Jumat, 07 Desember 2012


I.       PENDAHULUAN

Bangsa Arab pra-islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografisnya yang strategis membuat islam yang diturunkan di Arab (Mekah) mudah tersebar keberbagai wilayah. Sehingga bangsa arab banyak menguasai daerah - daerah di Eropa terutama setelah masa Khulafaur Rosidin yakni pada masa Daulah Umayah.
Pada umumnya Pasca Khulafaur Rosidin , pemerintahan Islam sering kali dipandang tidak sesuai lagi dengan syariat Islam. Peristiwa pemberontakan ( Bughot ) wali Syam Muawiyah Kepada Khlifah Ali bin Abi Tholib yang diperangi dalam perang Shiffin, kemudian berlanjut dengna kekisruhan negara pada masa kekholifahan Ali yang diakhiri dengan terbunuhnya sang Kholifah oleh Kaum Khowarij.
Mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada Ali bin Abi Tholib dinamakan periode Khilafah Rosyidah, . para Kholifahnya disebut Khulafaur Rosidin ( Kholifah yang mendapat petunjuk ). Ciri masa ini mereka betul – betul menurut pada teladan Nabi, mereka dipilih secara Musyawarah atau secara Demokratis. Sedangkan pada Masa Daulah Umayah pemerintahan islam berbentuk Kerajaan. Kekuasaan diturunkan secara turun temurun.
Pada makalah ini, kami akan membicarakan tentang peradaban Islam pada masa Dawlah Amawiyah , sejarah berdirinya  dan pola administrasi politik pemerintahan yang diterapkan serta perluasan wilayah yang dicapai pada masa Dawlah Amawiyah.


II.    PEMBAHASAN

A.          Sejarah Berdirinya Dawlah Amawiyah ( Bani Umayah )
Sepeninggal Ali bin Abi Tholib , Gubernur Syam tampil sebagai penguasa islam yang kuat . Masa kekuasaanya merupakan awal kedaulatan Bani Umayah. Muawiyah bin Abi Sufyan adalah pembangun dinasti Umayah dan sekaligus menjadi kholifah pertama. Ia memindahkan ibu kota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus.
Sebelum mengadakan pembrontakan , Muawiyah terlebih dahulu menyusun kekuatan yang besar dengan jalan : Pertama, mempersatukan keluarga Bani umayah. Kedua, Menghasut daerah-daerah selikar Syam untuk ikut bergabung dengannya. Setelah itu dengan kekuatan yang besar  Muawiyah berangkat ke madinah , maka terjadilah perang Shiffin.[1]
Muawiyah tumbuh sebagai pemimin karier. Pengalaman politik telah memperkaya dirinya dengan kebijaksanaan dalam memerintah, mulai dari menjadi seorang pemimpin pasukan dibawah komando panglima besar Abu Ubaidah  ibn Jarah yang berhasil merebut wilayah palestina, suriah dan mesir dari tangan imperium Romawi yang telah menguasai ketiga daerah itu sejak tahun 63 SM, lalu ia pernah menjabat kepala wilayah di Syam yang membawahi suriah dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus selama kira - kira 20 tahun semenjak diangkat Kholifah Umar bin Khotob.
Keberhasilan Muawiyah mendirikan Dinasti Umayah bukan hanya akibat dari Kemenangan diplomasi di siffin dan terbunuhnya Ali saja melainkan beberaa hal yang mendukung antara lain ;
  1. Adanya dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan Keluarga Bani Umayah .
  2. Muawiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan – jabatan penting.
  3.  Muawiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat Hilm , sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekah.[2]
Gambaran dari sifat mulia tersebut dalam diri Muawiyah setidaknya tampak dalam keputusanyan yang berani memaklumkan jabatan kholifah secra turun temurun. Dengan tujuan menegakkan wibawa pemerintahan serta menjamin integritas kekuasaan di masa yang akan datang, maka Muawiyah dengan tegas menyelenggarakan suksesi yang damai dengan pembaitan putranya , Yazid .
B.           Para Kholifah Bani Umaiyah
Dinasti Umaiyah berkuasa hampir kurang satu abad, tepatnya 90 tahun , dengan 14 orang kholifah. Dimulai oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dan ditutup oleh Marwan bin Muhammad. Adapun urut-urutan Kholifah Bani Umaiyah adalah sebagai berikut ;
Muawiyah I bin Abi sufyan
Yazid I bin Muawiyah
 Muawiyah II bin yazid
Marwan I bin Hakam
Abdul Malik bin Marwan
Al walid I bin Abdul Malik
Sulaiman bin Abdul Malik
Umar bin Abdul Aziz
Yazid II bin Abdul malik
Hisyam bin Abdul Malik
Al walid II bin yazid II
Ibrohim bin Al Walid II
Marwan II bin Muhammad
Dari keempat belas kholifah tersebut yang terbesar adalah Muawiyah bin Abi Sufyan ( 661- 680 M ), Abdul Malik bin Marwan ( 685 – 705 ) , Al Walid bin Abdul Malik ( 705-715 ) dan Umar bin Abdul Aziz ( 717 – 720 M )
Muawiyah adalah bapak pendiri Dinasti Umaiyah. Dialah pembangun yang besar. Namanya disejajarkan dalam deretan Khulafaurrosidin. Bahkan Kesalahannya yang menghianati prinsip pemilihan kepala Negara oleh rakyat, dapat dilupakan orang karena jasa- jasanya yang mengagumkan.
Muawiyah mendapatkan kursi kekholifahan setelah Hasan bin ali bin Abi Tholib berdamai dengannya ada tahun 41 H. Umat Islam sebagaianya membaiat Hasan setelah ayahnya wafat . namun Hasan menyadari kelemahanya sehingga ia berdamai dan menyerahkan kepemimpinan umat keada Muawiyah bin Abi Sufyan sehingga tahun itu dinamakan Amul Jamaah ( tahun persatuan.) Muawiyah menerima kekholifahan di Kufah dengan syarat-syarat yang diajukan oleh Hasan bin Ali, yakni
  1. Agar Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap seorang pun penduduk Irak.
  2. Menjamin keamanan dan memafkan kesalahan – kesalahan mereka.
  3. Agar pajak tanah negeri Ahwaj diperuntukan kepadanya dan diberikan tiap tahun.
  4. Agar Muawiyah membayar kepada saudaranya 2 juta dirham.
  5. Pemberian kepada Bani Hasyim harus lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdis Syam.[3]

C.           Pola Adminstrasi politik pemerintahan dan Ekspansi Wilayah
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayah , pemerintahan yang bersifat Demokratis berubah menjadi Monarchiheridetis kerajaan turun temurun. Kekuasaan Muawiyah diperoleh dari kekerasan , dilomasi dan tipu daya , tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepempinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia kepada anaknya Yazid. Muawiyah mencoba mencontoh Monarkhi di Persia dan Bizantium. Dia tetap menggunakan istilah kholifah , namun demikian dia memberikan interpretasi barun dari kata-kata itu untuk menggagungkan jabatan tersebut. Dia menyebut Kholifah Allah, dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah.
Ekpansi yang terhenti pada masa Usman dan Ali dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Dizaman Muawiyah Tunisia berhasil ditaklukan sampai ke Khurosan. Ekpansi ke Timur dilakukan Oleh Abdul malik. Ia mengirim pasukanya menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukan Samarkand, Bukhora bahkan sampai ke India dan dapat menguasai daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekpansi Ke barat secara besar-besaran dilanjutkan pada zaman Al Walid bin Abdul Malik. Pada masa pemerintahanya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun ini tercatat suatu ekpedisi militer dari Afrika Utara sampai Benua Eropa pada tahun 711 M. Setelah Al Jazair dan Maroko ditaklukan Thoriq bin Ziyad menyeberangi selat dan mendarat disuatu tempat yang kenal dengan Gibraltar ( Jabal Thoriq ), tentara Spanyol dapat dikalahkan dan ibu kotanya Kordova dengan cepat dapat dikuasai.
Di zaman Umar bin Abdul Aziz , serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh oleh Abdurohman bin Abdullah Al Ghofiqi. Dengan keberhasilan ekpansi kebeberapa daerah, baik di Timur maupun di Barat, wilayah kekuasaan Islam pada masa Bani Umayah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Al Jazair Irak, Afganistan Pakistan Uzbek dan Kirgis di Asia Kecil.
Disamping Ekpansi kekuasaan Islam , Bani Umayah juga banyak berjasa dalam pembangunan diberbagai bidang. Muawiyah mendirikan dinas Pos dan tempat – tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap serta perlengkapanya disepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dsan mencetak mata uang. Pada masanya jabatan khusus seorang hakim ( Qodhi ) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri. Pada Masa Kholifah Abdul malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai didaerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu Ia mencetak Uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Kholifah Abdul Malik juga berhasil melakukan pembenahan – pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.[4]
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dikatakan stabil. Muawiyah tidak menaati isi perjanian dengah Hasan bin Ali ketika dia naik tahta. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putra mahkota telah menyalahi isi perjanjian yang disebutkan bahwa persolan penggantian pemimpin diserahkan kepada pemilihan umat islam. Dengan demikian sehingga muncul gerakan-gerakan oposisi dikalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara .
D.          Runtuhnya Dinasti Bani Umaiyah
Ketika yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada Gubernur madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya., dengan cara ini semua orang terpaksa tunduk kecuali Husein  bin Ali dan Abdullah bin Zubair. Perlawanan terhadap Bani Umayah dimulai oeh Husein . pada tahun 680 M ia pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan syiah yang ada di Irak. Umat islam disitu tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein menjadi Kholifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus sedangkan tubuhnya dikubur di Karbela.
Hubungan pemerintahan dengan golongan oposisi membaik pada masa Kholifah Umar bin Abdul Aziz ( 717- 720 M ). Ketika dinobatkan menjadi Kholifah, dia menyatakan bahwa akan memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam kekuasaan islam dari pada menambah perluasanya. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaanya. Pajak diperingan. Sepeniggal Umar bin Abdul Aziz kholifah berada dibawah Yazid  bin Abdul Malik, penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kepentingan masyarakat, sehingga kerusuhan semakin terjadi dan merajalela hingga kholifah berikutnya yakni Hisyam bin Abdul Malik. Sebenarnya Hisyam bin Abdul malik adalah seorang kholifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi , karena gerakan oposisi terlalu kuat kholifah tidak berdaya mematahkanya.
Sepeniggal Hisyam, kholifah-kholifah Bani Umayah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat gerakan oposisi. Akhirnya pada tahun 750 M, Daulah Umayah dapat digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim Al Khurasani. Kholifah terakhir Bani Umayah Marwan bin Muhammad melarikan diri ke Mesir  dan ditangkap serta dibunuh.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain :
  1. Sistem pergantian Kholifah melalui garis keturunan dalah sesuatu yang baru bagi tradisia Arab yang lebih menekankan segi Senioritas.
  2. Latar Belakang terbentuknya kedaulatan bani Umayah tidak dapat dilepaskan dari konflik-konflik politik
  3. Adanya pertentangan keras antara suku-suku Arab Utara ( Bani Qoys ) dan Suku Arab selatan ( Bani kalb ) pada masa Bani Umayah mencapai Puncaknya.
  4. Lemahnya Pemerintahan Daulah Bani Umayah yang disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan Istana.
  5. Munculnya Kekuatan baru yang dipelopori oleh Keturunan Bani Abbas yang secara langsung menyebabkan hancurnya Bani Umayah.[5]


III. KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa setelah Khulafaur Rosidin, kekholifahan jatuh ketangan Bani Umayah dengan Kholifah Pertamanya bernama Muawiyah bin Abi Sufyan yang dulunya sebagai Gubernur di Syam . Muawiyah memindahkan ibukota Negara yang berada di Kufah ke Damascus, serta mengubah sitem pemerintahan yang dari Demokratis Menjadi Monarchiheredites.
Dinasti Bani Umayah berkuasa kurang lebih selama 90 tahun dimulai dari tahun 661 M – 750 M / 41 H – 132 H ) dengan empat belas Kholifah yang memimpinya secara bergiliran. Dari Kholifah Pertama sampai terakhir yang terkenal adalah Kholifah Muawiyah, bin Abi sufyan, Abdul malik Bin marwan serta Umar bin Abdul Aziz. Selama Dinasti Umayah ini perluasan wilayah Islam sampai ke Negara Spanyol, Maroko dan Aljazair bahkan sampai ke Punjab India.
 Bani umayah juga banyak berjasa dibidang pembangunan seperti mendirikan dinas Pos dan membuat bentuk mata uang sendiri serta meresmikan bahasa arab sebagai bahasa resmi Negara. Pada Masa Alwalid berhasil  membangun jalan raya , pabrik-pabrik serta masjid-masjid yang Megah.
Bani Umayah mengalami kemunduran setelah terjadi banyak pembrontakan dan kerusuhan yang terjadi sehingga menyebabkan Stabilitas Keamanan menurun lebih-lebih ketika pembrontakan yang muncul dari keturunan bani Abbas yang didukung  oleh Abu Muslim Al Khuroasani serta mendapat dukungan dari Kaum Syiah dan Bani Hasyim hingga Bani Umayah Jatuh dan digantikan oleh  Bani Abassiah.



DAFTAR PUSTAKA


Abdul Mutholib, Sejarah Kebudayaan Islam, ( Jakarta , Dirjenbinbaga Islam, 1996 )
Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, ( Bandung, CV. Rusyda, 1987 )
Atang Abdul Hakim, Metode Studi Islam,( Bandung ,Rosdakarya, 1999 0
Ali Mufrodi, Is;lam di Kawasan Kebudayaan Arab, (  Ciputat, Logos Wacana Ilmu, 1997 )
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: Grafindo Persada , 2006  )
















[1] Abdul Mutholib, Sejarah Kebudayaan Islam, ( Jakarta : Dirjenbinbaga Islam, 1996 ) , h.307
[2] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, ( Ciputat: Logos wacana Ilmu, 1997 ), h. 70-71
[3] Ibid, h. 73
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta : Grafindo Persada, 2006 ) , h. 44
[5] Ibid, h. 48-49

Daulah Umawiyah


I.       PENDAHULUAN

Bangsa Arab pra-islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografisnya yang strategis membuat islam yang diturunkan di Arab (Mekah) mudah tersebar keberbagai wilayah. Sehingga bangsa arab banyak menguasai daerah - daerah di Eropa terutama setelah masa Khulafaur Rosidin yakni pada masa Daulah Umayah.
Pada umumnya Pasca Khulafaur Rosidin , pemerintahan Islam sering kali dipandang tidak sesuai lagi dengan syariat Islam. Peristiwa pemberontakan ( Bughot ) wali Syam Muawiyah Kepada Khlifah Ali bin Abi Tholib yang diperangi dalam perang Shiffin, kemudian berlanjut dengna kekisruhan negara pada masa kekholifahan Ali yang diakhiri dengan terbunuhnya sang Kholifah oleh Kaum Khowarij.
Mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada Ali bin Abi Tholib dinamakan periode Khilafah Rosyidah, . para Kholifahnya disebut Khulafaur Rosidin ( Kholifah yang mendapat petunjuk ). Ciri masa ini mereka betul – betul menurut pada teladan Nabi, mereka dipilih secara Musyawarah atau secara Demokratis. Sedangkan pada Masa Daulah Umayah pemerintahan islam berbentuk Kerajaan. Kekuasaan diturunkan secara turun temurun.
Pada makalah ini, kami akan membicarakan tentang peradaban Islam pada masa Dawlah Amawiyah , sejarah berdirinya  dan pola administrasi politik pemerintahan yang diterapkan serta perluasan wilayah yang dicapai pada masa Dawlah Amawiyah.


II.    PEMBAHASAN

A.          Sejarah Berdirinya Dawlah Amawiyah ( Bani Umayah )
Sepeninggal Ali bin Abi Tholib , Gubernur Syam tampil sebagai penguasa islam yang kuat . Masa kekuasaanya merupakan awal kedaulatan Bani Umayah. Muawiyah bin Abi Sufyan adalah pembangun dinasti Umayah dan sekaligus menjadi kholifah pertama. Ia memindahkan ibu kota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus.
Sebelum mengadakan pembrontakan , Muawiyah terlebih dahulu menyusun kekuatan yang besar dengan jalan : Pertama, mempersatukan keluarga Bani umayah. Kedua, Menghasut daerah-daerah selikar Syam untuk ikut bergabung dengannya. Setelah itu dengan kekuatan yang besar  Muawiyah berangkat ke madinah , maka terjadilah perang Shiffin.[1]
Muawiyah tumbuh sebagai pemimin karier. Pengalaman politik telah memperkaya dirinya dengan kebijaksanaan dalam memerintah, mulai dari menjadi seorang pemimpin pasukan dibawah komando panglima besar Abu Ubaidah  ibn Jarah yang berhasil merebut wilayah palestina, suriah dan mesir dari tangan imperium Romawi yang telah menguasai ketiga daerah itu sejak tahun 63 SM, lalu ia pernah menjabat kepala wilayah di Syam yang membawahi suriah dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus selama kira - kira 20 tahun semenjak diangkat Kholifah Umar bin Khotob.
Keberhasilan Muawiyah mendirikan Dinasti Umayah bukan hanya akibat dari Kemenangan diplomasi di siffin dan terbunuhnya Ali saja melainkan beberaa hal yang mendukung antara lain ;
  1. Adanya dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan Keluarga Bani Umayah .
  2. Muawiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan – jabatan penting.
  3.  Muawiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat Hilm , sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekah.[2]
Gambaran dari sifat mulia tersebut dalam diri Muawiyah setidaknya tampak dalam keputusanyan yang berani memaklumkan jabatan kholifah secra turun temurun. Dengan tujuan menegakkan wibawa pemerintahan serta menjamin integritas kekuasaan di masa yang akan datang, maka Muawiyah dengan tegas menyelenggarakan suksesi yang damai dengan pembaitan putranya , Yazid .
B.           Para Kholifah Bani Umaiyah
Dinasti Umaiyah berkuasa hampir kurang satu abad, tepatnya 90 tahun , dengan 14 orang kholifah. Dimulai oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dan ditutup oleh Marwan bin Muhammad. Adapun urut-urutan Kholifah Bani Umaiyah adalah sebagai berikut ;
Muawiyah I bin Abi sufyan
Yazid I bin Muawiyah
 Muawiyah II bin yazid
Marwan I bin Hakam
Abdul Malik bin Marwan
Al walid I bin Abdul Malik
Sulaiman bin Abdul Malik
Umar bin Abdul Aziz
Yazid II bin Abdul malik
Hisyam bin Abdul Malik
Al walid II bin yazid II
Ibrohim bin Al Walid II
Marwan II bin Muhammad
Dari keempat belas kholifah tersebut yang terbesar adalah Muawiyah bin Abi Sufyan ( 661- 680 M ), Abdul Malik bin Marwan ( 685 – 705 ) , Al Walid bin Abdul Malik ( 705-715 ) dan Umar bin Abdul Aziz ( 717 – 720 M )
Muawiyah adalah bapak pendiri Dinasti Umaiyah. Dialah pembangun yang besar. Namanya disejajarkan dalam deretan Khulafaurrosidin. Bahkan Kesalahannya yang menghianati prinsip pemilihan kepala Negara oleh rakyat, dapat dilupakan orang karena jasa- jasanya yang mengagumkan.
Muawiyah mendapatkan kursi kekholifahan setelah Hasan bin ali bin Abi Tholib berdamai dengannya ada tahun 41 H. Umat Islam sebagaianya membaiat Hasan setelah ayahnya wafat . namun Hasan menyadari kelemahanya sehingga ia berdamai dan menyerahkan kepemimpinan umat keada Muawiyah bin Abi Sufyan sehingga tahun itu dinamakan Amul Jamaah ( tahun persatuan.) Muawiyah menerima kekholifahan di Kufah dengan syarat-syarat yang diajukan oleh Hasan bin Ali, yakni
  1. Agar Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap seorang pun penduduk Irak.
  2. Menjamin keamanan dan memafkan kesalahan – kesalahan mereka.
  3. Agar pajak tanah negeri Ahwaj diperuntukan kepadanya dan diberikan tiap tahun.
  4. Agar Muawiyah membayar kepada saudaranya 2 juta dirham.
  5. Pemberian kepada Bani Hasyim harus lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdis Syam.[3]

C.           Pola Adminstrasi politik pemerintahan dan Ekspansi Wilayah
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayah , pemerintahan yang bersifat Demokratis berubah menjadi Monarchiheridetis kerajaan turun temurun. Kekuasaan Muawiyah diperoleh dari kekerasan , dilomasi dan tipu daya , tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepempinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia kepada anaknya Yazid. Muawiyah mencoba mencontoh Monarkhi di Persia dan Bizantium. Dia tetap menggunakan istilah kholifah , namun demikian dia memberikan interpretasi barun dari kata-kata itu untuk menggagungkan jabatan tersebut. Dia menyebut Kholifah Allah, dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah.
Ekpansi yang terhenti pada masa Usman dan Ali dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Dizaman Muawiyah Tunisia berhasil ditaklukan sampai ke Khurosan. Ekpansi ke Timur dilakukan Oleh Abdul malik. Ia mengirim pasukanya menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukan Samarkand, Bukhora bahkan sampai ke India dan dapat menguasai daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekpansi Ke barat secara besar-besaran dilanjutkan pada zaman Al Walid bin Abdul Malik. Pada masa pemerintahanya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun ini tercatat suatu ekpedisi militer dari Afrika Utara sampai Benua Eropa pada tahun 711 M. Setelah Al Jazair dan Maroko ditaklukan Thoriq bin Ziyad menyeberangi selat dan mendarat disuatu tempat yang kenal dengan Gibraltar ( Jabal Thoriq ), tentara Spanyol dapat dikalahkan dan ibu kotanya Kordova dengan cepat dapat dikuasai.
Di zaman Umar bin Abdul Aziz , serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh oleh Abdurohman bin Abdullah Al Ghofiqi. Dengan keberhasilan ekpansi kebeberapa daerah, baik di Timur maupun di Barat, wilayah kekuasaan Islam pada masa Bani Umayah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Al Jazair Irak, Afganistan Pakistan Uzbek dan Kirgis di Asia Kecil.
Disamping Ekpansi kekuasaan Islam , Bani Umayah juga banyak berjasa dalam pembangunan diberbagai bidang. Muawiyah mendirikan dinas Pos dan tempat – tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap serta perlengkapanya disepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dsan mencetak mata uang. Pada masanya jabatan khusus seorang hakim ( Qodhi ) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri. Pada Masa Kholifah Abdul malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai didaerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu Ia mencetak Uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Kholifah Abdul Malik juga berhasil melakukan pembenahan – pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.[4]
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dikatakan stabil. Muawiyah tidak menaati isi perjanian dengah Hasan bin Ali ketika dia naik tahta. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putra mahkota telah menyalahi isi perjanjian yang disebutkan bahwa persolan penggantian pemimpin diserahkan kepada pemilihan umat islam. Dengan demikian sehingga muncul gerakan-gerakan oposisi dikalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara .
D.          Runtuhnya Dinasti Bani Umaiyah
Ketika yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada Gubernur madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya., dengan cara ini semua orang terpaksa tunduk kecuali Husein  bin Ali dan Abdullah bin Zubair. Perlawanan terhadap Bani Umayah dimulai oeh Husein . pada tahun 680 M ia pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan syiah yang ada di Irak. Umat islam disitu tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein menjadi Kholifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus sedangkan tubuhnya dikubur di Karbela.
Hubungan pemerintahan dengan golongan oposisi membaik pada masa Kholifah Umar bin Abdul Aziz ( 717- 720 M ). Ketika dinobatkan menjadi Kholifah, dia menyatakan bahwa akan memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam kekuasaan islam dari pada menambah perluasanya. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaanya. Pajak diperingan. Sepeniggal Umar bin Abdul Aziz kholifah berada dibawah Yazid  bin Abdul Malik, penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kepentingan masyarakat, sehingga kerusuhan semakin terjadi dan merajalela hingga kholifah berikutnya yakni Hisyam bin Abdul Malik. Sebenarnya Hisyam bin Abdul malik adalah seorang kholifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi , karena gerakan oposisi terlalu kuat kholifah tidak berdaya mematahkanya.
Sepeniggal Hisyam, kholifah-kholifah Bani Umayah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat gerakan oposisi. Akhirnya pada tahun 750 M, Daulah Umayah dapat digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim Al Khurasani. Kholifah terakhir Bani Umayah Marwan bin Muhammad melarikan diri ke Mesir  dan ditangkap serta dibunuh.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain :
  1. Sistem pergantian Kholifah melalui garis keturunan dalah sesuatu yang baru bagi tradisia Arab yang lebih menekankan segi Senioritas.
  2. Latar Belakang terbentuknya kedaulatan bani Umayah tidak dapat dilepaskan dari konflik-konflik politik
  3. Adanya pertentangan keras antara suku-suku Arab Utara ( Bani Qoys ) dan Suku Arab selatan ( Bani kalb ) pada masa Bani Umayah mencapai Puncaknya.
  4. Lemahnya Pemerintahan Daulah Bani Umayah yang disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan Istana.
  5. Munculnya Kekuatan baru yang dipelopori oleh Keturunan Bani Abbas yang secara langsung menyebabkan hancurnya Bani Umayah.[5]


III. KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa setelah Khulafaur Rosidin, kekholifahan jatuh ketangan Bani Umayah dengan Kholifah Pertamanya bernama Muawiyah bin Abi Sufyan yang dulunya sebagai Gubernur di Syam . Muawiyah memindahkan ibukota Negara yang berada di Kufah ke Damascus, serta mengubah sitem pemerintahan yang dari Demokratis Menjadi Monarchiheredites.
Dinasti Bani Umayah berkuasa kurang lebih selama 90 tahun dimulai dari tahun 661 M – 750 M / 41 H – 132 H ) dengan empat belas Kholifah yang memimpinya secara bergiliran. Dari Kholifah Pertama sampai terakhir yang terkenal adalah Kholifah Muawiyah, bin Abi sufyan, Abdul malik Bin marwan serta Umar bin Abdul Aziz. Selama Dinasti Umayah ini perluasan wilayah Islam sampai ke Negara Spanyol, Maroko dan Aljazair bahkan sampai ke Punjab India.
 Bani umayah juga banyak berjasa dibidang pembangunan seperti mendirikan dinas Pos dan membuat bentuk mata uang sendiri serta meresmikan bahasa arab sebagai bahasa resmi Negara. Pada Masa Alwalid berhasil  membangun jalan raya , pabrik-pabrik serta masjid-masjid yang Megah.
Bani Umayah mengalami kemunduran setelah terjadi banyak pembrontakan dan kerusuhan yang terjadi sehingga menyebabkan Stabilitas Keamanan menurun lebih-lebih ketika pembrontakan yang muncul dari keturunan bani Abbas yang didukung  oleh Abu Muslim Al Khuroasani serta mendapat dukungan dari Kaum Syiah dan Bani Hasyim hingga Bani Umayah Jatuh dan digantikan oleh  Bani Abassiah.



DAFTAR PUSTAKA


Abdul Mutholib, Sejarah Kebudayaan Islam, ( Jakarta , Dirjenbinbaga Islam, 1996 )
Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, ( Bandung, CV. Rusyda, 1987 )
Atang Abdul Hakim, Metode Studi Islam,( Bandung ,Rosdakarya, 1999 0
Ali Mufrodi, Is;lam di Kawasan Kebudayaan Arab, (  Ciputat, Logos Wacana Ilmu, 1997 )
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: Grafindo Persada , 2006  )
















[1] Abdul Mutholib, Sejarah Kebudayaan Islam, ( Jakarta : Dirjenbinbaga Islam, 1996 ) , h.307
[2] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, ( Ciputat: Logos wacana Ilmu, 1997 ), h. 70-71
[3] Ibid, h. 73
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta : Grafindo Persada, 2006 ) , h. 44
[5] Ibid, h. 48-49

K0nsep Pendidikan Ibnu Khaldun


KONSEP  PENDIDIKAN  IBNU  KHULDUN

I.                   Pendahuluan
Pendidikan Islam telah berlangsung kurang lebih 14 abad, yakni sejak zaman nabi Muhammad SAW diutus. Sejarah menunjukkan perkembangan kegiatan pendidikan pada masa klasik Islam adalah sebagai jembatan pengembangan keilmuwan klasik dan keilmuwan modern, akan tetapi generasi Islam selanjutnya tidak mewarisi semangat ilmiah yang dimiliki para pendahulunya, akibatnya prestasi yang pernah diraih berpindah tangan ke barat, karena mereka mau mempelajari dan meniru tradisi keilmuwan yang dimiliki Islam masa klasik dan mampu mengembangkannya lebih lanjut, hal ini sangat disayangkan dan ironis sekali di satu sisi orang Islam yang menemukan inovasi baru tetapi di sisi lain orang barat yang notabene kafir yang mengembangkannya.
Banyak para pemikir Islam klasik yang telah berjasa dalam memberikan sumbangsihnya tentang konsep-konsep dalam segala bidang disiplin ilmu terutama mengenai kependidikan yang salah satunya ialah IBNU KHALDUN yang merupakan tokoh besar di dunia Islam yang telah berhasil memaparkan buah pikirannya dalam kitab Mukaddimah sebagai karya monumental yang mengangkat nama dan martabatnya di dunia sehingga para pemikir barat memberikan pengakuan terhadap kebesaran Ibnu Khuldun diantaranya adalah Charles Issawy.[1]
Melalui pemikirannya yang inovatif, Ibnu Khuldun mencoba memunculkan konsep baru mengenai kependidikan yang mampu menggugah wacana berpikir dan menuju ke arah paradigma baru.
Bagaimana konsep pendidikan, metodologi dan teori Ibnu Khuldun, akan kami bahas dalam makalah ini lebih lanjut.



 
 

II.                Biografi Ibnu Khuldun
Nama asli Ibnu Khuldun ialah Wali ad din Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad Ibnu Khuldun al Hadrami al Idhbili, disingkat Ibnu Khuldun. Lahir di Tunisia pada 27 Mei 1332 M / 1 Romadhon 732 H dan wafatnya di Kairo 25 Romadlon / 19 Maret 1406 M. N J Dawood menyebutkan sebagai negarawan, ahli hukum, sejarawan dan sarjana.
Nenek moyangnya berasal dari Hadramaut yang kemudian bermigrasi ke Seville (Spanyol) pada abad 8 setelah semenanjung itu dikuasai Arab Muslim. Keluarga yang dikenal pro Umayyah ini selama berabad-abad menduduki posisi tinggi dalam politik di Spanyol sampai akhirnya hijrah ke Maroko beberapa tahun sebelum Seville jatuh ke tangan penguasa Kristen. Pada 1248 setelah itu mereka menetap di Tunisia di kota ini mereka dihormati pihak istana, diberi tanah milik dinasti Hafsiah. Sewaktu kecil Ibnu Khuldun sudah menghafal al-Qur’an dan Tajwid gurunya yang pertama adalah ayahnya sendiri, waktu itu Tunisia menjadi pusat Hijrah, Andalusia yang mengalami kekacauan akibat perebutan kekuasaan. Kehadiran mereka bersamaan dengan naiknya Abul Hasan pemimpin Bani Marin (1347). Ibnu Khuldun mendapatkan kesempatan belajar dari para ulama itu selain dari ayahnya yaitu dari ulama yang hijrah dari Andalusia. Ayah Ibnu Khuldun bernama Muhammad, beliau menguasai ilmu mendalam mengenai al-Qur’an dan ilmu fiqih, gramatika dan sastra.
Pada usia 17 tahun Ibnu Khuldun telah menguasai disiplin ilmu Islam klasik termasuk Ulum Aqliyah (ilmu kefilsafatan, tasawuf, metafisika) ia mengikuti madzhab Maliki disamping itu semua ia juga tertarik pada ilmu politik, sejarah, ekonomi, geografi dan lain-lain.[2]

 
Otaknya memang tidak puas dengan satu dua disiplin ilmu saja, disinilah letak kekuatan dan sekaligus kelemahan Ibnu Khuldun sehingga dari cacatan sejarah ia tidak dikenal menguasai satu bidang disiplin ilmu yang spesific.
Dalam usia 21 tahun, Ibnu Khuldun telah diangkat menjadi sekretaris sultan dinasti Hafs al Fadl yang berkedudukan di Tunisia tahun 751 H atau 1350 M, tetapi kemudian ia berhenti karena penguasa yang didukungnya kalah dalamsuatu pertempuran. Pada tahun 753 H dia ke Baskarah (al Jazair) dari sana ia berusaha bertemu dengan Abu Anan penguasa bani Marin yang sedang berada di Tilmisan. Pada tahun 775 H, ia diangkat menjadi anggota Majelis ilmu pengetahuan dan setahun kemudian ia diangkat menjadi sekretaris sultan sampai tahun 763 H (1361 – 1362 M) ketika Wazir Umar bin Abdillah murka kepada dan memerintahkannya untuk meninggalkan negeri itu.
Pada tahun 764 H ia berangkat ke Granada oleh Sultan bani Ahmar, ia diberi tugas menjadi duta negaa di Castillah dan berhasil tetapi kemudian hubungannya dengan Sultan mengalami keretakan. Tahun 766 H ia pergi ke Bijayah atas undangan penguasa bani Hafs, Abu Abdillah Muhammad yang mengangkatnya menjadi perdana menteri.
Tetapi kemudian ia pergi ke Baskarah ia berkirim surat kepada Abu Hammu, Sultan tilmisan dari Bani Abdil Wad kepada sultan ia memberikan dukungan, Sultan memberikan jabatan penting tetapi ia menolak karena ia ingin melanjutkan studinya secara autodidak, tatkala Abu Hammu diusir oleh Sultan Abdul Aziz (Bani Marin) Ibnu Khuldun berakhir pihak kepadanya akhirnya Tilmisan direbut kembali oleh Abu Hammu, meskipun pernah bersalah kepada penguasa Tilmisan itu ia berjanji pada diri sendiri untuk tiak terjun lagi dalam dunia politik. Ia akhirnya menyepi di qol’at Ibnu Salamah dan menetap disana sampai 780 H / 1378 M. Disinilah ia mengarang ktiab monumentalnya ”Al-I’barwa diwan al Mubtada’ wa al khabar fi Ayyam al-’Arab wa al Ajam wa al Barbar.
Pada tahun 780 H (1378) Ibnu Khuldun kembali ke tanah airnya Tunisia, untuk menelaah beberapa kitab yang diperlukan sebagai bahan revisi kitab al ’Ibar, pada tahun 784 H / 1382 M ia berangkat ke Iskandaria Mesir dengan maksud menghindari kekacauan politik di Magrib setelah sebulan ia ke Kairo, para ulama dan penduduk Kairo menyambut degan gembira. Di al Azhar, ia membentuk halaqoh dan memberi kuliah. Tahun 786 H raja menujuknya menjadi dosen dalam ilmu fiqih, beberapa tahun kemudian ia diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan selang beberapa lama keluarganya mendapat musibah, kapal yang membawa isteri, anak-anak dan harta bendanya tenggelam tatkala merapat ke iskandaria, pada tahun 801 H (1399) ia kembali diangkat sebagai ketua pengadilan dan pergi ke Baitul Maqdis tiga bulan setelah itu dia mengundurkan diri, pada tahun 803 H (1401 M) ia ikut menemani Sultan ke Damaskus dalam satu pasukan untuk menahan serangan Timur Lenk penguasa Mogul. Setelah kembali ke Kairo ia kembali diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan hingga akhir hayatnya.[3]

 
Ibnu Khuldun mempunyai banyak guru, adapun grunya yang pertama adalah ayahnya sendiri, selain itu ia juga belajar pada para ulama dan para sastrawan dari negara-negara Maghrib yang hijrah dari Andalusia, dia belajar al-Qur’an dari mereka, mempelajari dan mendalami ketujuh macam ara membaca serta qiroat Ya’qub. Dalam berbagai karyanya, Ibnu Khuldun mencatat nama-nama gurunya, menuliskan riwayat hidupnya, meneliti kedudukan mereka dalam menuliskan riwayat hidupnya, meneliti kedudukan mereka dalam dunia keilmuwan dan karya-karya mereka, diantara guru-gurunya adalah : Muhammad bin Saad bin burral al ansyari, Muhammad bin Al ’arabi Al Hasyairi, Muhammad bin Syawas al Zarzari, ahmad bin al Qosa Muhammad bin Barh, Muhammad bin Jabir al Qoisi dan lain-lainnya. Dari sekian banyak gurunya yang sangat berpengaruh terhadap pembentukannya dalam bidang keilmuwan syariat, bahasa dan filsafat, mereka itu adalah Muhammad bin Abdillah Muhaimin bin Abdil Muhaimin al Hadami seorang imam Muhaditsin dah ahli nahwu di Magribi. Kemudian Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim al abili dalam bidang ilmu rasional yang disebut juga dengan ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu hukum, logika, metafisika, fisika, ilmu falak dan musik.[4]

III.             Setting Sosial
Telah kita ketahui bahwa Ibnu Khuldun berasal dari keluarga terpelajar, neneknya pernah menjabat menteri keuangan Tunisia, sementara ayahnya sendiri seorang Administrator dan perwira militer dan moyangnya itu juga pemimpin politik di Seville dan pada waktu itu keilmuan dijadikan sebagai persyaratan untuk menjadi pemimpin. Pada waktu itu yang menjadi pemimpi Seville berada di tangan keluarga Khuldun dan keluarga bangsawan lainnya serta pengaruh kekuasaan lainnya berada di tangan Khuldun.
Dari sejarah dan pengalaman hidupnya serta berbagai rintangan yang dihadapinya, maka dari berbagai pengalaman itulah timbul konsep-konsep baru baik mengenai sosiolog sejarah dan pendidikan, jika dilihat dari berbagai pengalaman dalam berbagai pemerintahan yang berbeda dan selalu berganti-ganti maka ia adalah seorang diplomat ulung yang dapat bekerja sama dengan berbagai penguasa yang sedang berkuasa saat itu sehingga ia mampu menarik hati penguasa.

 
Al Faruqi menggambarkan situasi yang dihadapi Ibnu Khuldun dengan baik, yaitu sebagai berikut : ”Ini adalah abad tentang intrik politik, tentang suksesi kekuasaan yang cepat dan keras antara negara=negara muslim yang keadaan umumnya dalam kejatuhan dan kehancuran. Muslim berkomplot jahat satu sama lain, mengalihkan kesetiaannya dari pemerintahan kepenguasaan yang satu kepada yang lain demi pemenuan kepentingan pribadi. Ibnu Khuldun sepenuhnya sesuai dengan lingkungan semacam itu seakan-akan ia dilahirkan bukan hanya di dalamnya, tetapi untuk keadaan semacam itu.[5]


IV.             Metodologi
Dari pengalaman Ibnu Khuldun dalam perjalanan hidupnya yang mengalami silih bergantinya kekuasaan, akhirnya dia mengadakan pendekatan kepada penguasa dan pejabat, dengan pendidikan untuk/sebagai suatu proses untuk mewujudkan suatu masyarakat yang berkebudayaan serta masyarakat seutuhnya.
Dari sini kita lihat metode Ibnu Khuldun untuk merumuskan konsep pendidikan melalui pengalaman dan keahliannya sebagai ahli silsafat sejarah yaitu beliau menggunakan pendekatan filsafat sejarah atau ”HISTORICAL PHILOSOPHY APPROACH” dengan menghubungkan antara konsep dan realita, karena kedua pendekatan tersebut akan mempengaruhi sistem bergilir dan pemikirannya dalam pembahasan setiap permasalahan karena kedua pendekatan tersebut mampu merumuskan beberapa pendapat dan interpretasi dari suatu kenyataan dan pengalama yang telah dilalui, yang dimaksud dengan pendekatan filsafat sejarah atau historikal filosofi approach adalah suatu pendekatan sejarah yang mencoba menggali berbagai konsepsi para filosof tersebut telah ditemukan jawabannya oleh para filosof sepanjang jaman, sejarah dari hasil kajian tersebut akan menimbulkan fenomena baru atau konsep baru dari berbagai sudut tinjauan atau aliran pemikiran.[6]

V.                Teori

 
Dalam melakukan aktivitasnya mengenai keilmuan Ibnu Khuldun mempunyai pendapat sendiri mengenai definisi ilmu pengetahuan, menurutnya ilmu pengetahuan adalah kemampuan manussia untuk membuat analisa dan sintesa sebagai hasil pemikiran atau berpikir. Kesanggupan berpikir menurutnya ada 3 tingkatan, yaitu :
1.      Pemahaman intelektual manusia terhadap sesuatu yang ada di luar alam semesta dalam tatanan alam atau tatanan yang berubah-ubah, dengan maksud supaya dia dapat melaksanakan seleksi dengan kemampuan dia sendiri. Bentuk pemikiran ini kebnayakan berupa persepsi. Inilah akal benda (Al Aqlu al Tamyiszi) yang membantu manusia memerpoleh penghidupannya dan menolak segala sesuatu  yang sia-sia bagi dirinya.
2.      Berpikir yang memperlengkapi manusia dengan ide-ide dan perilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang bawaan dan megnatur mereka (Anak buah). Pemikrian ini kebnayakan persepsi (tashdiqot) yang dicapai satu demis atu melalui pengalaman hingga benar-benar diarasakan manfaatnya. Inilah yang dinamakan akal eksperimental (al aql al tajribi)
3.      Pemikiran yang melengkapi  manusia dengan ilmu dan pengetahuan hipotesis (dzat) mengenai sesuatu yang berada di belakang persepsi indra tanpa tindakan praktis yang menyertainya, inilah akal spekulatif (al Aql al Nadzri)
Jika tingkatan berpikir itu menyatu dalam diri manusia, maka akan mencapai kesempurnaan sebagai realitasnya, sebagai manusia intelektual murni serta memliki jiwa-jiwa perseptif yang disebutnya sebagai realitas manusia (haqiqoh al insaniah)
Untuk memperoleh pengetahuan, menurut Ibnu Khuldun haruslah mempunyai seorang guru, untuk pengawasan dengan melalui pengulangan dan pemahaman praktik sehingga melekat di dalamnya otak pikiran harus berorientasi kepada adanya penyatuan teori dan praktek.[7]



 
 

VI.             Ide-ide pokok Ibnu Khuldun Tentang Pendidikan
Selain ahli dalam bidang filsafat dan sosiologi, Ibnu Khuldun juga ahli dalam soal kependidikan. Hal ini karena dia tidak mengkhususkan dirinya dalam satu disiplin ilmu saja.
Konsep pemikiran atau ide pokok Ibnu Khuldun mengenai dasar-dasar pendidikan dan pengajarannya dikemukakan oleh Mustofa Amin dalam buknya ”Tarik At-Tarbiyah”, sebagai berikut :
1.      Dalam pengajaran agar disampaikan secara global pada tingkat permulaan kemudian secara terperinci, dalam hal ini dilakukan dengan tiga kali pengulangan.
2.      Pemakaian alat-alat peraga dalam pengajaran pada masa permulaan.
3.      Jangan mengulur-ulur waktu ketika murid sedang belajar vak/materi tertentu, dengan jalan memutuskan proses belajar dengan istirahat.
4.      Jangan mengajarkan definisi-definisi atau kaidah-kaidah umum pada pertama kali.
5.      Jangan membiarkan murid belajar dua macam ilmu dalam satu waktu.
6.      Pengajaran al-Qur’an dilakukan sejak dini.
7.      Agar tidak memperluas pembahasan dalam pelajaran-pelajaran ilmu alat.
8.      Guru jangan meringkaskan ilmu-ilmu dengan seringkas-ringkasnya, dalam kitab kecil yang dinamai matan, perkataannya ringkas dan sempit tetapi isinya luas dan dalam, sehingga sulit bagi siswa untuk memahaminya.
9.      Hendaknya guru jangan menugaskan murid-muridnya mempelajari bermacam-macam aliran dan guru hendaknya jangan membebani murid-muridnya  untuk meneliti buku-buku serta ilmu apa yang ditulis dalam buku-buku.
10.  Bepergian ke negeri-ngeri lain untuk menambah ilmu menambah  pengalaman dan pengetahuan karena kita memerlukan wawasan yang mungkin tidak dapat diperoleh dalam kampung sendiri.
11.  Cinta kasih kepada anak-anak, membina mereka dengan penuh keakraban , lemah lembut dan jangan keras dan kasar.
12.  Mendidik anak remaja berdasarkan pemberian contoh suri tauladan yang baik.

VII.          Analisis
Ilmu adalah sesuatu yang sangat penting dalam hidup ini karena melalui tingkatan ilmulah akan terlihat seseorang itu berada pada tingkatan yang mana baik dihadapan Allah maupun dihadapan manusia. Ilmu dianugerahkan oleh Allah sebagai modal dasar bagi manusia untuk mengolah sumber daya alam agar menusia lebih mengembangkan potensi dalam mengenal dan mengabdikan dirinya di hadapan Allah SWT. Maka Ibnu Khuldun, adalah salah seorang yang mengembangkan ilmu pengetahuan. Ada beberapa hal yang menyebabkan Ibnu Khuldun memiliki kecemerlangan pemikiran-pemikiran sebagai seorang ahli sejarah dan penemu ilmu pengetahuan antara lain sebagai berikut, yaitu :
1.      Ia mendapat kecerdasan fitrah yang luar biasa.
2.      Mempunyai kemampuan dalam mengadakan pengamatan dan pengaitan atara sebab dan musabab.
3.      Mempunyai pengalaman yang luas dalam kehidupan politiknya yang penuh kegoncangan dan revolusi.
4.      Sering mengembara antara barat dan timur, antara eropa, asia dan afrika utara.
5.      Memiliki ilmu pengetahuan yang luas yang disatu sisi diperolehnya dari membaca serta mempelajari kitab-kitab, disisi lain dari pengamatannya yang cermat selama mengembara dan bergaul dengan bermacam-macam bangsa dan warga negara.




Dari beberapa uraian tersebut diatas, maka pemikiran Ibnu Khuldu mengenai ilmu pengetahuan berorientasi pada :
1.      Tidak adanya pemisahan antara ilmu teoritis dan ilmu praktis.
2.      Orientasi kepada pengadaan ilm agama yang disembangkan ilmu aqliyah.
3.      Orientasi pada anggapan bahwa tugas mengajar adalah alat terpuji untuk memperoleh rizki.
4.      Orientasi menjadikan pengajaran bersifat umum mencakup aspek-aspek berbagai ilmu pengetahuan, serta jauh dari spesialisasi sempit sambil memperdalam ilmu alam seperti ilmu bahasa dan Mantiq.
Dilihat dari tujuan dan orientasi pendidikan, Ibnu Khuldun dan          al Ghozali terdapat perbedaan yang menonjol, pendapat dan rumusan pendidikan Ibnu Khuldun adalah merupakan reformasi terhadap pendapat Imam Ghozali yang mencolok adalah dari segi tujuan pendidikan dan mengenai gaji guru pendiikan agama.
Menurut al Ghozali, menuntut ilmu pengetahuan itu bukanlah untuk memperoleh tetapi tujuan paling tinggi adalah untuk memperoleh ridlo Allah dan untuk menikmati kehidupan yang abadi di akherat kelak. Ilmu pengetahuan haruslah dilengkapi dengan amal. Dia mengakan seorang manusia pastilah akan binasa kecuali orang yang berilmu dan orang yang berilmupun akan binasa kecuali orang yang beramal dan orang yang beramalpun akan binasa kecuali orang yang ikhlas.[8]
Sedangkan menurut Ibnu Khuldun tujuan pendidikan itu sebagai berikut :
1.      Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekrja.
2.     

 
Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan sebagai alat untuk membantunya hidup dengan baik did alam masyarakat yang maju dan berbudaya.
3.      Memperoleh lapangan pekerjaan, yang digunakan untuk memperoleh rizki.
Pandangan pemikiran Ibnu Khuldun banyak diikuti oleh pemikir timur dan barat dan menjadi seolah satu tinggak kemajuan pendidikan dunia.



























DAFTAR  PUSTAKA

Ahmad, Jamil , Seratus Muslim Terkemuka, (Jakarta : Pustaka firdaus, 1987)
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam 2, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hovw, 1994)
Abdul, Kholik, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999)
Ma’arif, Ahmad, Ibnu Khuldun dalam Pandangan Pemikir Timur dan Barat, (Jakarta : Gama Insani Pers, 1996)
Abdul, Kholik, Pemikiran Pendidikan Islam ........, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 1999)
Busyairi Madjid, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Jakarta : al Amin Pers, 1997)
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Pt. Logos Wacana Ilmu, 1997)





















TUGAS AKHIR

SEJARAH BIOGRAFI MUHAMMAD NATSIR

Mata Kuliah : Penelitian Sejarah
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Hj. Ismawati, M.Ag
 











Disusun Oleh :
SIROJUL HUDA
NIM. 085112072





PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2009


[1] Kholiq Abdul, Pemikiran Pendiikan Islam …, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hal. 1
[2] Muhsin Mahdi, Ibnu Khuldun’s Philosopi of History, (Chicago the University of Chicago Pers, 1971). Hal. 27
[3] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, (Jakarta : Pustaka firdaus, 1987), hlm. 159
[4] Abdul Kholik dkk, Pemikiran Pendidikan Islam,  (Yoyakarta : Pustaka Pelajar, 1999) hlm. 11
[5] Ahmad Ma’arif, Ibnu Khuldun dalam Pandangan Pemikir Timur dan Barat, (Jakarta : Gama Insani Pers, 1996), hlm. 13
[6] Abdul Kholik, Op. Cit., hlm. 16
[7] Abdul Kholik, Ibid, hlm. 20
[8] Abdul Kholik, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999) hlm. 21