Minggu, 12 Desember 2010

AGAMA DAN PENGARUHNYA

AGAMA DAN PENGARUHNYA
TERHADAP SIKAP/PERILAKU PEMELUKNYA

I. Pendahuluan
Sebagaimana institusi sosial lainnya, agama juga memiliki fungsi yang sangat urgen bagi masyarakat. Fungsi ini sangat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pemeliharaannya.
Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor).
Salah satu buktinya adalah adanya perhatian khusus para ahli pskologi terhadap peran agama dalam kehidupan dan kejiwaan manusia. Pendapat yang paling ekstrem pun tentang hal itu masih menunjukkan batapa agama sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologis.
Sehubungan dengan hal tersebut bahwa agama mempunyai kaitan atau hubungan yang erat terhadap masyarakat, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang agama dan pengaruhnya tehadap sikap/pilaku pemeluknya yang meliputi definisi agama, fungsi agama, agama dan pengaruhnya dalam kehidupan terhadap sikap pemeluknya.

II. Pembahasan
A. Pengertian Agama
Pengertian agama menurut J.H. Leuba, agama adalah cara bertingkah laku, sebagai system kepercayaan atau sebagai emosi yang bercorak khusus. Sedangkan definisi agama menurut Thouless adalah hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang dia percayai sebagai mahluk atau sebagai wujud yang lebih tinggi dari manusia.
Kata agama sendiri berasal dari bahasa sangsekerta, terdiri dari dua kata, yaitu a dan gama; a berarti tidak dan gama berarti kacau, maksudnya tidak kacau atau teratur; hal ini berarti orang beragama itu akan memperoleh ketentraman dan hatinya penuh kedamaian.
Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia lari kepada agama karena rasa ketidak berdayaan menghadapi bencana. Dengan demikian, segala bentuk prilaku keagamaan merupakan prilaku manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhindar bahaya dan dapat memberikan rasa aman. Untuk keperluan itu manusia menciptakan Tuhan dalam pemikirannya.
Menuut Skiner, salah seorang tokoh Behaviorisme mendefinisikan agama sebagai isme social yang lahir dari dua faktor penguat. Menurutnya kegiatan keagamaan menjadi factor penguat sebagai prilaku yang meredakan ketegangan. Lembaga-lembaga social termasuk lembaga keagamaan, bertugas menjaga dan mempertahankan perilaku atau kebiasaan masyarakat. Manusia menanggapi tuntutan yang terkandung dalam lembaga itu dan ikut melestarikan lewat cara mengikuti aturan-aturan yang telah baku.
Sedangkan menurut gambaran Elizabeth K. Nottingham, agama dianggap sebagai gejala yang begitu sering di mana-mana dan agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari kebeadaan dii sendii dan keberadaan alam semesta, sehingga dapat menbangkitkan kebahagian bathin.
Adapun pengertian agama dari sudut istilah sangat sulit untuk didefinisikan karena dalam hal ini tergantung kepada pengalaman yang mendefinisikan jadi bersifat subjektif, intern dan individual, dimana setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda.
Namun perlu disadari bahwa setiap umat atau kelompok yang benar-benar hidup sesuai dengan amanah agamanya masing-masing, maka kerukunan, persaudaraan, kedaimaian dan kenyamanan akan hadir dengan sendirinya dalam kehidupan manusia karena semua agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan tak ada yang menginginkan keburukan, pertikaian, diskriminal dan lain-lain.
Dari beberapa definisi agama diatas dapat disimpulkan bahwa agama adalah sebagai bentuk keyakinan yang bersifat supernatural yang mempunyai nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai perorangan atau sebagai masyarakat pada umumnya serta memberi dampak atau pengaruh bagi kehidupan sehari-hari.

B. Fungsi Agama
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
1. Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.
Hal ini semakin diperkuat dengan adanya konsep sakral yang melingkupi nilai-nilai keagamaan sehingga hal tersebut tidak mudah untuk dirubah dan memiliki otoritas yang kuat di masyarakat.
Dengan mendasarkan pada perspektif fungsionalis, Thomas F. O’Dea mengungkapkan bahwa agama memiliki fungsi dalam menyediakan dua hal. Pertama, suatu cakrawala pandangan tentang dunia luar yang tidak terjangkau oleh manusia (beyond). Kedua, sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal diluar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia.
Lebih jauh, dengan mendasarkan pada dua hal diatas, Thomas mengungkapkan enam fungsi agama sebagai berikut:
a. Agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia yang melibatkan takdir dan kesejahteraan, agama menyediakan sarana emosional penting yang membantu manusia dalam menghadapi ketidakpastian.
b. Agama menawarkan suatu hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara peribadatan, karenanya agama memberikan dasar emosional bagi rasa aman baru dan identitas yang lebih kuat ditengah kondisi ketidakpastian dan ketidakmungkinan yang dihadapi manusia.
c. Agama mensucikan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok diatas kepentingan individu dan disiplin kelompok diatas dorongan hati individu. Denagn demikian agama berfungsi untuk membantu pengendalian sosial, melegitimasi alokasi pola-pola masyarakat sehingga membantu ketertiban dan stabilitas.
d. Agama juga melakukan fungsi yang bertentangan dengan fungsi sebaliknya, yaitu memberikan standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang sudah terlembaga bisa dikaji kembali secara kritis sesuai dengan kebutuhan masyarakat, terutama agama yang menitikberatkan pada transendensi Tuhan dan pada masyarakat yang mapan.
e. Agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting. Melalui peranserta manusia dalam ritual agama dan do’a, mereka juga melakukan unsur-unsur signifikan yang ada dalam identitasnya.
f. Agama juga berperan dalam memacu pertumbuhan dan kedewasaan individu, serta perjalanan hidup melalui tingkat usia yang ditentukan oleh masyarakat.
Dari keenam fungsi yang dijalankan oleh agama diatas, nampak bahwa agama memiliki peran yang urgen tidak hanya bagi individu tetapi sekaligus bagi masyarakat. Bagi individu, agama berperan dalam mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menghibur ketika dilanda kecewa, memperkuat moral, dan menyediakan unsur-unsur identitas.
Sedangkan bagi kehidupan bermasyarakat, agama berfungsi menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan mendukung pengendalian sosial, menopang nilai-nilai dan tujuan yang mapan, dan menyediakan sarana untuk mengatasi kesalahan dan keterasingan.
2. Fungsi Disintegratif Agama.
Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain.
Pada bagian ini, pembicaraan tentang fungsi disintegratif agama akan lebih memfokuskan perhatian pada beberapa bentuk konflik sosial yang bersumber dari agama.
Hendropuspito setidaknya mencatat empat bentuk konflik sosial yang bersumber pada agama, yaitu:
a. Perbedaan doktrin dan sikap mental.
Dalam konteks ini, konflik sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua kelompok agama yang berbeda, bukan hanya sebatas konstruksi khayal semata melainkan sebagai sebuah fakta sejarah yang seringkali masih terjadi hingga saat ini. Konflik yang muncul lebih banyak disebabkan oleh adanya perbedaan doktrin yang kemudian diikuti oleh sikap mental yang memandang bahwa hanya agama yang dianutnyalah yang memiliki kebenaran (claim of truth) sedangkan yang lain sesat, atau setidaknya kurang sempurna.
Klaim kebenaran inilah yang menjadi sumber munculnya konflik sosial yang berlatarbelakang agama, terlebih pada umumnya klaim kebenaran diikuti oleh munculnya sikap kesombongan religius, prasangka, fanatisme, dan intoleransi. Sikap-sikap tersebut sedikit banyak telah menutup sisi rasional yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk membangun saling pengertian antar pemeluk agama. Seringkali sisi non-rasional dan supra-rasional, yang memegang peranan penting dalam agama, dijadikan sebagai senjata untuk menolak argumentasi rasional yang ada. Kenyataan inilah yang turut memberikan kontribusi akan eksistensi sikap-sikap tersebut.
b. Perbedaan suku dan ras pemeluk agama
Meskipun tidak sedikit bukti yang menunjukkan bahwa agama memiliki peran dalam mempersatukan orang-orang yang memiliki perbedaan suku dan ras, namun kita juga tidak bisa membantah bahwa seringkali perbedaan suku dan ras menimbulkan konflik sosial. Apabila perbedaan suku dan ras saja telah cukup untuk memunculkan konflik sosial, maka masuknya unsur perbedaan agama tentunya akan semakin mempertegas konflik tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari fakta sejarah bahwa bangsa kulit putih yang notabene beragama Kristen merasa menjadi bangsa pilihan yang ditugaskan untuk mempersatukan kerajaan Allah di dunia dengan menaklukkan bangsa lain yang non-Kristen.
c. Perbedaan tingkat kebudayaan
Sebagai bagian dari kebudayaan, agama merupakan faktor penting bagi pembudayaan manusia khususnya, dan alam semesta pada umumnya. Peter Berger menjelaskan fenomena ini dengan menegaskan bahwa agama merupakan usaha manusiawi dengan mana suatu jagad raya ditegakkan.
Dengan kata lain, agama adalah upaya menciptakan alam semesta dengan cara yang suci. Dengan kerangka pemikiran bahwa agama memainkan peran dominan dalam menciptakan masyarakat budaya dan melestarikan alam semesta maka munculnya ketegangan yang disebabkan karena perbedaan tingkat kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari peran agama dalam menyediakan nilai-nilai yang disatu sisi mendorong pertumbuhan pemikiran bagi perkembangan budaya dan disisi lain justru menghambat dan mengekang pemikiran tersebut.
Dengan demikian, bagaimana pemeluk suatu agama dalam memahami serta menafsirkan ajaran-ajaran agamanya akan sangat menentukan kemajuan atau kemunduran masyarakat pemeluknya dalam menghadapi fenomena kehidupan sosial yang berubah dengan sangat cepat. Salah satu kajian fenomenal terhadap fenomena ini adalah apa yang diungkapkan secara panjang lebar oleh Max Weber tentang pengaruh protestantisme dalam mendorong munculnya kapitalisme.
d. Masalah mayoritas dan minoritas kelompok agama
Dalam suatu masyarakat yang plural, masalah mayoritas dan minoritas seringkali menjadi faktor penyebab munculnya konflik sosial. Setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam melihat fenomena konflik mayoritas-minoritas, yaitu: (1) agama diubah menjadi suatu ideologi; (2) prasangka mayoritas terhadap minoritas atau sebaliknya; (3) mitos dari mayoritas.
Sebagaimana yang biasa terjadi bahwa suatu kelompok agama yang mayoritas seringkali mengembangkan suatu bentuk ideologi yang bercampur dengan mitos yang penuh emosi sehingga sulit untuk dibedakan mana kepentingan politik dan mana kepentingan agama, telah menimbulkan suatu keyakinan bahwa kelompok mayoritas inilah yang memiliki wewenang untuk menjalankan segala aspek kehidupan di masyarakat.
Kondisi seperti inilah yang pada akhirnya seringkali memunculkan prasangka dan tindakan sewenang-wenang terhadap kelompok minoritas yang akan bermuara pada timbulnya konflik sosial.
Dari keempat bentuk konflik sosial yang bermuara pada permasalahan keagamaan diatas, kita bisa melihat bahwa betapa besar potensi konflik yang terkandung pada masalah-masalah keagamaan.
Oleh karena itu, sudah selayaknya perhatian terhadap potensi konflik dari agama memperoleh perhatian serius, termasuk dari kalangan peneliti sosial keagamaan dalam memberikan gambaran yang lebih detail dan komprehensif tentang fenomena keagamaan dengan memilih perspektif sosiologis yang paling sesuai dengan permasalahan keagamaan yang dihadapi.
Fungsi ganda agama sebagaimana yang tergambar diatas setidaknya telah menunjukkan kepada kita bahwa fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah fenomena yang begitu dinamis, tidak hanya mencakup wilayah teologis, akan tetapi selalu melibatkan faktor-faktor lain seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Oleh karena itu, disiplin ilmu sosiologi memiliki peluang yang cukup besar untuk menjadi perspektif utama dalam melihat fenomena keberagamaan secara ilmiah. Mengingat begitu pentingnya posisi disiplin ilmu sosiologi untuk mengungkapkan berbagai fenomena keagamaan secara akademik, maka pemahaman yang komprehensif tentang berbagai perspektif sosiologis yang ada menjadi suatu kebutuhan agar kita tidak terjebak hanya pada perspektif-perspektif umum yang ada.

C. Pengertian Perilaku
Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau genetika.
Perilaku seseorang dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh, dan perilaku menyimpang. Dalam sosiologi, perilaku dianggap sebagai sesuatu yang tidak ditujukan kepada orang lain dan oleh karenanya merupakan suatu tindakan sosial manusia yang sangat mendasar. Perilaku tidak boleh disalahartikan sebagai perilaku sosial, yang merupakan suatu tindakan dengan tingkat lebih tinggi, karena perilaku sosial adalah perilaku yang secara khusus ditujukan kepada orang lain. Penerimaan terhadap perilaku seseorang diukur relatif terhadap norma sosial dan diatur oleh berbagai kontrol sosial. Dalam kedokteran perilaku seseorang dan keluarganya dipelajari untuk mengidentifikasi faktor penyebab, pencetus atau yang memperberat timbulnya masalah kesehatan. Intervensi terhadap perilaku seringkali dilakukan dalam rangka penatalaksanaan yang holistik dan komprehensif. Perilaku manusia dipelajari dalam ilmu psikologi, sosiologi, ekonomi, antropologi dan kedokteran.
Selain itu, Skinner juga memaparkan definisi perilaku sebagai berikut perilaku merupakan hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Ia membedakan adanya dua bentuk tanggapan, yakni:
1. Respondent response atau reflexive response, ialah tanggapan yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu. Rangsangan yang semacam ini disebut eliciting stimuli karena menimbulkan tanggapan yang relatif tetap.
2. Operant response atau instrumental response, adalah tanggapan yang timbul dan berkembangnya sebagai akibat oleh rangsangan tertentu, yang disebut reinforcing stimuli atau reinforcer. Rangsangan tersebut dapat memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme. Oleh sebab itu, rangsangan yang demikian itu mengikuti atau memperkuat sesuatu perilaku tertentu yang telah dilakukan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku antara lain:
1. Genetika adalah faktor dari keturunan.
2. Sikap, yaitu suatu ukuran tingkat kesukaan seseorang terhadap perilaku tertentu.
3. Norma sosial adalah pengaruh tekanan sosial.
4. Kontrol perilaku pribadi, merupakan kepercayaan seseorang mengenai sulit tidaknya melakukan suatu perilaku.
Dengan demikian yang dinamakan perilaku keagamaan merupakan segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang keagamaan, serta tindakannya yang berhubungan dengan keagamaan, seperti ritual, dan ibadah lainya.



D. Agama dan pengaruhnya terhadap sikap/perilaku pemeluknya
Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memilikiarti yang khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khusus.
Dilihat dari fungsi dan peran agama dalam memberi pengaruhnya terhadap individu, baik dalam bentuk sistem nilai, motifasi maupun pedoman hidup, maka pengaruh yang paling penting adalah sebagai pembentuk kata hati .
Kata hati ini menurut Erich adalah panggilan kembali manusia kepada dirinya. Sedangkan Shaftesbury mengasumsikan kata hati sebagai suatu rasa moral didalam diri manusia berupa rasa benar dan salah, suatu reaksi emosional yang didasarkan atas fakta, bahwa pikiran manusia pada dirinya sendiri dalam mengatur keharmonisan dirinya dengan tatanan kosmik.
Berdasarkan pendekatan ini, maka pengaruh agama dalam kehidupan individu dalah memberi kemantapan batin, rasa bahagia, rasa terlindung, rasa sukses dan rasa puas sehingga mentalnya pun akan bahagia. Perasaan positif ini lebih lanjut akan menjadi pendorong untuk berbuat. Agaam dalam kehidupan individu selain menjadi motifasi dan nilai etik juga merupakan harapan.
Agama berpengaruh sebagai motifasi dalam mendorong individu untuk melakukan suatu aktifiats, karena perbuatan yang dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai mempunyai unsur kesucian, serta ketaatan. Keterkaitan ini akan memberi pengaruh diri seseorang untuk berbuat sesuatu. Sedangkan agama sebagai nilik etik karena dalam melakukan sesuatu tindakan seseorang akan terikat kepada ketentuan antara mana yang boleh dan mana yang tidak boleh menurut ajaran agama yang dianutnya.
Sebaliknya, agama juga sebagai pemberi harapan bagi pelakunya. Seseorang yang melaksanakan perintah agama umumnya karena adnya suatu harapan terhadap pengampunan atau kasih sayang dari sesuatu yang ghoib (supernatural).
Motifasi mendorong seseorang untuk berkreasi, berbuat kebajikan maupun berkorban. Sedangkan nilai etik mendorong seseorang untuk berlaku jujur, menepati janji, menjaga amanat dan sebagainya. Sedangkan harapan mendorong mendorong seseorang untuk bersikap ikhlas, menerima cobaan yang berat ataupun berdo’a. Sikap seperti itu akan lebih terasa secara mendalam jika bersumber dari keyakinan terhadap agama.

III. Kesimpulan
Agama dapat diartikan sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat supernatural mempunyai fungsi dan peranan yang luas terhadap sikap pemeluknya. Dalam kehidupan individu agama mempunyai fungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa agama mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap sikap pemeluknya, ini terbukti dengan adanya fungsi dan peran agama yang menyangkut motifasi, nilai etik dan harapan.
Dengan motifasi beragama yang kuat akan membuat sikap pemeluknya menjadi baik dan rela berkorban, sedangkan dengan nilai etik yang tinggi yang dimiliki akan membuat sikap pemeluknya menjadi orang yang selalu berlaku jujur serta menepati janji dan menjaga amanat dengan sebaik-baiknya. Adapun dengan adanya harapan maka mampu mendorong bagi pemeluknya untuk bersikap ikhlas dan menerima cobaan apapun serta mau berdo’a.
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari teman-teman dan khususnya dari Bapak Dosen Pengampu Mata Kuliah Psikologi Agama sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Akhirnya kami mengucapakan syukur Alhamdulillah kepada Allah yang selalu mambimbing kami dalam pembuatan makalah ini, semoga apa yang kami sampaikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi dunia pendidikan. Amien















DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu, 2007, Psikologi Umum, Rineka Cipta: Jakarta
Darodjat, Zakiyah, 1995, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Pustaka Setia.
Darodjat, Zakiyah, 1996, Dasar-dasar Agama Islam, Jakarta, Universitas Terbuka
Fahmi,Mustofa, 1968, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, sekolah dan Masyarakat, Gunung Agung: Jakarta.
Jalaluddin, 2004, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Notosoedirjo,Moeljono, 2000, Kesehatan Mental konsep dan Penerapan, UMM: Surabaya.
http://Wikipediaislam.com, 2010/10/05

http://Woordpress .com, 2010/10/08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar