan pengajaran Al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan.
b. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran ini bersifat abadi.
c. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
d. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
e. Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan.
f. Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal.

Pendekatan pendidikan Islam yang diajukan oleh kedua pakar pendidikan di atas tersimpul dalam First World Conference on Muslim Education yang diadakan di Makkah pada tahun 1977:
“Tujuan daripada pendidikan (Islam) adalah menciptakan ‘manusia yang baik dan bertakwa ‘yang menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktifitas kesehariannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan.”
Oleh karena itu jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN (dulu IAIN).1 Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji. Sehingga diharapkan akan bermunculan “anak-anak muda enerjik yang berotak Jerman dan berhati Makkah” seperti yang sering dikatakan oleh mantan Presiden B.J. Habibie. Kata-kata senada dan lebih komprehensif diungkapkan oleh Al-Faruqi (1987) pendiri International Institute of Islamic Thought, Amerika Serikat, dalam upayanya mengislamkan ilmu pengetahuan. Sengaja saya kutip menurut teks aslinya untuk tidak mengurangi semangan universalitas Islam yang terkandung di dalamnya:

“Islamization does not mean subordination of any body of knowledge to dogmatic principles or arbitrary objectives, but liberation f rom such shackles. Islam regards all knowledge as critical; i.e., as universal, necessary and rational. It wants to see every claims pass through the tests of internal coherence correspondence with reality, and enhancement of human life and morality. Consequently, the Islamized discipline which we hope to reach in the future will turn a new page in the history of the human spirit, and bring it clear to the truth.”

Di sini perlu ditekankan bahwa konsep pendidikan dalam Islam adalah ‘long life education’ atau dalam bahasa Hadits Nabi “sejak dari pangkuan ibu sampai ke liang lahat” (from the cradle to the grave). Itu berarti pada tahap-tahap awal, khususnya sebelum memasuki bangku sekolah, perang orang tua terutama ibu amatlah krusial dan menentukan mengingat pada usia balita inilah pendidik, dalam hal ini orang tua, memegang peran penting di dalam menanamkan nilai-nilai keislaman kepada anak. Sayangnya orang tua bukanlah satu-satunya pendidik di rumah, ada pendidik lain yang kadang-kadang peranannya justru lebih dominan dari orang tua yang di Barat disebut dengan idiot box atau televisi. Dampak lebih jauh televisi terhadap perkembangan anak balita seperti yang dikatakan Hiesberger (1981) bisa mengarah pada “a dominant voice in our lives dan a major agent of socialization in the lives of our children” (menjadi suara dominan dalam kehidupan kita dan agen utama proses sosialisasi dalam kehidupan anak-anak kita).
Tentu saja peran orang tua tidak berhenti sampai di sini, keterlibatan orang tua juga diperlukan pada fase-fase berikutnya ketika anak mulai memasuki usia sekolah, baik SD, SMP, maupun SMU. Menjelang mas pubertas yakni pada usia antara dua belas sampai delapan belas tahun anak menjalani episode yang sangat kritis di mana sukses atau gagalnya karir masa depan anak sangat tergantung pada periode ini. Robert Havinghurst, pakar psikolog Amerika, menyebutkan periode ini sebagai “developmental task” atau proses perkembangn anak menuju usia dewasa.
Apabila kita kaitkan periode developmental task ini pada aspek budaya kehidupan anak-anak Muslim, khususnya mereka yang tinggal di negara-negara non-Muslim atau di negara Islam tapi di kota-kota besar, dapat dibayangkan situasi yang mereka hadapi. Mereka tidak pernah atau jarang melihat sikap positif terhadap Islam, baik dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat. Dalam situasi seperti ini tentu merupakan tanggung jawab orang tua untuk menanamkan nilai0nilai moral, barbagi pengalaman kehidupan Islami yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada internalisasi misi Al-Qur’an dan Sunnah. Peran orang tua seperti ini akan sangat membantu anak dalam memasuki kehidupan yang fungsional sebagai Muslim yang dewasa dan sebagai anggota yang aktif dalam komunitas Islam. Apabila anak menampakkan tanda-tanda sikap yang negatif terhadap Islam yang disebabkan oleh pengaruh dari sekolah atau masyarakat atau karena kecerobohan dan kelengahan orang tua, maka hal ini akan mengakibatkan penolakan anak terhadap hidup Islami dan akan gagal berintegrasi dengan komunitas Islam.
Oleh karena itu adalah tugas orang tua, khususnya dan utamnya, untuk mengatur strategi yangtepat dalam rangka membantu proses pembentukan pribadi anak khususnya dalam periode developmental task tersebut.. Dalam hal ini orang tua haruslah memiliki wawasan pengetahuan yang luas serta dasar pengetahuan agama yang mencukupi untuk menghindari kesalahan strategi dalam mendidik anak. Kedua, mengalokasikan waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan bagi anak berinteraksi serta meresapi sikap-sikap Islami yang ditunjukkan oleh orang tua dalam perilaku kesehariannya. Persoalannya adalah secara factual tidak semua orang dapat memenuhi criteria-kriteria di atas yang disebabkan oleh hal-hal sebagai beriktu: (a) Orang tua, terutama ibu, tidak memiliki wawasan pengetahuan yang mempuni, khususnya di bidang pegagodi anak dan nilai-nilai dasar Islami. Dalam situasi semacam ini orang tua perlu mengambil langkah-langkah beriktu sebagai upaya mengantra anak menuju pintu gerbang masa depan yang cerah, sehat dan agamis.
Pertama, mendatangkan guru privat agama pada waktu usia anak di abwah dua belas tahun untuk mengajarkan nilai-nilai dasa Islam, termasuk cara membaca Al-Qur’an dan Hadits. Pada usia tiga belas tahun sampai dengan delapan belas tahun kandungan makna Al-Qur’an dan Hadits mulai diajarkan dengan metode yang praktis, sistematis dan komprehensif, mengingat pada periode ini anak sudah mulai disibukkan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Dengan demikian diharapkan ketika memasuki bangku kuliah anak sudah memiliki gambaran yang utuh dan komprehensif tentang Islam, beserta nilai-nilai abadi yang terkandung di dalamnya. Sehingga ia tidak akan mudah menyerah terhadap tekanan-tekanan dan pengaruh-pengaruh luar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, minimal ia akan tahu ke mana jalan untuk kembali ketika, oleh pengaruh eksternal yang terlalu kuat, ia melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai-nilai Islam.
Kedua, menyekolahkan anak sejak dari SMP sampai SMU di lembaga-lembaga Islam semacam pesantren modern yang saat ini sudah banyak memiliki sekolah-sekolah umum yang berkualitas. Ketiga, memasukkan anak sejak TK sampai SMU di lembaga-lembaga pendidikan yang memakai lebel Islam, seperti yayasan Muhammadiyah, yayasan NU, yayasan al-Azahar dan lain-lain. Akan tetapi alternatif ketiga ini dalam pengamatan penulis tidak begitu efektif. Salah satu sebabnya adalah karena kurang komprehensifnya kurikulum keislaman di dalamnya. Kendatipun begitu, ini jauh lebih baik disbanding, misalnya, memasukkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim. Memang menyekolahkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim tidak berarti anak tersebut akan terkonversi ke agama lain, tetapi dampak minimal yang tak terhindarkan adalah timbulnya sikap skeptis dan apatis anak terhadap Islam.
Alhasil, semakin kuat nilai-nilai agama tertanam akan semakin kokoh resistansi anak terhadap pengaruh-pengaruh negatef dari luar. Studi kasus yang diadakan oleh Francis (1997) terhadap 20.968 anak remaja dari seratus sekolah yang tersebar diInggris dan Wales, menguatkan pendapat ini.

Reformasi Paradigma Pendidikan


Secara faktual hampir seluruh negara-negara Islam2 baru terlepas dari belenggu penjajahan Barat di akhir abad dua puluh tepatnya sekitar 1950-an. Pada umumnya terjadinya pemindahan kekuasaan dari penjajah ke tangan pribumi menimbulkan terjadinya perubahan politik di negara-negara tersebut yang sebagai akibatnya tertundanya reformasi pendidikan yang dicita-citakan sebelumnya. Rezim kekuasaan yang baru pasca kolonialisme tidak mampu memfokuskan diri pada tugas ini. Fokus utama mereka adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan di tengah-tengah terjadinya kekacauan politik. Oleh karena itu pegnembangan dan reformasi pendidikan menjadi terabaikan untuk beberapa waktu. Pendidikan hanya menjadi bagian dari retorika politik dan rencana-rencana pengembangan pendidikan terartikulasi tanpa adanya pencapaian yang berarti. Dewasa inipun anggaran negara yang dicangkan untuk program pendidikan di negara-negara Islam relatif sangat rendah sehingga infrastruktur pendidikan yang mutlak diperlukan tidak atau jarang tersedia. Sebagai contoh Malaysia, negara Islam yang relatif maju program pendidikannya ini, menurut UNESCO (1996) hanya mengalokasikan dana U$D 82 perkapita, sementara Indonesia sendiri cuma mengalokasikan U$D 6 perkapita.
Hal ini menimbulkan dampak-dampak yang tidak efektif, seperti pelajar yang hendak memperdalam ilmunya terpaksa harus pergi ke luar negeri yang biayanya relatif lebih mahal apalagi kalau tujuan belajarnya di negara-negara maju. Sementara kecenderungan belajar ke luar negeri ini menimbulkan persoalan tersendiri khususnya bagi mereka yang secara ekonomis kurang mampu.
Dari ribuan mahasiswa yang belajar di luar negeri - kecuali yang belajar di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa dan Australia yang umumnya berlatar belakang ekonomi menengah ke atas - yang tersebar di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh) dan Timur Tengah (Mesir, Jordan, Syria, Sudan, dan lain-lain) mayoritas adalah berlatar belakang ekonomi lemah (kaum santri pedesaan) yang untuk biaya studi dan menunjang kehidupan sehari-hari harus banting tulang bekerja part-time yang beraneka ragam mulai dari bekerja sebagai staf local di kedutaan-kedutaan Indonesia setempat,3 mengajar privat, berwiraswasta (seperti yang dilakukan sebagian mahasiswa Mesir dengan membuka warnet atau agen perjalanan), menjaga warnet, sampai bekerja sebagai guide jamaah haji, baik travel ONH Plus maupun jamaah haji biasa yang dikenal dengan istilah pekerja TEMUS (tenaga musim atau seasonal worker).4 Apa yang dihasilkan mereka selama kerja part-time, termasuk guide haji, umumnya sangat pas-pasan dan tidak seimbang dengan terbuangnya waktu dan tenaga yang mereka keluarkan.
Di samping itu, sudah bukan rahasia lagi bahwa di era Orde Baru pelajar mengalami banyak hambatan, khususnya untuk kuliah agama, untuk dapat belajar ke luar negeri apalagi untuk mendapatkan beasiswa. Bandingkan misalnya dengan Malaysia atau India. Para pelajarnya bukan hanya didorong untuk belajar ke luar negeri tetapi juga mendapat tawaran-tawaran beasiswa atau pinjaman-pinjaman jangka panjang yang menarik.5 Di era pasca Orba saat ini praktik-praktik mempersulit pelajar yang akan studi ke luar negeri masih saja terjadi yang dilakukan oleh berbagai pihak birokrasi yang terkait, mulai dari pengurusan paspor, permintaan rekomendasi, dan lain-lain hampir tak dapat dilakukan tanpa adanya uang pelicin di bawah meja.
Adanya amandemen konstitusi yang mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan itu sudah bagus tapi langkah ini tentu saja belum cukup, masih dibutuhkan sejumlah langkah reformasi lain di bidang pendidikan termasuk di antaranya menghilangkan praktik diskriminasi pengalokasian dana antara institusi pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag, perlunya peningkatan apresiasi kalangan birokrat terhadap pelajar dan mahasiswa

1. Kedutaan yang mempekerjakan mahasiswa Indonesia umumnya KBRI di Timur Tengah (Mesir, Syria, Tunisia, dll), sedangkan untuk KBRI India tampak lebih menyukai staf local yang langsung diambil dari Indonesia yang relatif kurang pengalaman, padahal banyak mahasiswa India yang berminat. Belum jelas apa sebab di balik penolakan KBRI India ini.
2 Dulu mahasiswa Asia Selatan dan Timur Tengah cukup mengandalkan biaya hidup dan kuliah mereka dari bekerja jadi guide haji setiap tahun, umumnya jadi guide di ONH Plus. Sekarang dengan turunnya peraturan pemerintah Saudi yang hanya membolehkan haji setiap lima tahun sekali, maka rejeki dari sector ini jadi tidak bisa diharapkan lagi, dan cuma mengharapkan bekerja sebagai guide haji biasa atau TEMUS yang tidak bisa dilakukan setiap tahun karena adanya keterbatasan quota dari Departemen Agama untuk setiap negara sehingga mahasiswa harus rela bergiliran.
3 Di Malaysia dan India prosedur untuk mendapatkan beasiswa dilakukan dan diumumkan dengan sangat transparan yang memungkinkan siapa saja yang berkualitas akan mendapatkannya tanpa kekuatiran akan di’kudeta’ oleh pihak-pihak tertentu.


Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi
Oleh: A. Fatih
Kandidat Doktor di Jamia Millia University, New Delhi, India
Member Milis Nasional Ppi India
Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain). Fenomena modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi. Sebagai akibatnya, media ini, khususnya televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol pola fikir seseorang oleh mereka yang mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Persoalan sebenarnya terletak pada mereka yang menguasai komunikasi global tersebut memiliki perbedaan perspektif yang ekstrim dengan Islam dalam memberikan criteria nilai-nilai moral; antara nilai baik dan buruk, antara kebenaran sejati dan yang artifisial.
Di sisi lain era kontemporer identik dengan era sains dan teknologi, yang pengembangannya tidak terlepas dari studi kritis dan riset yang tidak kenal henti. Dengan semangat yang tak pernah padam ini para saintis telah memberikan kontribusi yang besar kepada keseejahteraan umat manusia di samping kepada sains itu sendiri. Hal ini sesuai dengan identifikasi para saintis sebagai pecinta kebenaran dan pencarian untuk kebaikan seluruh umat manusia. Akan tetapi, sekali lagi, dengan perbedaan perspektif terhadap nilai-nilai etika dan moralitas agama, jargon saintis sebagai pencari kebenaran tampaknya perlu dipertanyakan. Apalagi bila dilihat data-data beriktu:
Di pusat riset Porton Down di Inggris para saintis memakai binatang-binatang yang masih hidup untuk menguji coba baju anti peluru. Hewan-hewan tersebut dimasukkan ke dalam troli yang kemudian diledakkan. Pada awalnya, monyet yang dipakai dalam berbagai eksperimen tetapi para saintis kemudian menggantinya dengan babi. Binatang-binatang tersebut ditembak persis di atas mata untuk meneliti efek daripada misil berkecepatan tinggi pada jaringan otak.
Di Amerika Serikat, di akhir tahun 40-an, anak-anak remaja diberi sarapan yang dicampuri radioaktif, ibu-ibu setengah baya disuntik dengan plutonium radioaktif dan biji kemaluan para tahanan disuntik radiasi – semua atas nama sains, kemajuan dan keamanan. Eksperimen-eksperimen ini diadakan sejak tahun 1940-an sampai 1970-an (Brown, 1994).
Selama tahun 1950-an, 60-an dan 70-an, menurut New York Times, wajib bagi seluruh mahasiswa baru, laki-laki dan perempuan, di Harvard, Yale dan universitas-universitas elit lain di Amerika, difoto telanjang untuk sebuah proyek besar yang didisain dalam rangka untuk menunjukkan bahwa ‘tubuh seseorang’ yang diukur dan dianalisa, dapat bercerita banyak tentang intelegensia, watak, nilai moral dan kemungkinan pencapaiannya di masa depan. Ide ini berasal dari pendiri Darwinisime Sosial, Francis Galton, yang mengajukan foto-foto arsip tersebut untuk dewan kependudukan Inggris. Sejak awal tujuan dari pemotretan-pemotretan ini adalah egenetika. Data-data yang terakumulasi akan dipakai sebagai proposal untuk ‘mengontrol dan membatasi produksi organisme dari orang-orang yang inferior dan tidak berguna’. Beberapa organisme tipe terakhir ini akan dikenakan sangsi bila melakukan reproduksi … atau akan disteril (Rosenbaum, 1995).
Sementara itu media televisi, sebagai hasil pencapaian teknologi modern yang paling luas jangkauannya memiliki dampak sosio-psikologis sangat kuat pada pemirsanya. Beberapa hasil studi berhasil menguak hubungan antara menonton televisi dengan sikap agresif (Huismon & Eron, 1986; Wiegman, Kuttschreuter & Baarda, 1992), dengan sikap anti social (Hagell & Newburn, 1996), dengan sikap aktifitas santai (Selnon & Reynolds, 1984), dengan kecenderungan gaya hidup (Henry & Patrick, 1977), dengan sikap rasial (Zeckerman, Singer &Singer, 1980), kecenderungan atas preferensi seksual (Silverman – Watkins & Sprafkin, 1983), kesadaran akan daya tarik seksual (Tan, 1979), stereotype peran seksual (Durkin, 1985), dengan bunuh diri (Gould & Shaffer, 1986), identifikasi diri dengan karakter-karakter di televisi (Shaheen, 1983).
Hasil-hasil studi yang lain tentang dampak-dampak televisi menunjukkan indikasi yang cenderung ‘agak menggembirakan’. Seperti adanya kesadaran akan segala peristiwa yang terjadi di seluruh dunia (Cairn, 1990), kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara (Conway, Steven & Smith, 1975), bertambhanya pengetahuan akan geografi (Earl & Pasternack, 1991), meningkatnya pengetahuan tentang masalah politik (Furnham & Gunter, 1983), bersikap pro social (Gunter, 1984).
Tetapi perlu dicatat bahwa sejak munculnyaera televisi dibarengi dengan timbulnya berpuluh-puluh channel dengan menawarkan berbagai acara-acara yang menarik dan bervariasi, umat Islam hanya berperan sebagai konsumen, orang Barat-lah (baca, non-Muslim) yang memegang kendali semua teknologi modern tak terkecuali televisi. Dari sini beberapa permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan Islam, mencuat ke permukaan. Pertama, apa langkah yang harus ditempuh oleh setiap Muslim, orang tua dan para pendidik, dalam upaya mengantisipasi dan merespon sejak dini gejala-gejala distorsi moral yang adiakibatkan oleh media televisi, internet dan media-media audio visual lainnya?
Kedua, bahwa Barat merupakan satu-satunya pemegang peran kunci dari seluruh media berita baik media cetak, maupun media elektronik. Seperti dimaklumi pemberitaan-pemberitaan tersebut banyak mengandung bias, khususnya bila ada kaitan langsung atau tidak langsung dengan dunia Islam. Ketiga, sains dan teknologi menjadi dominasi khusus dunia Barat (Young, 1077), dengan demikian setiap Muslim yang berminat mendalami bidang-bidang ini harus mengikuti term-term yang ditentukan oleh Barat, yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai Islami. Sehingga dalam beberapa kasus sering terjadi para saintis Muslim, secara sadar atau tidak, tercerabut dari akar-akar keislaman, dan menjadi pembela fanatik Barat.
Dalam tulisan berikut konsep pendidikan Islam yang ditawarkan meliputi dua tahap, jangka pendek dan jangka panjang. Yang pertama melibatkan pertisipasi setiap individu Muslim, sedang yang kedua mencakup keterlibatan institusi, lembaga dan bahkan negar
Diversifikasi Konsep Pendidikan Islam
Ahmed (1990) mendefinisikan pendidikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan individu-individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktifitas kehidupan secara efektif dan berhasil.”
Khan (1986) mendefinisikan maksud dan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
a. Memberikan pengajaran Al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan.
b. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran ini bersifat abadi.
c. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
d. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
e. Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan.
f. Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal.

Pendekatan pendidikan Islam yang diajukan oleh kedua pakar pendidikan di atas tersimpul dalam First World Conference on Muslim Education yang diadakan di Makkah pada tahun 1977:
“Tujuan daripada pendidikan (Islam) adalah menciptakan ‘manusia yang baik dan bertakwa ‘yang menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktifitas kesehariannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan.”
Oleh karena itu jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN (dulu IAIN).1 Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji. Sehingga diharapkan akan bermunculan “anak-anak muda enerjik yang berotak Jerman dan berhati Makkah” seperti yang sering dikatakan oleh mantan Presiden B.J. Habibie. Kata-kata senada dan lebih komprehensif diungkapkan oleh Al-Faruqi (1987) pendiri International Institute of Islamic Thought, Amerika Serikat, dalam upayanya mengislamkan ilmu pengetahuan. Sengaja saya kutip menurut teks aslinya untuk tidak mengurangi semangan universalitas Islam yang terkandung di dalamnya:

“Islamization does not mean subordination of any body of knowledge to dogmatic principles or arbitrary objectives, but liberation f rom such shackles. Islam regards all knowledge as critical; i.e., as universal, necessary and rational. It wants to see every claims pass through the tests of internal coherence correspondence with reality, and enhancement of human life and morality. Consequently, the Islamized discipline which we hope to reach in the future will turn a new page in the history of the human spirit, and bring it clear to the truth.”

Di sini perlu ditekankan bahwa konsep pendidikan dalam Islam adalah ‘long life education’ atau dalam bahasa Hadits Nabi “sejak dari pangkuan ibu sampai ke liang lahat” (from the cradle to the grave). Itu berarti pada tahap-tahap awal, khususnya sebelum memasuki bangku sekolah, perang orang tua terutama ibu amatlah krusial dan menentukan mengingat pada usia balita inilah pendidik, dalam hal ini orang tua, memegang peran penting di dalam menanamkan nilai-nilai keislaman kepada anak. Sayangnya orang tua bukanlah satu-satunya pendidik di rumah, ada pendidik lain yang kadang-kadang peranannya justru lebih dominan dari orang tua yang di Barat disebut dengan idiot box atau televisi. Dampak lebih jauh televisi terhadap perkembangan anak balita seperti yang dikatakan Hiesberger (1981) bisa mengarah pada “a dominant voice in our lives dan a major agent of socialization in the lives of our children” (menjadi suara dominan dalam kehidupan kita dan agen utama proses sosialisasi dalam kehidupan anak-anak kita).
Tentu saja peran orang tua tidak berhenti sampai di sini, keterlibatan orang tua juga diperlukan pada fase-fase berikutnya ketika anak mulai memasuki usia sekolah, baik SD, SMP, maupun SMU. Menjelang mas pubertas yakni pada usia antara dua belas sampai delapan belas tahun anak menjalani episode yang sangat kritis di mana sukses atau gagalnya karir masa depan anak sangat tergantung pada periode ini. Robert Havinghurst, pakar psikolog Amerika, menyebutkan periode ini sebagai “developmental task” atau proses perkembangn anak menuju usia dewasa.
Apabila kita kaitkan periode developmental task ini pada aspek budaya kehidupan anak-anak Muslim, khususnya mereka yang tinggal di negara-negara non-Muslim atau di negara Islam tapi di kota-kota besar, dapat dibayangkan situasi yang mereka hadapi. Mereka tidak pernah atau jarang melihat sikap positif terhadap Islam, baik dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat. Dalam situasi seperti ini tentu merupakan tanggung jawab orang tua untuk menanamkan nilai0nilai moral, barbagi pengalaman kehidupan Islami yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada internalisasi misi Al-Qur’an dan Sunnah. Peran orang tua seperti ini akan sangat membantu anak dalam memasuki kehidupan yang fungsional sebagai Muslim yang dewasa dan sebagai anggota yang aktif dalam komunitas Islam. Apabila anak menampakkan tanda-tanda sikap yang negatif terhadap Islam yang disebabkan oleh pengaruh dari sekolah atau masyarakat atau karena kecerobohan dan kelengahan orang tua, maka hal ini akan mengakibatkan penolakan anak terhadap hidup Islami dan akan gagal berintegrasi dengan komunitas Islam.
Oleh karena itu adalah tugas orang tua, khususnya dan utamnya, untuk mengatur strategi yangtepat dalam rangka membantu proses pembentukan pribadi anak khususnya dalam periode developmental task tersebut.. Dalam hal ini orang tua haruslah memiliki wawasan pengetahuan yang luas serta dasar pengetahuan agama yang mencukupi untuk menghindari kesalahan strategi dalam mendidik anak. Kedua, mengalokasikan waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan bagi anak berinteraksi serta meresapi sikap-sikap Islami yang ditunjukkan oleh orang tua dalam perilaku kesehariannya. Persoalannya adalah secara factual tidak semua orang dapat memenuhi criteria-kriteria di atas yang disebabkan oleh hal-hal sebagai beriktu: (a) Orang tua, terutama ibu, tidak memiliki wawasan pengetahuan yang mempuni, khususnya di bidang pegagodi anak dan nilai-nilai dasar Islami. Dalam situasi semacam ini orang tua perlu mengambil langkah-langkah beriktu sebagai upaya mengantra anak menuju pintu gerbang masa depan yang cerah, sehat dan agamis.
Pertama, mendatangkan guru privat agama pada waktu usia anak di abwah dua belas tahun untuk mengajarkan nilai-nilai dasa Islam, termasuk cara membaca Al-Qur’an dan Hadits. Pada usia tiga belas tahun sampai dengan delapan belas tahun kandungan makna Al-Qur’an dan Hadits mulai diajarkan dengan metode yang praktis, sistematis dan komprehensif, mengingat pada periode ini anak sudah mulai disibukkan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Dengan demikian diharapkan ketika memasuki bangku kuliah anak sudah memiliki gambaran yang utuh dan komprehensif tentang Islam, beserta nilai-nilai abadi yang terkandung di dalamnya. Sehingga ia tidak akan mudah menyerah terhadap tekanan-tekanan dan pengaruh-pengaruh luar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, minimal ia akan tahu ke mana jalan untuk kembali ketika, oleh pengaruh eksternal yang terlalu kuat, ia melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai-nilai Islam.
Kedua, menyekolahkan anak sejak dari SMP sampai SMU di lembaga-lembaga Islam semacam pesantren modern yang saat ini sudah banyak memiliki sekolah-sekolah umum yang berkualitas. Ketiga, memasukkan anak sejak TK sampai SMU di lembaga-lembaga pendidikan yang memakai lebel Islam, seperti yayasan Muhammadiyah, yayasan NU, yayasan al-Azahar dan lain-lain. Akan tetapi alternatif ketiga ini dalam pengamatan penulis tidak begitu efektif. Salah satu sebabnya adalah karena kurang komprehensifnya kurikulum keislaman di dalamnya. Kendatipun begitu, ini jauh lebih baik disbanding, misalnya, memasukkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim. Memang menyekolahkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim tidak berarti anak tersebut akan terkonversi ke agama lain, tetapi dampak minimal yang tak terhindarkan adalah timbulnya sikap skeptis dan apatis anak terhadap Islam.
Alhasil, semakin kuat nilai-nilai agama tertanam akan semakin kokoh resistansi anak terhadap pengaruh-pengaruh negatef dari luar. Studi kasus yang diadakan oleh Francis (1997) terhadap 20.968 anak remaja dari seratus sekolah yang tersebar diInggris dan Wales, menguatkan pendapat ini.

Reformasi Paradigma Pendidikan


Secara faktual hampir seluruh negara-negara Islam2 baru terlepas dari belenggu penjajahan Barat di akhir abad dua puluh tepatnya sekitar 1950-an. Pada umumnya terjadinya pemindahan kekuasaan dari penjajah ke tangan pribumi menimbulkan terjadinya perubahan politik di negara-negara tersebut yang sebagai akibatnya tertundanya reformasi pendidikan yang dicita-citakan sebelumnya. Rezim kekuasaan yang baru pasca kolonialisme tidak mampu memfokuskan diri pada tugas ini. Fokus utama mereka adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan di tengah-tengah terjadinya kekacauan politik. Oleh karena itu pegnembangan dan reformasi pendidikan menjadi terabaikan untuk beberapa waktu. Pendidikan hanya menjadi bagian dari retorika politik dan rencana-rencana pengembangan pendidikan terartikulasi tanpa adanya pencapaian yang berarti. Dewasa inipun anggaran negara yang dicangkan untuk program pendidikan di negara-negara Islam relatif sangat rendah sehingga infrastruktur pendidikan yang mutlak diperlukan tidak atau jarang tersedia. Sebagai contoh Malaysia, negara Islam yang relatif maju program pendidikannya ini, menurut UNESCO (1996) hanya mengalokasikan dana U$D 82 perkapita, sementara Indonesia sendiri cuma mengalokasikan U$D 6 perkapita.
Hal ini menimbulkan dampak-dampak yang tidak efektif, seperti pelajar yang hendak memperdalam ilmunya terpaksa harus pergi ke luar negeri yang biayanya relatif lebih mahal apalagi kalau tujuan belajarnya di negara-negara maju. Sementara kecenderungan belajar ke luar negeri ini menimbulkan persoalan tersendiri khususnya bagi mereka yang secara ekonomis kurang mampu.
Dari ribuan mahasiswa yang belajar di luar negeri - kecuali yang belajar di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa dan Australia yang umumnya berlatar belakang ekonomi menengah ke atas - yang tersebar di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh) dan Timur Tengah (Mesir, Jordan, Syria, Sudan, dan lain-lain) mayoritas adalah berlatar belakang ekonomi lemah (kaum santri pedesaan) yang untuk biaya studi dan menunjang kehidupan sehari-hari harus banting tulang bekerja part-time yang beraneka ragam mulai dari bekerja sebagai staf local di kedutaan-kedutaan Indonesia setempat,3 mengajar privat, berwiraswasta (seperti yang dilakukan sebagian mahasiswa Mesir dengan membuka warnet atau agen perjalanan), menjaga warnet, sampai bekerja sebagai guide jamaah haji, baik travel ONH Plus maupun jamaah haji biasa yang dikenal dengan istilah pekerja TEMUS (tenaga musim atau seasonal worker).4 Apa yang dihasilkan mereka selama kerja part-time, termasuk guide haji, umumnya sangat pas-pasan dan tidak seimbang dengan terbuangnya waktu dan tenaga yang mereka keluarkan.
Di samping itu, sudah bukan rahasia lagi bahwa di era Orde Baru pelajar mengalami banyak hambatan, khususnya untuk kuliah agama, untuk dapat belajar ke luar negeri apalagi untuk mendapatkan beasiswa. Bandingkan misalnya dengan Malaysia atau India. Para pelajarnya bukan hanya didorong untuk belajar ke luar negeri tetapi juga mendapat tawaran-tawaran beasiswa atau pinjaman-pinjaman jangka panjang yang menarik.5 Di era pasca Orba saat ini praktik-praktik mempersulit pelajar yang akan studi ke luar negeri masih saja terjadi yang dilakukan oleh berbagai pihak birokrasi yang terkait, mulai dari pengurusan paspor, permintaan rekomendasi, dan lain-lain hampir tak dapat dilakukan tanpa adanya uang pelicin di bawah meja.
Adanya amandemen konstitusi yang mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan itu sudah bagus tapi langkah ini tentu saja belum cukup, masih dibutuhkan sejumlah langkah reformasi lain di bidang pendidikan termasuk di antaranya menghilangkan praktik diskriminasi pengalokasian dana antara institusi pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag, perlunya peningkatan apresiasi kalangan birokrat terhadap pelajar dan mahasiswa

1. Kedutaan yang mempekerjakan mahasiswa Indonesia umumnya KBRI di Timur Tengah (Mesir, Syria, Tunisia, dll), sedangkan untuk KBRI India tampak lebih menyukai staf local yang langsung diambil dari Indonesia yang relatif kurang pengalaman, padahal banyak mahasiswa India yang berminat. Belum jelas apa sebab di balik penolakan KBRI India ini.
2 Dulu mahasiswa Asia Selatan dan Timur Tengah cukup mengandalkan biaya hidup dan kuliah mereka dari bekerja jadi guide haji setiap tahun, umumnya jadi guide di ONH Plus. Sekarang dengan turunnya peraturan pemerintah Saudi yang hanya membolehkan haji setiap lima tahun sekali, maka rejeki dari sector ini jadi tidak bisa diharapkan lagi, dan cuma mengharapkan bekerja sebagai guide haji biasa atau TEMUS yang tidak bisa dilakukan setiap tahun karena adanya keterbatasan quota dari Departemen Agama untuk setiap negara sehingga mahasiswa harus rela bergiliran.
3 Di Malaysia dan India prosedur untuk mendapatkan beasiswa dilakukan dan diumumkan dengan sangat transparan yang memungkinkan siapa saja yang berkualitas akan mendapatkannya tanpa kekuatiran akan di’kudeta’ oleh pihak-pihak tertentu.

Transformasi Global

BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang diwahyukan Allah kepada manusia melalui Rasulullah Muhammad saw. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad terdiri atas dua macam yaitu wahyu yang berbentuk Al Qur’an dan wahyu yang berbentuk hadis, sunah Nabi Muhammad saw. Fungsi utama wahyu itu adalah sebagai petunjuk dan pedoman bagi manusia untuk menjalani hidupnya dalam memenuhi tugasnya sebagai khalifah.
Al Quran dijadikan sebagai sumber rujukan hidup yang pertama dan utama. Allah sw menciptakan manusia dan Dia pula yang mendidik manusia yang mana isi pendidikan itu termaktub dalam wahyu-Nya. Tidak satupun persoalan, yang luput dari jangkauan Al Qur’an. Nilai-nilai esensi dalam Al Qur’an selamanya abadi dan selalu relevan pada setiap waktu dan zaman tanpa ada perubahan sama sekali. Perubahan dimungkinkan hanya menyangkut masalah interpretasi mengenai nilai-nilai intrumental dan teknik operasional.
Nilai-nilai esensi dalam Al Qur’an selamanya abadi dan selalu relevan pada setiap waktu dan zaman termasuk didalammya masalah pendidikan. Islam selalu bertolak dari dogmatika Ilahi yang harus diyakini kebenarannya, bukan bertolak dari realitas sosiokultural manusia, Sementara pendidikan merupakan persoalan praktis, empiris, dan pragmatis. Dalam hal ini mungkinkah Islam dapat dijadikan alternatif paradigma ilmu pendidikan? Apakah masalah-masalah pendidikan yang merupakan lapangan kehidupan objektif, empiris dan praktis manusia dapat dikaji melalui postulasi Islam, termasuk didalamnya transformasi gobal, bagaimana pendidikan Islam memberi konsep?
Dalam makalah ini akan membahas tentang pendidikan Islam hubungannya dengan era tranformasi global.



BAB II
PENDIDIKAN ISLAM DAN TRANFORMASI GLOBAL
A. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Pemahaman tentang pendidikan Islam dapat diawali dari penelusuran pengertian pendidikan Islam, sebab dalam pengertian itu terkandung indikator-indikator esensial dalam pendidikan. Upaya penelusuran pengertian pendidikan Islam kiranya tidak salah apabila kita menggunakan metodologi simantik yang ditawarkan Izutsu. Menurut Izutsu, terdapat tiga prosedur untuk menggali hakekat sesuatu dari Al Quran yaitu memilih istilah-istilah kunci dari Al Qur’an, menentukan makna pokok dan makna nasabi, dan menyimpulkan makna istilah-istilah dengan menyajikan konsep dalam satu kesatuan.
Pengertian Etimologi Pendidikan Islam
Pendidikan dalam wacana keislaman lebih populer dengan istlah tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhah, irsyad dan tadris. Masing-masing istilah memiliki keunikan makna tersendiri ketika sebagian atau semuanya disebut bersamaan. Namun kesemuanya akan memiliki makna yang sama jika disebut salah satunya, sebab salah satu istilah itu sebenarnya mewakili istilah yang lain.
Tarbiyah
Dalam leksikal Al Quran dan As Sunnah tidak ditemukan istilah al-tarbiyah, namun terdapat beberapa istilah kunci yang seakar dengannya, yaitu al rabb, rabbayani, yurabbi dan rabbani. Dalam mu’jam bahasa Arab, kata al-tarbiyah memiliki tiga akar kebahasaan, yaitu :
a. Rabba, yurabbi, tarbiyah yang memiliki makna tambah atau berkembang sebagaimana QS. Ar Rum ayat 39. Artinya, pendidikan merupakan proses menumbuhkan dan mengembangkan apa yang ada pada diri peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial maupun spiritual.
b. Rabba, yurabbi, tarbiyah; yang memiliki makna tumbuh dan menjadi besar atau dewasa. Artinya, pendidikan (tarbiyah) merupakan usaha untk menumbuhkan dan mendewasakan peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial maupun spiritual
c. Rabba, yarubbu, tarbiyah; yang memiliki makna memperbaiki, menguasai urusan, mengasuh, mengatur dan menjaga kelestarian maupun eksistensinya. Artinya pendidikan ( tarbiyah) merupakan usaha mengasuh, merawat, memperbaiki, mengatur kehidupan peserta didik agar ia dapat survive lebih baik dalam kehidupannya.
Jika istilah tarbiyah diambil dari fi’il madhi-nya (rabbayani), maka ia memiliki arti memproduksi, mengasuh, menanggung, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, dan menjinakkan.
Ta’lim
Ta’lim merupakan kata benda buatan (mashdar) yang berasal dari akar kata allama. Sebagian para ahli menerjemahkan istilah tarbiyah dengan pendidikan, sedangkan ta’lim diterjemahkan dengan pengajaran, Kalimat allamhu al-ilm memiliki arti mengajarkan ilmu kepadanya. Pendidikan ( tarbiyah) tidak hanya bertumpu pada domain kognitif, tetapi juga afektif dan psikimotorik. Sementara pengajaran (ta’lim ) lebih mengarah pada aspek kognitif, seperti pengajaran mata pelajaran matematika. Pemadanan kata ini agaknya tidak selamanya relevan, sebab menurut pendapat yang lain, dalam proses ta’lim masih menggunakan domain afektif.
Menurut Muhaimin, pengajaran (ta’lim) mencakup teoritis, dan praktis, sehingga peserta didik memperoleh kebijakan dan kemahiran melaksanakan hal-hal yang mendatangkan manfaat dan menampik kemadaratan. Pengajaran ini juga mencakup ilmu pengetahuan dan hikmah (wisdom). Guru matematika misalnya, akan berusaha mengajarkan al hikmah matematika.
Ta’dib
Ta’dib lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika. Ta’dib yang seakar dengan adab memiliki arti pendidikan peradaban atau kebudayaan. Artinya orang berpendidikan adalah orang yang berperadaban, sebaliknya peradaban yang berkualitas dapat diraih melalui pendidikan. Menurut Naquib al-Attas, ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuatan dan keagungan Tuhan.
Seberapa pun besar perbedaan istilah yang dikemukakan oleh para ahli dalam perumusan peristilahan pendidikan Islam pada prinsipnya mereka meliliki tujuan sama. Mereka mencoba merumuskan hakekat pendidikan Islam berdasarkan ciri-ciri atau indikator yang bisa ditangkap. Berdasarkan ciri-ciri atau indikator itu mereka mengeneralisasi suatu konsep atau teori sambil menawarkan istilah yang cocok untuk digunakan dalam peristilahan pendidikan Islam. Ats dasar pemikiran ini, perumusan istilah pendidikan Islam hanyalah ijtihad yang kesemua istilah itu dapat diterima menurut perspektifnya masing-masing.
Pengertian Terminologi Pendidikan Islam
Sebelum perumusan pengertian terminologi pendidikan Islam berdasarkan berdasarkan etimologi di atas, ada baiknya dikutip beberapa pengertian pendidikan Islam terlebih dahulu yang dirumuskan oleh para ahli berikut ini :
Pertama, Muhammad SA. Ibrahim (Bangladesh) menyatakan bahwa pendidkan Islam adalah : “ Islamic education in true sense of the learn, is a system of education which enable a man to lead his life according to Islamic idiology, so that he may easily mould his life in accordance eich tenets of islam”. (Pendidikan Islam dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan idiologi Islam, sehingga dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam)
Kedua, Omar Muhammad al-Taoumi al-Syaibani, mendefinisikan pendidikan dengan : “ proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivias asasi dan sebagai profesi diantara profesi-profesi asasi dalam masyarakat”.
Ketiga, hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960 dirumuskan pendidkan Islam dengan : “ Bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam”.
Pendidikan Islam dibangun atas prinsip-prinsip pokok yang membentuk karakteristiknya, yaitu : 1) Penciptaan yang bertujuan, dengan maksud bahwa pendidikan merupakan bentuk ibadah dengan interaksi pada alam, manusia sebagai fokus dan keimanan sebagai tujuan. 2) Kesatuan yang menyeluruh, yaitu kesatuan perkembangan individu, masyarakat dan dunia serta kesatuan umat manusia sebagai karakteristik universalitas. Ditambah kesatuan pengetahuan yang mencakup berbagai disiplin ilmu dan seni. 3) Keseimbangan yang kokoh, yaitu keseimbangan antara teori dan penerapan, bagi individu dan masyarakat, serta antara fardhu ‘ain dan fardhu kifayah baik keagamaan maupun keduniaan
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli diatas, serta beberapa pemahaman yang diturunkan dari beberapa istilah dalam pendidikan Islam( Tarbiyah, ta’lim dan ta’dib), maka pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai berikut : “ Proses terinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.
2. Sumber dan Dasar Pendidikan Islam
a. Sumber Pendidikan Islam
Sumber pendidikan Islam yang dimaksukan di sini adalah semua acuan atau rujukan yang darinya memancarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang akan ditransinternalisasikan dalam pendidikan Islam. Sumber ini tentunya telah diyakini kebenaran dan kekuatannya dalam menghantar aktivitas pendidikan dan telah teruji dari waktu kewaktu. Sumber pendidikan Islam terkadang disebut dasar ideal pendidikan Islam.
Menurut Sa’id Ismail Ali, sebagaimana yang dikutip oleh Hasan Langgulung, sumber pendidikan Islam terdiri atas enam macam, yaitu : Al Quran, As Sunnah, kata-kata sahabat, kemaslahatan umat/sosial, tradisi atau adat kebiasaan masyarakat, hasil pemikiran para ahli dalam Islam.
Sembodo mempersempit sumber pendidikan Islam yang identik dengan sumber ajaran Islam dengan tiga sumber yaitu Al Quran dan Sunnah sebagai sumber pokok, kemudian kedua sumber itu dapat dikembangkan lagi dengan sumber ketiga yaitu ijtihad sebagai antisipasi terhadap perkembangan zaman.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sumber pendidikan Islam adalah sama dengan ajaran Islam yaitu Al Quran, Sunnah dan Ijtihad.
Al Quran
Al Qur’an adalah wahyu dari Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan perantaraan malaikat Jibril. Selama hidupnya Al Qur’an telah ditulis dengan bahan-bahan yang ada pada waktu itu seperti batu kulit, dan tulang serta dihafal oleh banyak sahabat. Setelah Nabi wafat, mulai dikerjakan pembukuannya dan baru selesai pada zaman khalifah Utsman. Al Qur’an yang kita baca adalah menurut pembukuan tersebut.
Islam adalah agama yang diwahyukan Allah kepada manusia melalui Rasulullah Muhammad saw. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad terdiri atas dua macam yaitu wahyu yang berbentuk Al Qur’an dan wahyu yang berbentuk hadis, sunah Nabi Muhammad saw. Wahyu tersebut selanjutnya disusun manusia dalam sebuah kitab yang juga dikenal dengan Al Qur’an. Fungsi utama wahyu itu adalah sebagai petunjuk dan pedoman bagi manusia untuk menjalani hidupnya dalam memenuhi tugasnya sebagai khalifah.
Al Qur’an Surat Al Isro’ ayat 9; menjelaskan

“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”.(Q.S. Al Isro’ : 9)

Al Qur.an dijadikan sebagai sumber rujukan hidup yang pertama dan utama, karena ia memiliki nilai absolut yang diturunkan dari Allah. Allah SWT menciptakan manusia dan Dia pula yang mendidik manusia yang mana isi pendidikan itu termaktub dalam wahyu-Nya. Tidak satupun persoalan, yang luput dari jangkauan Al Qur’an. Hal ini dijelaskan Allah dalam Al Qur’an Surat al An’am ayat 38 : “ Tiada kami alpakan sesuatupun didalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
Para ulama dalam menetapkan Al Quran sebagai dasar pemikiran dalam pembinaan pendidikan Islam, memberikan tekanan-tekanan tersendiri untuk memperkokoh landasannya. Abu Hasan Al-Nadwi misalnya yang dikutip oleh Sembodo menegaskan : ”pendidikan dan pengajaran umat Islam itu haruslah bersumber pada akidah islamiyah. Sekiranya pendidikan umat Islam itu tidak didasarkan pada akidah yang bersumber pada Al Quran, maka pendidikan itu bukanlah Pendidikan Islam”.
Sunnah
Sumber pendidikan Islam yang kedua adalah Sunah (hadis) , yaitu segala suatu yang dinukilkan kepada Nabi Muhammad Saw baik itu berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya.
Para pakar bersepakat dengan menggunakan berbagai tolak ukur untuk mengakui Muhammad sebagai manusia teragung yang pernah dikenal oleh sejarah kemanusiaan. Bahkan Robert L. Gullick dalam Muhammad the educator menyatakan : “Muhammad betul-betul seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar dan melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan budaya Islam, revolusi sesuatu yang mempunyai tempo tak tertandingi dan gairah yang menantang dari sudut pragmatis, seseorang yang mengangkat prilaku manusia adalah pangeran diantara para Pendidik”.
Ijtihad
Ijtihad merupakan sumber ketiga dalam Pendidikan Islam. Ijtihad menjad penting dalam penddikan Islam ketika suasana pendidikan mengalami status Quo, jumud dan stagnan. Tujuan dilakukan ijtihad dalam pendidikan Islam adalah ntuk dinamisasi, inovasi dan modernisasi pendidikan agar diperoleh masa depan pendidikan yang lebih aspiratif, berkualitas dan dapat mengatasi permasalahan zaman.
b. Dasar Pendidikan Islam
Dasar pendidikan Islam merupakan landasan operasional yang dijadikan untuk merealisasikan dasar/sumber pendidikan Islam. Ada tujuh dasar operasional pendidikan Islam, yaitu : historis, sosiologis, ekonomis, politik dan administrasi, psikilogis, filosifis, dan agama.
3. Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam
a. Tugas Pendidkan Islam
Pendidikan merupakan proses pengembangan individu secara menyeluruh didalam pusat sosialnya. Pendidikan merupakan proses persiapan untuk hidup melalui kehidupan itu sendiri dimana aspek-aspek fisik, intelektual dan spiritual individu diperhatikan. Tugas pendidikan dimulai dari keluarga yang berkewajiban mentrasfer pengalaman kepada anak untuk selanjutnya dapat membuka jalan hidupnya sendiri. Pendidikan perlu mempersiapkan generasi untuk hidup dimasa kini secara sempurna seraya memberinya kemungkinan untuk menggairahkan masa depan. Dengan makna demikian, pendidikan dipandang sebagai seni mentransfer warisan dan ilmu membangun masa depan.
Demikian pula dengan tugas pendidikan Islam senantiasa bersambung dan tanpa batas. Hal ini karena hakekat pendidikan Islam merupakan proses tanpa akhir sejalan dengan konsensus universal yang ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. Tugas pendidikan Islam pada hakekatnya tertumpu pada dua aspek, yaitu pendidikan tauhid dan pendidikan pengembangan tabiat peserta didik.
Beberapa uraian tugas pokok pendidikan Islam dijelaskan oleh Abdul Mujib sebagai berikut : membantu pembinaan peserta didik pada ketakwaan dan berakhlak karimah yang dijabarkan dalam pembinaan kompetensi enam aspek keimanan, lima aspek keislaman dan multi aspek keikhsanan.

b. Fungsi Pendidikan Islam
Menurut Hasan Langgulung fungsi pendidikan Islam terbagi menjadi tiga bagian. Ketiga fungsi pendidikan Islam adalam pendidikan Islam dipandang sebagai pengembangan potensi diri manusia, pendidikan Islam dipandang sebagai pemelihara dan pewaris budaya, dan pendidikan Islam dipandang sebagai alat transformasi budaya.
Pendidikan Islam dipandang sebagai pengembang potensi individu
Prinsip utama dari konsep pendidikan yang berpusat pada anak ini adalah untuk memelihara “keseluruhan“ anak, khususnya apa yang kreatif dan spontanitas dalam dirinya. Ide ini akan memposisikan anak kedalam pusat aktivitas pendidikan dan membiarkannya bebas mengembangkan diri sebagai personalia yang unik. Titik pandang dalam masalah ini diimplementasikan dengan memusatkan usaha-usaha pendidikan pada pengembangan semua kekuatan individual, khususnya imajinasinya yang kreatif, kebebasan, independensi, kemandirian dalam meneliti, dan kekuatan-kekuatan fisik serta emosinya. Pendidikan berusaha untuk menampakkan (aktualisasi) potensi-potensi laten yang dimiliki oleh setiap peserta didik.
Dalam Islam, potensi laten yang dimiliki manusia banyak ragamnya. Abdul Mujib menyebutkan delapan macam potensi bawaan manusia, yaitu : Al-Fitrah (citra asli), struktur tubuh, al-Hayah (vitality), al-Khuluq (karakter), al-Thab’u (tabi’at), al-Sajiah (bakat), al-Sifat (sifat-sifat), al-Amal (perilaku),
Pendidikan dipandang sebagai pemelihara dan pewaris kebudayaan
Fungsi pendidikan senantiasa memelihara dan mewariskan tradisi-tradisi kultural (budaya) yang memiliki akar-akar pembentukannya. Kontinuitas budaya akan memungkinkan terwujud hanya jika pendidikan memelihara warisan budaya dengan meneruskan kebenara-kebenaran yang telah dihasilkan pada masa lampau kepada generasi baru, mengembangkan suatu background dan loyalitas-loyalitas kultural.
Fungsi pendidikan Islam sebagai realisasi dari pengertian Tarbiyah al-Tabligh ( menyampaikan atau transformasi kebudayaan). Fungsi pendidikan selanjutnya adalah mewariskan nilai-nilai budaya Islami. Hal ini karena kebudayaan Islam akan mati bila nilai-nilai dan norma-normanya tidak berfungsi dan belum sempat diwariskan pada generasi berikutnya.
Dalam pandangan Islam, sumber nilai budaya dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : nilai Ilahiyah ; nilai yang dititahkan Allah Swt melalui para Rasul-Nya yang diabadikan pada wahyu. Inti nilai ini iman dan takwa. Pelaku pendidikan memiliki fungsi menginterpretasikan nilai-nilai tersebut, agar nilai-nilai itu dapat diaplikasikan dalam kehidupan, nilai Insaniyah ; nilai yang tumbuh atas kesepakatan manusia serta hidup dan berkembang dari peradapan manusia. Nilai ini bersifat dinamis, yang keberlakuannya relatif dan dibatasi oleh ruang dan waktu.
Pendidikan Islam dipandang sebagai alat transformasi budaya
Pendidikan dalam Islam pada hakekatnya merupakan pendidikan yang berdasarkan al Quran dan Sunnah Rasul, bertujuan untuk membantu perkembangan manusia menjadi lebih baik. Fungsi pendidikan dalam Islam sebagai alat transformasi budaya dalam Islam. Fungsi ini terjadi karena melalui pendidikan, ilmu pengetahuan, budaya dan kebenaran Islam dapat ajarkan.
Globalisasi, sebagai relitas yang tidak dapat dielakkan akan diakomodasi sepanjang tidak menghilangkan bangunan, sendi-sendi ajaran Islam. Pendidikan Islam merupakan alat yang sangat tepat dan efektif mempersiapkan anak didik dalam menghadapi tantangan dan budaya global. Prinsip pendidikan Islam dalam menghadapi globalisasi adalah :

المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
Prinsip ini merepresantasikan cara pendidikan Islam terhadap perubahan. Hal menunjukkan bahwa pendidikan Islam sangat akomodatif terhadap perkembangan zaman. Prinsip kontinuitas menjadi sandaran utama, sedangkan pembaharuan menempati posisi sekunder sepanjang masih mengandung nilai-nilai yang lebih baik dibanding dengan nilai-nilai yang telah mapan.
B. Globalisasi
Era globalisasi dewasa ini dan di masa datang sedang dan akan mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia umumnya atau pendidikan Islam. Masyarakat muslim tidak dapat menghindarkan diri dari proses globalisasi tersebut, apabila ingin survive dan berjaya ditengah-tengah perkembangan dunia yang kian kompetitif.
1. Pengertian Globalisasi
Tidak ada definisi globalisasi yang tepat yang diepakati para ahli. Globalisasi dapat dipahami dalam pemahaman yang beragam sebagai kedekatan jarak, ruangan, waktu yang menyempit, pengaruh yang cepat dan dunia yang menyempit. Globalisasi juga diartikan sebagai eliminasi batas-batas teritorial antara bangsa dengan bangsa yang lain, antara tanah air yang satu dengan tanah air yang lain, antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain. Globalisasi juga mengandung arti menghilangkan batas-batas kenasionalan dalam bidang ekonomi (perdagangan), dan membiarkan sesuatu bebas melintas dunia dan menembus level internasional, sehingga terancamlah nasib suatu bangsa atau negara. Hal ini terjadi dikarenakan adanya perkembangan secara pesat teknologi komunikasi, transformasi dan informasi.
Menurut Muqtader Khan sebagaimana yang dikutip oleh Qodri Azizy, globalisasi adalah sesuatu gejala yang terdiri dari tiga perkembangan utama. Pertama adalah globalisasi modal dan integrasi ekonomi menjadi pusat pasar tunggal. Kedua, perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi yang membuat ruang menjadi cepat tidak relevan Dan Ketiga konvergensi kepentingan diantara kelompok-kelompok dan timbulnya korporasi multinasional yang memadukan kembali kekuatan-kekuatan sosial pada tingkat global.
2. Pengaruh Globalisasi
.Globalisasi mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia dalam berbagai aspek kehidupan, baik aspek soaaial, polotik, ekonomi, budaya dan lain-lain. Dalam hal ini globalisasi telah mengubah kehidupan sehari-hari terutama dirasakan sekali oleh negara berkembang dan pada saat yang sama telah menciptakan sistem-sistem dan kekuatan-kekuatan trens nasional baru.
Betapapun, harus diakui bahwa banyak dampak positif yang diakibatkan globalisasi. Namun Ketergantungan global dunia ketiga dewasa ini adalah satu kenyataan yang merisaukan. Arus infomasi global yang ada ternyata tdak seimbang dengan dimonasi informasi dari budaya barat. Keadaan ini menimbulkan dominasi kultural atau budaya. Globalisasi berimplikasi westernisasi yang berakibat budaya lain inferior dan tergilas.
Pengaruh mereka di segala bidang terhadap negara-negara berkembang yang baru terlepas dari belenggu penjajahan berdampak positif dan negatif sekaligus. Berdampak positif, karena pada beberapa segi ikut mendorong negara-negara baru berkembang untuk maju secara teknis, serta menjadi lebih sejahtera secara material. Sedangkan dampak negatifnya antara lain berupa: (1) munculnya teknokrasi dan tirani yang sangat berkuasa dan; (2) didukung oleh alat-alat teknik modern dan persenjataan yang canggih.



BAB III
PENDIDIKAN ISLAM DALAM TRANFORMASI GLOBAL
Awal abad ke-21 ini ditandai oleh perubahan yang mencengangkan. Kenyataan tersebut telah menghadapkan masalah agama kepada suatu kesadaran kolektif, bahwa penyesuaian struktural dan kultural pemahaman agama adalah suatu keharusan. Hal ini hendaknya tidak dilihat sebagai suatu upaya untuk menyeret agama, untuk kemudian diletakkan dalam posisi sub-ordinate dalam hubungannya dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sedemikian cepat itu. Alih-alih, hal itu hendaknya dipahami sebagai usaha untuk menengok kembali keberagaman masyarakat beragama. Dengan demikian revitalisasi kehidupan keberagamaan tidak kehilangan konteks dan makna empiriknya. Keharusan tersebut dapat juga diartikan sebagai jawaban masyarakat beragama terhadap perubahan yang terjadi secara cepat.
Globalisasi berpandangan bahwa dunia didominasi oleh perekonomian dan munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberal yang menopangnya. Untuk mengimbangi derasnya arus globalisasi perlu dikembangkan dan ditanamkan karakter nasionalisme guna menghadapi dampak negatif dari arus globalisasi.
A. Pendidikan Islam dan tantangan global
Pendidkan dewasa ini menghadapi banyak tantangan yang berusaha mengancan keberadaannya. Tantangan tersebut merupakan bagian dari sekian banyak tantangan global yang memerangi kebudayaan Islam dan kadang-kadang tampak dalam kedok politik, pendudukan militer dan perang kebudayaan. Semuanya seperti terjalin dalam satu kekuatan yang berupaya memperdaya Islam dan pemeluknya.
Tantangan manusia pada millenium ke-3 ini akan terfokus pada berbagai aspek kompleks. Khusus dibidang pendidikan Aly dan Munzier menyebutkan bahwa tantangan pendidikan Islam terbagi atas 2, yaitu tantangan dari luar, yaitu berupa pertentangan dengan kebudayaan Barat abad ke-20 dan dari dalam Islam itu sendiri, berupa kejumudan produktivitas keislaman
Globalisasi adalah suatu keniscayaan, dan kita sulit untuk berkelit dan atau menghindarinya, kita mesti merespons globalisasi dan tidak sekedar defensif (bertahan) akan tetapi diperlukan keberanian untuk bersikap ofensif (membuka diri dan bahkan progresif).
Meskipun pada umumnya umat Islam dan dunia berkembang lainnya merasa dirinya sebagai korban atau mangsa, sedang barat dianggap sebagai pemenangnya. Memang, globalisasi telah menyentuh hampir seluruh aspekm kehidupan kita. Gejala globalisasi setidaknya meliputi globalisasi ekonomi, informasi, politik dan agama sekalipun.
Untuk itulah umat Islam bukan saja dituntut untuk melakukan perlawanan terhadap dampak negatif globalisasi seperti gejala kemiskinan, ketimpangan dan erosi budaya lokal oleh budaya global, dekadensi moral lebih dari itu, kita mesti mengapresiasi dan mengelaborasi globalisasi tersebut. Umat Islam harus bergerak maju dan mampu menjadi pelaku globalisasi.
Peradaban global yang ditandai dengan derasnya teknologi informasi, adalah tantangan bagi kaum Muslim untuk terus ikut ambil bagian dalam mengisi sejarah peradaban manusia. Jika sebagian kalangan khawatir akan dampak negatif dari teknologi informasi, hendaknya kita tidak boleh tinggal diam mengisinya dengan teknologi yang lebih besar positifnya. Generasi masa depan, selain berbekal Iptek yang memadai juga harus kuat iman dan takwanya (Imtak). Melalui penguasaan Iptek dan kekuatan imtak, akan lahir generasi-generasi muda produktif yang mampu memajukan peradaban untuk kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia. Kemajuan umat Islam masa depan semata-mata terletak pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Semua yang di hasilkan dari inovasi Iptek harus kita letakkan secara proporsional: tidak hanya berdimensi duniawi, tetapi juga berdimensi ukhrawi. Hal ini dapat kita capai jika semua itu kita akui sebagai sebentuk kekuasaan Tuhan. Katakanlah, “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman,” (QS Yunus [10]: 101). Kemajuan Iptek harus mendorong keberimanan dan kesalehan umat manusia. Sebab, hanya manusia-manusia salehlah yang bisa berbuat baik terhadap sesama manusia.
B. Pendidikan Islam dalam menghadapi tranformasi global
Respon masyarakat dunia menghadapi arus globalisasi memang bermacam-macam, ada yang secara a priori menolak apa saja yang datang dari Barat dan negara-negara industri maju. Sedangkan yang lain lagi secara bersemangat menerimanya tanpa batas dan tanpa syarat. Bagi umat Islam, sejalan dengan pesan-pesan agamanya, seharusnya kita bersikap, tidak begitu saja menerima semua pemikiran secara keseluruhan, dan juga tidak begitu saja menolaknya secara keseluruhan, kita dapat mengambil mana yang memberi manfaat dan maslahah, dan menolak mana yang merugikan.
Pendidikan merupakan sarana yang paling efektif dalam menghadapi globalisasi dunia, melalui pendidikan baik dirumah, sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat, dengan berbagai metode, cara dan geraknya. Dalam hal ini pendidikan agama mempunyai peran yang sangat penting sebagai landasan nilai dan moral anak didik, agar pengaruh negatif efek globalisasi dapat dihindarkan.
Dalam menghadapi globalisasi perlu kiranya mempersiapkan SDM yang tangguh dalam merespon globalisasi tersebut. SDM yang tangguh dan handal tersebut dalam artian memiliki penguasaan sains dan teknologi. Penguasaan ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial juga termasuk didalammya. Tangungjawa, kerja keras tentu sangat penting artinya dalam mempersiapkan generasi yang cerdas dan tangguh. Semua itu harus dilandasi dan dimotivasi oleh ajaran agama.
Abdul Rachman Shaleh menyatakan bahwa untuk menjawab tantangan dan menghadapi tuntutan pembangunan pada era globalisasi diisyaratkan dan diperlukan kesiapan dan lahirnya masyarakat modern Indonesia. Aspek yang spektakuler dalam masyarakat modern adalah penggantian teknik produksi dari cara tradisional ke cara modern yang ditampung dalam pengertian revolusi industri. Secara keliru sering dikira bahwa modernisasi hanyalah aspek industri dan teknologi saja. Padahal secara umum dapat dikatakan bahwa modernisasi masyarakat adalah penerapan pengetahuan ilmiah yang ada kepada semua aktivitas dan semua aspek hidup masyarakat.
Pendidikan sering dikatakan sebagai seni pembentukan masa depan. Ini tidak hanya terkait dengan manusia seperti apa yang diharapkan di masa depan, tetapi juga dengan proses seperti yang akan diberlakukan dimasa yang akan datang. Baik dalam konteks peserta didik maupun proses, pendidikan perlu memperhatikan relitas sekarang untuk menyusun format langkah-langkah yang akan diberlakukan.
Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam yang berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan umat Islam, baik pada tataran intelektual teoritis maupun praktis. Pendidikan Islam bukan sekadar proses penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi.
Melalui pendidikan Islam, ilmu sosial profetik yang dibangun dari ajaran Islam, dapat dikaji dan dikembangkan kepada peserta didik. Jika ilmu sosial profetik telah menginternal kedalam tubuh peserta didik dan lebih luas kepada masyarakat, maka masyarakat akan mampu mengambil manfaat dari pengaruh globalisasi dengan penguasaan sains dan teknologinya, namun tetap berpegang teguh pada tradisi dan nilai nilai luhur kepribadian Islam. Sehingga diharapkan sumber daya-sumber daya manusia yang muncul di masyarakat akan unggul dan berprestasi dalam teknologi, santun, berbudi pekerti luhur, dan berakhlakul karimah.







BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat penulis simpulkan sebagai berikut :
1. Pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai proses terinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.
2. Sumber atau dasar ideal Pendidikan Islam adalah Al Quran, Sunnah dan Ijtihad.
3. Tugas pokok pendidikan Islam adalah membantu pembinaan peserta didik pada ketakwaan dan berakhlak karimah yang dijabarkan dalam pembinaan kompetensi enam aspek keimanan, lima aspek keislamandan multi aspek keikhsanan.
4. Fungsi pendidikan Islam terbagi menjadi tiga bagian, yaitu pendidikan Islam dipandang sebagai pengembanang potensi diri manusia, pendidikan Islam dipandang sebagai pemelihara dan pewaris budaya, dan pendidikan Islam dipandang sebagai alat transformasi budaya.
5. Dalam menyikapi isu globalisasi umat Islam terbagi dalam tiga kelompok, yaitu menerima secara mutlak, menolak sama sekali, dan menyikapi secara proposional
6. Pendidikan Islam merupakan sarana yang paling efektif dalam menghadapi globalisasi dunia.
7. Era globalisasi memunculkan era kompetisi yang berbicara keunggulan, hanya manusia unggul yang akan survive di dalam kehidupan yang penuh persaingan.
B. Penutup
Demikian makalah revisi ini kami susun sebagai tugas Mata kuliah Transformasi Global dengan dosen Pengampu Bapak Drs. Muslih MZ, MA, Ph.D Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang tahun akademik 2008/2009 semester II.
Kami menyadari masih banyak kelemahan dan kekurangsempurnaan dalam penyusunan makalah ini bahkan mungkin jauh dari harapan yang di maksud oleh dosen pengampu. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun kami harapkan demi perbaikan dimasa yang akan datang
Daftar Pustaka
Al Qur’an dan terjemahnya, Jakarta, Depag RI,1995/1996
Al-Naquib al-Attas, Muhammad, Konsep Pendidikan Dalam Islam, terj.Haidar Bagir , Bandung, Mizan, 1992.
Arifin HM, Kapita Selekta Pendidkan Islam dan Umum, Jakarta : Bumi Aksara, 1991.
………… , Flsafat Pendidikan Islam,Jakarta, Bina Aksara, 1987
Ardi Widodo, Sembodo, Kajian Filsafat Pendidikan Barat Dan Islam, Jakarta: PT.Nimas Multima, 2008
Azizy, Qodri, Membangun Integritas Bangsa, Jakarta : Renaisan, 2008
Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran Islam, Bandung, al-Ma’arif, 1980.
............................. , Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta : al-Husna, 1988.
............................. , Pendidikan Islam menghadapi Abad ke-21, ( Jakarta : Pustaka al-Husna, 1988
Mas’ud, Abdurrahman, Menuju Paradigma Islam Humanis, Yogyakarta : Gama Media, 2003
Mulkan, Abdul Munir, Masalah-masalah TEOLOGI DAN FIQIH dalam Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta, SIPRESS, 1994.
Mujib,Abdul, et.al , Ilmu Pendidikan Islam ,Jakarta, Kencana Prenada Media, 2006.
Mujib, Abdul, Kepribadian dalam Psikologi Islam, Jakarta, Rajawali Press, 2006.
Muhammad Mukarram ibn Manzhur, Abu al-Fadhl al-Din, Lisan al Arab, Bairut, Dar Ahya’, tt, jilid V
Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globlalisasi Resistansi Tradisional Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
Muhthar, Atho, Pendekatan Studi Islam dalam teori dan praktek, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998.
Marfu’ah, Enis, Pengaruh Globalisasi terhadap Pendidikan , dalam Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung, Angkasa, 2003
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: YP3A, 1973.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam diSekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta : Rajawali Press, 2005.
Muhajir, Noeng, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Suatu Teori Pendidikan, Yogyakarta, Rake Sarasin, 1987
Muhammad al-Toumi al-Syaibani, Omar, Falsafat Pendidkan Islam , terj Hasan Langgulung , Jakarta: Bulan Bintang, 1979..
Noer Aly, Hery dan H. Munzier S, Watak Pendidikan Islam, Jakarta, Friska Agung Insani, 2008.
Qardhawi, Yusuf, Ummat Islam Menyongsong Abad 21,( Ummatan Baina Qarnain), Jakarta : Era Intermedia, 2001..
…........................, Islam Dan Globalisasi Dunia, Jakarta: Pustaka al Kautsar, tt.
Rasyidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”, Jakarta, PT Bulan Bintang, 1989.
Rakhmat, Jalaluddin, Konsep-konsep Antropologi,dalam Budhy Munawar Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam sejarah, Jakarta, Paramadina, 1995.
.............................., Islam Alternatif, Bandung,: Mizan, 1991.
Shaleh,Abdur Rahman, Pendidikan Agama dan Keagamaan : Visi, Misi dan Aksi. Jakarta : Gemawindu Pancaperkasa, 2000
Shihab, Quraish, Wawasan Al Qur’an, Jakarta , Mizan, 1996.
Thoha, Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996.
Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya: Pustaka Progresif, 1978.
Hasan, Thalhah, Membangun Citra Peradaban Islam melalui Pendidikan , dalam , http://mukhlason.multiply.com/journal/item/5/MEMBANGUN_CITRA_PERAB-AN_ISLAM_MELALUI_PENDIDIKAN
Komara, Endang, Peran Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi, dalam http://www.geocities.com/endang.komara/PERAN_PENDIDIKAN_ISLAM_DALAM_ERA_GLOBALISASI.htm
Suherlan, Ian, Penguasaan Iptek Untuk Kompetisi Global, dalam http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php ?id=A3856_0_3_0_M

SK

SALINAN
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 20 TAHUN 2007

TENTANG

STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

Menimbang : bahwa dalam rangka mengendalikan mutu hasil pendidikan sesuai standar nasional pendidikan yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan, perlu menetapkan Standar Penilaian Pendidikan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional;

Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 31/P Tahun 2007;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN.

Pasal 1

(1) Penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan berdasarkan standar penilaian pendidikan yang berlaku secara nasional.

(2) Standar penilaian pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.

Pasal 2

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juni 2007

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

TTD.

BAMBANG SUDIBYO
































SALINAN
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
NOMOR 20 TAHUN 2007 TANGGAL 11 JUNI 2007
STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN
A. Pengertian
1. Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
2. Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik.
3. Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan, melakukan perbaikan pembelajaran, dan menentukan keberhasilan belajar peserta didik.
4. Ulangan harian adalah kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih.
5. Ulangan tengah semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan 8 – 9 minggu kegiatan pembelajaran. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan seluruh KD pada periode tersebut.
6. Ulangan akhir semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan semua KD pada semester tersebut.
7. Ulangan kenaikan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik di akhir semester genap untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester genap pada satuan pendidikan yang menggunakan sistem paket. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan KD pada semester tersebut.
8. Ujian sekolah/madrasah adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan kelulusan dari satuan pendidikan. Mata pelajaran yang diujikan adalah mata pelajaran kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diujikan dalam ujian nasional dan aspek kognitif dan/atau psikomotorik kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian yang akan diatur dalam POS Ujian Sekolah/Madrasah.
9. Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan.
10. Kriteria ketuntasan minimal (KKM) adalah kriteria ketuntasan belajar (KKB) yang ditentukan oleh satuan pendidikan. KKM pada akhir jenjang satuan pendidikan untuk kelompok mata pelajaran selain ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan nilai batas ambang kompetensi.

B. Prinsip Penilaian
Penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. sahih, berarti penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur.
2. objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai.
3. adil, berarti penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.
4. terpadu, berarti penilaian oleh pendidik merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
5. terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan.
6. menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian oleh pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik.
7. sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku.
8. beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan.
9. akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya.
C. Teknik dan Instrumen Penilaian
1. Penilaian hasil belajar oleh pendidik menggunakan berbagai teknik penilaian berupa tes, observasi, penugasan perseorangan atau kelompok, dan bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik.
2. Teknik tes berupa tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik atau tes kinerja.
3. Teknik observasi atau pengamatan dilakukan selama pembelajaran berlangsung dan/atau di luar kegiatan pembelajaran.
4. Teknik penugasan baik perseorangan maupun kelompok dapat berbentuk tugas rumah dan/atau proyek.
5. Instrumen penilaian hasil belajar yang digunakan pendidik memenuhi persyaratan (a) substansi, adalah merepresentasikan kompetensi yang dinilai, (b) konstruksi, adalah memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan bentuk instrumen yang digunakan, dan (c) bahasa, adalah menggunakan bahasa yang baik dan benar serta komunikatif sesuai dengan taraf perkembangan peserta didik.
6. Instrumen penilaian yang digunakan oleh satuan pendidikan dalam bentuk ujian sekolah/madrasah memenuhi persyaratan substansi, konstruksi, dan bahasa, serta memiliki bukti validitas empirik.
7. Instrumen penilaian yang digunakan oleh pemerintah dalam bentuk UN memenuhi persyaratan substansi, konstruksi, bahasa, dan memiliki bukti validitas empirik serta menghasilkan skor yang dapat diperbandingkan antarsekolah, antardaerah, dan antartahun.

D. Mekanisme dan Prosedur Penilaian

1. Penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah.
2. Perancangan strategi penilaian oleh pendidik dilakukan pada saat penyusunan silabus yang penjabarannya merupakan bagian dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
3. Ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas dilakukan oleh pendidik di bawah koordinasi satuan pendidikan.
4. Penilaian hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diujikan pada UN dan aspek kognitif dan/atau aspek psikomotorik untuk kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan oleh satuan pendidikan melalui ujian sekolah/madrasah untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan kelulusan dari satuan pendidikan.
5. Penilaian akhir hasil belajar oleh satuan pendidikan untuk mata pelajaran kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan ditentukan melalui rapat dewan pendidik berdasarkan hasil penilaian oleh pendidik.
6. Penilaian akhir hasil belajar peserta didik kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan oleh satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik berdasarkan hasil penilaian oleh pendidik dengan mempertimbangkan hasil ujian sekolah/madrasah.
7. Kegiatan ujian sekolah/madrasah dilakukan dengan langkah-langkah: (a) menyusun kisi-kisi ujian, (b) mengembangkan instrumen, (c) melaksanakan ujian, (d) mengolah dan menentukan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah/madrasah, dan (e) melaporkan dan memanfaatkan hasil penilaian.
8. Penilaian akhlak mulia yang merupakan aspek afektif dari kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, sebagai perwujudan sikap dan perilaku beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, dilakukan oleh guru agama dengan memanfaatkan informasi dari pendidik mata pelajaran lain dan sumber lain yang relevan.
9. Penilaian kepribadian, yang merupakan perwujudan kesadaran dan tanggung jawab sebagai warga masyarakat dan warganegara yang baik sesuai dengan norma dan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, adalah bagian dari penilaian kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian oleh guru pendidikan kewarganegaraan dengan memanfaatkan informasi dari pendidik mata pelajaran lain dan sumber lain yang relevan.
10. Penilaian mata pelajaran muatan lokal mengikuti penilaian kelompok mata pelajaran yang relevan.
11. Keikutsertaan dalam kegiatan pengembangan diri dibuktikan dengan surat keterangan yang ditandatangani oleh pembina kegiatan dan kepala sekolah/madrasah.
12. Hasil ulangan harian diinformasikan kepada peserta didik sebelum diadakan ulangan harian berikutnya. Peserta didik yang belum mencapai KKM harus mengikuti pembelajaran remedi.
13. Hasil penilaian oleh pendidik dan satuan pendidikan disampaikan dalam bentuk satu nilai pencapaian kompetensi mata pelajaran, disertai dengan deskripsi kemajuan belajar.
14. Kegiatan penilaian oleh pemerintah dilakukan melalui UN dengan langkah-langkah yang diatur dalam Prosedur Operasi Standar (POS) UN.
15. UN diselenggarakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bekerjasama dengan instansi terkait.
16. Hasil UN disampaikan kepada satuan pendidikan untuk dijadikan salah satu syarat kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan dan salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya.
17. Hasil analisis data UN disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan serta pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.

E. Penilaian oleh Pendidik

Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan, bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik serta untuk meningkatkan efektivitas kegiatan pembelajaran. Penilaian tersebut meliputi kegiatan sebagai berikut:
1. menginformasikan silabus mata pelajaran yang di dalamnya memuat rancangan dan kriteria penilaian pada awal semester.
2. mengembangkan indikator pencapaian KD dan memilih teknik penilaian yang sesuai pada saat menyusun silabus mata pelajaran.
3. mengembangkan instrumen dan pedoman penilaian sesuai dengan bentuk dan teknik penilaian yang dipilih.
4. melaksanakan tes, pengamatan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang diperlukan.
5. mengolah hasil penilaian untuk mengetahui kemajuan hasil belajar dan kesulitan belajar peserta didik.
6. mengembalikan hasil pemeriksaan pekerjaan peserta didik disertai balikan/komentar yang mendidik.
7. memanfaatkan hasil penilaian untuk perbaikan pembelajaran.
8. melaporkan hasil penilaian mata pelajaran pada setiap akhir semester kepada pimpinan satuan pendidikan dalam bentuk satu nilai prestasi belajar peserta didik disertai deskripsi singkat sebagai cerminan kompetensi utuh.
9. melaporkan hasil penilaian akhlak kepada guru Pendidikan Agama dan hasil penilaian kepribadian kepada guru Pendidikan Kewarganegaraan sebagai informasi untuk menentukan nilai akhir semester akhlak dan kepribadian peserta didik dengan kategori sangat baik, baik, atau kurang baik.


F. Penilaian oleh Satuan Pendidikan

Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan dilakukan untuk menilai pencapaian kompetensi peserta didik pada semua mata pelajaran. Penilaian tersebut meliputi kegiatan sebagai berikut:
1. menentukan KKM setiap mata pelajaran dengan memperhatikan karakteristik peserta didik, karakteristik mata pelajaran, dan kondisi satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik.
2. mengkoordinasikan ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas.
3. menentukan kriteria kenaikan kelas bagi satuan pendidikan yang menggunakan sistem paket melalui rapat dewan pendidik.
4. menentukan kriteria program pembelajaran bagi satuan pendidikan yang menggunakan sistem kredit semester melalui rapat dewan pendidik.
5. menentukan nilai akhir kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga dan kesehatan melalui rapat dewan pendidik dengan mempertimbangkan hasil penilaian oleh pendidik.
6. menentukan nilai akhir kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui rapat dewan pendidik dengan mempertimbangkan hasil penilaian oleh pendidik dan nilai hasil ujian sekolah/madrasah.
7. menyelenggarakan ujian sekolah/madrasah dan menentukan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah/madrasah sesuai dengan POS Ujian Sekolah/Madrasah bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.
8. melaporkan hasil penilaian mata pelajaran untuk semua kelompok mata pelajaran pada setiap akhir semester kepada orang tua/wali peserta didik dalam bentuk buku laporan pendidikan.
9. melaporkan pencapaian hasil belajar tingkat satuan pendidikan kepada dinas pendidikan kabupaten/kota.
10. menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik sesuai dengan kriteria:
a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran.
b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran estetika; dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.
c. lulus ujian sekolah/madrasah.
d. lulus UN.
11. menerbitkan Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN) setiap peserta didik yang mengikuti Ujian Nasional bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.
12. menerbitkan ijazah setiap peserta didik yang lulus dari satuan pendidikan bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.


G. Penilaian oleh Pemerintah

1. Penilaian hasil belajar oleh pemerintah dilakukan dalam bentuk UN yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. UN didukung oleh suatu sistem yang menjamin mutu dan kerahasiaan soal serta pelaksanaan yang aman, jujur, dan adil.
3. Dalam rangka penggunaan hasil UN untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, Pemerintah menganalisis dan membuat peta daya serap berdasarkan hasil UN dan menyampaikan ke pihak yang berkepentingan.
4. Hasil UN menjadi salah satu pertimbangan dalam pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
5. Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan kelulusan peserta didik pada seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.
6. Hasil UN digunakan sebagai salah satu penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan yang kriteria kelulusannya ditetapkan setiap tahun oleh Menteri berdasarkan rekomendasi BSNP.


MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

TTD.

BAMBANG SUDIBYO