Rabu, 26 Oktober 2011

Akhlak Penting bagi Kehidupan

Pendidikan Agama & Akhlak

(Sebuah catatan untuk yang sedang atau akan menuntut ilmu)

Saya sedih sekali melihat keadaan saudara-saudara muslim kita saat ini. Oleh karenanya saya menuliskan pada blog http://mutiarazuhud.wordpress.com dalam rangka mengingatkan dan menjelaskan kepada saudara-saudara muslimku.

Apapun istilah atau propaganda yang tanpa mereka sadari ikuti, modernisasi agama, fundamentalis agama, pemabaharuan agama, ijtihad baru, persatuan dalam negara atau nasionalisme menggantikan persatuan dalam agama, taat pada penguasa negara yang mereka katakan ulil amri dll.

Semua itu bagi saya, semata-mata propaganda orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap kaum mukmin sebagaimana Allah berfirman yang artinya,
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82).

Sebagai contoh, akibat “modernisasi agama”, pendidikan agama telah mengalami pendangkalan tujuan, menjadi sekedar pengetahuan/pelajaran/pengajaran agama. Berbeda jauh dengan apa yang disebut dahulu sebagai “pondok” atau “mondok” atau “berguru”.

Sehingga sekarang kita dapati sebagian umat muslim semata-mata menjalankan sholat berdasarkan “pengetahuan” dan menurut pemahaman mereka bahwa mereka sudah “menyelesaikan” kewajibannya. Tampak masih jauh dari makna mendirikan sholat apalagi makna mi’raj seorang muslim.

Begitu pula yang mengikuti pendidikan tinggi agama baik di dalam negeri maupun di luar negeri sampai ketempat yang menggunakan bahasa arab, baik tingkat S1, S2, S3 dengan title LC,DR,PROF dll. Pendapat saya, mereka mendapatkan sekedar pengetahuan atau mendapatkan pengajaran agama. Sama sekali bukan “pendidikan” agama sebagaimana dahulu dikenal dengan kegiatan “pondok” , “mondok” atau “berguru”.

Memang mereka yang mengikuti “pondok”,”mondok” dan “berguru” tidak mendapatkan title, namun mereka mendapatkan “didikan” sehingga mereka Insyaallah sampai pada tingkatan Ihsan (muhsin), menyembah kepada Allah seolah-olah mereka melihat-Nya walaupun mereka tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat mereka. Guru mereka membantu, membimbing, mendidik , menhantarkan mereka menuju kepada Allah, membuat mereka dapat mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring, untuk “bertemu” Allah atau”terhubung” (wushul) dengan Allah. Sehingga mereka adalah sebenar-benarnya “bersaksi” atau “penyaksi” (syahid).

Setelah murid dapat “bertemu” Allah atau “terhubung”(wushul) dengan Allah, Allah yang akan memimpin murid, mengajarkan, membimbing dan mewariskan ilmu. Sebagaimana firman Allah yang artinya, “…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu (memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282). Diriwayatkan pula dalam suatu kabar, “Barangsiapa mengamalkan sesuatu yang telah diketahui maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu pengetahuan yang belum ia ketahui“.

Insyaallah mereka yang telah “bersaksi” atau menjadi “penyaksi” (syahid) akan menjemput kematian (kembali kepada Allah) dengan husnul khotimah dan mati syahid (mati dalam keadaan bersaksi) sebagaimana mereka diciptakan Allah pada awal mula kejadian (ketika dalam alam kandungan).

Mengenai “bersaksi”, bacalah tulisan selengkapnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/03/saya-bersaksi/

Pada awal mulai kejadian, sebagaimana firman Allah yang artinya,
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)

Ketika mereka “kembali”, sebagaimana firman Allah yang artinya,
“Dan sesungguhnya kamu kembali menghadap Kami dengan sendirian seperti kamu Kami ciptakan pada awal mula kejadian. Dan pada saat itu kamu tinggalkan dibelakangmu apa yang telah Kami anugerahkan kepadamu ….” (QS Al An’am 6: 94)

“Mereka dihadapkan kepada Tuhanmu dengan berbaris, Kemudian Allah berfirman: “ Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sebagaimana Kami telah menciptakan kamu pada awal mula kejadian, bahkan kamu menyangka bahwa Kami tiada menetapkan janji bagi kamu” (QS Al Kahfi 18:48).

Sungguh, para pembaca , kalau umat muslim dapat sebenar-benarnya bersaksi, tidak akan terpecah, tidak akan berdebat, tidak akan mencaci, tidak akan menghujat, tidak akan mengolok-olok, tidak akan mensesatkan saudara muslimnya, tidak akan mengkafirkan sesama muslim, tidak akan memperturutkan hawa nafsunya, tidak akan sombong.

Jika sebenar-benarnya bersaksi, insyaallah kita akan tersungkur sujud dan mengatakan sebenar-benarnya perkataan , “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”.

Bacalah selengkapnya tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/03/saya-bersaksi/

“Ya Allah, berikanlah kemudahan untuk menyampaikan kepada saudara-saudara muslimku agar mereka tidak menyia-nyiakan kehidupan mereka di dunia, agar mereka dapat berbekal bagi kehidupan akhirat dengan sebaik-baiknya bekal”

Wassalam

Gus Dur

Kemarin, Sabtu, 26 Pebruari 2010, saya diundang oleh Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jawa Timur untuk membahas tentang ”Implementasi Pemikiran Gus Dur terhadap Jam’iyah Nahdlatul Ulama yang Berkualitas dan Berdaya Saing Global”. Acara ini dihadiri oleh KHA. Muchid Muzadi, Ulama NU senior, dan Dr. M. Faqih, dari Institut Teknologi Surabaya (ITS) Sepuluh Nopember Surabaya dan dipandu oleh Dr. Mahmud Mustain, juga dari ITS. Diskusi ini menjadi menarik karena akan dijadikan sebagai materi persiapan Mu’tamar NU ke 32 di Makassar. Dan hasil seminar ini akan dijadikan sebagai rujukan untuk dibahas di Ciganjur Jakarta, beberapa saat yang akan datang.

Pemikiran politik Gus Dur sudah sangat banyak yang mengkaji. Begitu beragamnya kajian tersebut, sehingga agak sulit mencari celah mana yang bisa dimasuki sebagai kajian baru. Untunglah bahwa kajian ini bukan kajian disertasi yang mengharuskan demikian ketat tentang orisinalitas kajian untuk tulisan pendek seperti ini. Tetapi meskipun demikian tulisan ini mestilah merujuk kepada tulisan yang sudah sangat terkenal, seperti tulisan Djohan Effendi tentang A Renewal without Breaking Tradition. Tulisan ini perlu dirujuk sebab ditulis oleh Sarjana Indonesia sendiri, yang selama ini sangat dekat dengan Gus Dur tetapi bukan orang NU. Mungkin simpatisan NU saja.

Gus Dur memang dikenal sebagai penarik gerbong NU yang selama ini dikenal sebagai organisasi tradisional ke arah neo-tradisional. Ketika itu, NU memang dikenal sebagai organisasi sosial, keagamaan dan politik. Selama kurun waktu Orde Lama hingga pertengahan Orde Baru, NU lebih banyak dikenal sebagai organisasi politik.

Dalam hal ini, maka banyak program NU terbengkelai. Program pendidikan, pemberdayaan ekonomi dan program kesehatan banyak yang dipangkas oleh pemerintah. Bahkan dakwah saja diperketat. Bila diingat secara jernih, maka dapat dipastikan bahwa NU mengalami peminggiran yang luar biasa. NU sungguh berada di dalam posisi yang sulit. Semua yang dilakukan NU dianggap sebagai tindakan politik.

Di dalam posisi seperti ini, maka organisasi lain yang menyatakan a politis menuai masa kejayaannya. Akses ke politik NU dibatasi, demikian pula akses lainnya. Tidak ada posisi strategis dalam kehidupan bernegara bangsa yang dipercayakan kepada orang NU. Jangankan posisi selevel menteri, posisi di bawahnya pun tidak diperoleh. Masa Orde Baru adalah sejarah kelam NU dalam percaturannya di dalam kehidupan negara bangsa. Basis NU hanya tinggal di pesantren yang tidak mendukung proses negaranisasi. Bagi yang mendukung negaranisasi, maka dukungan ke NU juga samar-samar.

Maka, NU melalui Gus Dur lalu membangun gerakan civil society. NU membangun penguatan masyarakat sipil. Di era inilah Gus Dur membangun NU dan demokrasi, NU dan pluralisme, NU dan kebebasan Politik, serta NU dan Nasionalisme Kebangsaan. Inilah pilar pikiran NU yang kemudian sangat berguna di era reformasi.

Ketika NU bersama Gus Dur bergerak untuk membangun gerakan masyarakat sipil, bersamaan dengan itu terjadi ledakan sarjana NU pada tahun 1990-an. Maka mereka inilah yang kemudian memasuki dunia politik melalui pintu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk menjadi anggota dewan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kemudian juga menjadi pimpinan daerah di beberapa tempat. Jadi, reformasi itu baik langsung maupun tidak langsung menjadi pintu masuk bagi kader-kader muda NU untuk bermobilisasi vertikal.

Puncak prestasi aktivis NU adalah ketika Gus Dur menjadi presiden dan kemudian Hamzah Hasy menjadi Wakil Presiden. Meskipun lewat pintu yang berbeda, yaitu Gus Dur lewat PKB dan Hamzah Hasy lewat PPP. Selain itu, juga prestasi Hasyim Muzadi sebagai tokoh terkenal di dunia nomor 18, dan kemudian ada lagi Musdah Mulia yang menjadi woman of the year. Torehan prestasi ini menjadikan anggota NU bisa membusungkan dada, karena bangga bahwa ternyata ada orang NU yang punya prestasi membanggakan. Dan inilah yang membuat menjadi orang NU tidak minder lagi dalam relasi antar warga masyarakat.

Memang Gus Dur menjadi penarik gerbong politik luar biasa dalam kehidupan politik Indonesia. Mungkin kita tidak akan melihat mobilitas vertikal seperti ini, jika Gus Dur tidak melakukan gerakan pemberdayaan masyarakat sipil di masa Orde Baru. Melalui sentuhan pengembangan kapasitas politik warga NU itulah, maka kita bisa melihat bagaimana NU seperti sekarang.

Hanya saja, posisi NU dalam peta politik inilah yang hingga sekarang masih menyisakan masalah. Salah satu diantaranya adalah bagaimana harus menempatkan elit NU dalam permainan politik akhir-akhir ini. Makanya, ke depan harus dipikirkan bagaimanakah relasi antara NU dan politik, apakah harus separated, integrated ataukah simbiosis mutualisme. Tentu saja kita akan memilih yang terakhir, yaitu relasi politik dan NU yang simbiosis mutualisme. Hanya saja, bagaimana formulanya? Pertanyaan inilah yang harus dijawab oleh aktivis NU, khususnya Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU). Seandainya hal ini bisa dirumuskan, maka keinginan untuk membuat sistem politik NU yang berbasis politik alokatif kiranya akan dapat disemaikan dengan cerdas dan baik di masa yang akan datang.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Share on Facebook

Pendidikan Akhlak

Kemarin, 25/07/2010, di Auditorium IAIN Sunan Ampel diselenggarakan acara seminar pendidikan dengan tema “Menggagas Sistem Pendidikan Islam, Tantangan Pendidikan di Era Globalisasi” dengan Nara Sumber, saya dan Prof. Abdul Haris dan dihadiri oleh sejumlah peserta yang terdiri dari dosen dan alumni Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel. Acara ini memang merupakan acara temu kangen para alumni Fakultas Tarbiyah, akan tetapi sekaligus dipadukan dengan seminar tentang pendidikan Islam.

Di dalam kesempatan ini, maka saya mengungkapkan bahwa isu yang sekarang sedang dominan adalah bagaimana mengembangkan pendidikan karakter terutama bagi para peserta didik, baik di kalangan pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Ada tiga kegiatan yang dilaksanakan akhir-akhir ini terkait dengan pendidikan karakter, yaitu: ketika Nina Sardjunani, salah seorang Deputi Menteri PPN/Kepala Bappenas bidang Pendidikan dan Pengembangan SDM menyatakan di dalam Seminar di UIN Jakarta tentang Renaissance pendidikan Islam, beliau menyatakan bahwa pendidikan adalah salah satu instrumen untuk mengembangkan karakter bangsa.

Kemudian, Mohammad Nuh juga menyatakan di dalam pertemuan SNM-PTN di Makssar juga menyatakan bahwa yang dibutuhkan di era sekarang adalah pendidikan karakter. Menurutnya bahwa kehebatan bangsa Indonesia ke depan akan sangat tergantung kepada bagaimana pendidikan karakter tersebut dapat dilaksanakan. Khususnya institusi pendidikan tinggi, maka semestinya dapat melahirkan konsep pendidikan karakter macam apa yang cocok dan relevan dengan bangsa Indonesia.

Lalu, ada sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Pengamal Shalawat Wahidiyah di Rejoagung Jombang yang menggagas tentang “Pendidikan Karakter Sebagai Dasar Pembangunan Bangsa.” Di dalam seminar kebangsaan inilah saya ungkapkan satu konsep yang saya gali dari khasanah Pengamal Shalawat Wahidiyah, yaitu Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Lillah Billah”. Konsep pendidikan karakter bangsa seperti ini didasari oleh Kalimat Tauhid Lailaha illa Allah, dan kemudian dibreakdown ke dalam pendidikan empiris, yang digambarkan ke dalam konsep jujur, kerja keras, tanggung jawab, konsisten, komitmen dan kerja sama.

Di dalam seminar pendidikan di Fakultas Tarbiyah inilah kemudian saya memprovokasi, bahwa semestinya pendidikan karakter tersebut dilahirkan oleh para dosen Fakultas Tarbiyah. Mengapa harus seperti ini? Jawaban yang paling empiris-logis bahwa di Fakultas Tarbiyah seharusnya terdapat “Laboratorium Pendidikan Karakter” yang di dalam konsepsi pendidikan Islam disebut sebagai pendiddikan akhlak. Pendidikan akhlak sudah dilakukan semenjak dini. Mulai dari MI, MTs, MA dan kemudian PTAIN.

Meskipun labelingnya berbeda-beda, misalnya untuk MI sampai MA disebut sebagai mata ajaran Aqidah dan Akhlak, kemudian di PTAIN disebut sebagai Mata kuliah Akhlak dan Tasawuf, akan tetapi sesungguhnya yang menjadi content pendidikannya adalah pendidikan akhlak atau yang di dalam bahasa lainnya disebut sebagai pendidikan karakter. Hanya sayangnya bahwa pembelajaran karakter ini masih sebatas learning to know belum sampai ke learning to do apalagi ke learning to be. Di dalam proses pembelajarannya masih bercorak teoretis-konseptual dan belum ke teoretis-aplikatif. Akibatnya, siapa yang hafal tentang Sabda Nabi Muhammad saw, “innama buitstu liutammima makarim al akhlaq,” maka dialah yang lulus dari mata ajaran atau mata kuliah ini.

Program pendidikan akhlak seharusnya juga tidak hanya menjadi mata kuliah yang separated seperti ini, akan tetapi justru menjadi mata kuliah yang integrated dengan mata kuliah lain. Jadi selain menjadi mata kuliah yang berdiri sendiri juga harus diintegrasikan dengan mata kuliah lain yang dianggap memiliki relevansi dengan persoalan etika. Bukankah etika sesungguhnya mendasari semua tindakan manusia di dalam berbagai aspeknya.

Fakultas Tarbiyah memiliki sumber daya dosen yang sangat memadai. Terdapat sebanyak 17 orang doctor tentang pendidikan Islam dengan kapasitas keilmuan yang tidak diragukan. Andaikan mereka ini duduk bersama untuk memikirkan tentang bagaimana konsep dan aplikasi pendidikan akhlak atau pendidikan karakter tersebut dapat dieksiskan di dalam pendidikan di Indonesia, maka saya yakin akan lahir konsep dan aplikasi pendidikan karakter dimaksud.

Menurut saya, bahwa tugas dosen Fakultas Tarbiyah tidak hanya menjadi pengajar calon guru, akan tetapi yang lebih substantif adalah melahirkan konsep-konsep baru tentang pendidikan. Dan salah satunya adalah melahirkan konsep pendidikan akhlak yang sungguh-sungguh dibutuhkan oleh bangsa ini.

Maka yang diperlukan di era sekarang dan akan datang adalah gerakan “Rekonstruksi Pendidikan Akhlak” yang berbasis pada kalimat Tauhid dan kemudian diimplementasikan ke dalam konsep-konsep yang aplikabel seperti kejujuran, tanggungjawab, konsisten, komitmen, kerja keras, kerja sama dan sebagainya.

Tanpa duduk bersama dan berpikir serius tentu tidak akan dapat dilahirkan konsep yang aplikatif. Dan menurut saya, para doctor di Fakultas Tarbiyah sangat kapabel untuk mendiskusikannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Share on Facebook

Pendidikan Di China

ENDAHULUAN
China merupakan Negara yang sering kita kenal sebagai Negara yang maju akan pendidikannya. Seperti halnya telah disebutkan dalam sebuah hadits “ carilah ilmu sampai negeri china”. Untuk itu kami akan menjelaskan sedikit mengenai Negara China, baik dari sistem pemerintahan maupun letak geografisnya.
PEMBAHASAN
STUDI TENTANG POTRET SISTEM PENDIDIKAN DI CHINA
A. Potret Sistem Pemerintahan
Republik Rakyat Cina juga disebut Republik Rakyat Tiongkok/RRT Adalah sebuah negara komunis yang terdiri dari hampir seluruh wilayah kebudayaan, sejarah, dan geografis yang dikenal sebagai Cina/Cina. Sejak didirikan pada 1949, RRC telah dipimpin oleh Partai Komunis Cina (PKC). Sekalipun seringkali dilihat sebagai negara komunis, kebanyakan ekonomi republik ini telah diswastakan sejak tiga dasawarsa yang lalu. Walau bagaimanapun, pemerintah masih mengawasi ekonominya secara politik terutama dengan perusahaan-perusahaan milik pemerintah dan sektor perbankan. Secara politik, ia masih tetap menjadi pemerintahan satu partai.
RRC adalah negara dengan penduduk terbanyak di dunia, dengan populasi melebihi 1,3 milyar jiwa, yang mayoritas merupakan bersuku bangsa Han. RRC juga adalah negara terbesar di Asia Timur, dan ketiga terluas di dunia, setelah Rusia dan Kanada. RRC berbatasan dengan 14 negara: Afganistan, Bhutan, Myanmar, India, Kazakhstan, Kirgizia, Korea Utara, Laos, Mongolia, Nepal, Pakistan, Rusia, Tajikistan dan Vietnam. Kepala negaranya dipimpin oleh seorang presiden.
B. Kondisi demografi china
Letak geografis china
− Sebelah utara : Mongolia, Rusia, dan Kazakhtan
− Sebelah barat : Pakistan, Kirgnistan, dan Tadzikistan
− Barat daya : India, Bhutan, dan Nepal
− Selatan : Asia Tenggara
− Timur : Korea dan Jepang
C. Filsafat Pendidikan di China
Sikap orang Cina yang mementingkan pendidikan di dalam kehidupannya tela melahirkan sebuah filofis orang Cina mengenai pendidikan dan pendidikan ini telah lama menjaga kekuasaan Cina berapa lama, sampai pada masuknya bangsa asing ke Cina yang akan merubah wajah sistem pendidikan kuno di Cina.
Tradisi pemikiran falsafah di Cina bermula sekitar abad ke-6 SM pada masa pemerintahan Dinasti Chou di Utara. Kon Fu Tze, Lao Tze, Meng Tze dan Chuang Tze dianggap sebagai peletak dasar dan pengasas falsafah Cina. Pemikiran mereka sangat berpengaruh dan membentuk ciri-ciri khusus yang membedakannya dari falsafah India dan Yunani.
Dalam upaya melihat bahwa teori dan kehidupan praktis tidak dapat dipisahkan, kita perlu melihat bagaimana orang Cina memahami hubungan antara teori dan praktek dalam suatu pemikiran yang bersifat falsafah. Kita juga perlu mengetahui bagaimana teori dihubungkan dengan kehidupan nyata. Ada dua perkara yang harus dikaji dan ditelusuri secara mendalam: Pertama, konsep umum tentang ‘kebenaran’ dalam falsafah Cina; kedua, kemanusiaan yang dilaksanakan dalam kehidupan nyata dan kemanusiaan yang diajarkan para filosof Cina dalam sistem falsafah mereka. Secara umum pula pemahaman terhadap dua perkara tersebut ditafsirkan dari Konfusianisme, yaitu ajaran falsafah yang dikembangkan dari pemikiran Konfusius. Konfusianisme sendiri berkembang menjadi banyak aliran, di antaranya kemudian dikembangkan menjadi semacam agama, dengan kaedah dasar dari ajaran etikanya yang dirujuk pada pandangan atau ajaran Konfusius. Sebagai ajaran falsafah pula, Konfusianisme telah berperan sebagai landasan falsafah pendidikan di Cina selama lebih kurang 2000 tahun lamanya. Karena itu ia benar-benar diresapi oleh bangsa Cina secara turun temurun selama ratusan generasi. Konfusisnismelah yang mengajarkan bahwa antara teori dan praktek tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan individu atau masyarakat. Dalam Konfusianisme, seperti dalam banyak falsafah Cina yang lain, pemikiran diarahkan sebagai pemecahan masalah-masalah praktis . Karena itu falsafah Cina cenderung menolak kemutalakan atau pandangan hitam putih secara berlebihan. Kebenaran harus diuji dalam peristiwa-peristiwa aktual dalam panggung kehidupan, dan baru setelah teruji ia dapat diakui sebagai kebenaran.
D. Sistem Pendidikan China
Ada sebuah hadist mengenai pendidikan, yang dalam bahasa Indonesia berbunyi: “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”. Dalam hadist ini muncul satu negara, yaitu negeri Cina. Dari hadist ini timbul pertanyaan, ada apa dengan pendidikan cina sehingga dapat dijadikan panutan untuk negeri lain. Dalam buku Muhammad Said dan Junimar Affan (1987: 119) yang berjudul Mendidik Dari Zaman ke Zaman dikatakan bahwa: “Di negeri Cina pendidikan mendapat tempat yang penting sekali dalam penghidupan”. Dengan mendapatkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, membuat sistem pendidikan di Cina meningkat. Sikap orang Cina yang mementingkan pendidikan di dalam kehidupannya tela melahirkan sebuah filofis orang Cina mengenai pendidikan dan pendidikan ini telah lama menjaga kekuasaan Cina berapa lama, sampai pada masuknya bangsa asing ke Cina yang akan merubah wajah sistem pendidikan kuno di China. Tetapi, pada kesempatan ini tidak menjelaskan sampai masuknya bangsa asing ke Cina. Permulaan pendidikan Cina kuno mencampai puncak dimulai pada Dinasti Han, dimana ajaran Kung fu Tse kembali lagi diangkat dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat Cina, yang sebelumnya ajaran ini dibrangus oleh penguasa sebelumnya.
Masyarakat Cina yang menganggap pendidikan sejalan dengan filsafat, bahkan menjadi alat bagi filsafat, yang mengutamakan etika (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 119). Anggapan ini membuat pendidikan di Cina mengiringi kembalinya popularitas aliran filsafat Kung Fu Tse di dalam masyarakat Cina. Pada masa Dinasti Han banyak melahirkan para sarjana-sarjana yang kelak akan memimpin negara dan telah membuat Dinasti Han sebagai salah satu dinasti yang besar dalam sejarah Cina. Sistem pendidikan yang dikembangkan oleh bekas pengikut-pengikut Kung Fu Tse ini telah melahirkan sebuah golongan yang terkenal dalam sejarah Cina dan menentukan perjalanan kekuasaan Dinasti Han, yaitu Kaum Gentry. Kaum gentry merupakan suatu komunitas orang-orang terpelajar yang telah menempuh pendidikan dan sistem ujian Negara. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh pihak pemerintahan pada saat itu pada awalnya bertujuan untuk mencari calon-calon pejabat pemerintahan yang beraliran konfusius. Jenjang pendidikan didasarkan atas tingkatan daerah administrative pemerintahan. Setiap distrik memiliki sekolah-sekolah, sampai pada akademi di ibukota kerajaan. Setiap jenjang tersebut diharuskan melewati system ujian yang terbagi ke dalam tiga tahapan. System ujian ini dinilai sangat berat, dikarebakan dari banyak orang yang ikut ujian ini hanya beberapa yang berhasil lulus. Kekaisaran dinasti han telah memberikan dasar-daar pada sistem ujian di daratan Cina, walaupun selanjutnya ada perubahan dan penambahan. Sistem pendidikan ini juga membawa perubahan pada stratifikasi masyarakat dan pola prestise dalam masyarakat. System pendidikan yang menghasilkan lulusan-lulusan pelajar secara alami membentuk kelas baru, yang pada akhirnya menggeser posisi bangsawan dalam stratifikasi masyarakat Cina. Dan pola prestise dalam masyarakat, dimana masyarakat tidak lagi sepenuhnya memandang orang dari kepemilikan harta atau keturunananya, tetapi masyarakat memandang seseorang dari jenjang pendidikan yang telah ditempunya. Disamping itu, kaum gentry ini diberikan penghormatan dan penghargaan berupa hak-hak istimewa dari pemerintahan dan masyarakat.
Pada masa Dinasti Han sudah terdapat sebuah system pendidikan yang ketat. Para pegikut-pengikut konfusius yang berada di beberapa daerah distrik mendirikan sekolah-sekolah yang bersifat informal. Disebut sekolah informal dikarenakan proses belajar mengajar yang dilakukan tidak terikat oleh tempat atau waktu. Dengan menggunakan gambar yang tertera dalam pembelajaran dapat diketahui metode mengajar yang digunakan para guru dalam menyampaikan bahan materi pelajaran. Jadi dari gambar dan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa metode mengajar yang digunakan oleh guru pada saat itu ialah metode ekspositori (ceramah). Penyimpulan ini dikarenakan yang dilakukakan serupa dengan metode ekspositori, dimana guru lebih aktif disini dalam mentransfer ilmu kepada para murid. Setelah tahapan belajar mengajar, maka melangkah kepada tahapan evaluasi atau system ujian. System ujian yang berlaku pada masa Dinasti Han merupakan suatu hal yang unik dalam system pendidikan Cina. Pada masa itu sudah berkembang suatu system evaluasi yang sangat kompleks. Menurut Rochiati Wiriaatmadja, A. Wildan, dan Dadan Wildan (2003: 144 – 145) mengatakan bahwa ujian ini dibagi ke dalam tiga tahap atau jenjang. Tiga tahap ujian tersebut antara lain: Ujian tingkat pertama diadakan di beberapa ibukota prefektur (kabupaten). Calon pegawai yang dapat melewati ujian tahap pertama ini diberi gelar Hsui-Tsai, bila diartikan yaitu “bakat yang sedang berkembang”. Selanjutnya, ujian tingkat dua yakni ujian tingkat provinsi untuk mencapai gelar Chu-Jen, yakni “orang yang berhak mendapatkan pangkat”. Orang-orang yang berhak mengikuti tahapan ujian ini yaitu orang-orang yang telah mendapatkan gelar Hsui-Tsai. Para peserta ujian tidak langusng mengikuti ujian, tetapi mereka diharuskan mengikuti latihan di akademi prefektur dalam rangka menghadapi persiapan ujian Chu Jen. Ujian provinsi ini diadakan tiga tahun sekali. Mereka yang dapat lulus dari ujian ini dengan nilai tertinggi akan mendapatkan tunjangan belajar. Pada tahap akhir yaitu ujian tahap tiga yang diadakan di ibukota kerajaan. Ujian ini diadakan setiap tiga tahun sekali, dilaksanakan setahun setelah ujian provinsi. Tahapan ujian bertujuan untuk mendapatkan gelar Chih Shih, yakni “Sarjana naik pangkat”.
Ujian tersebut dilaksanakan di ruang dalam bangunan-bangunan yang sangat panjang dan lurus. Bangunan panjang tersebut terdiri dari kamar-kamar kecil yang disekat (dapat dilihat dalam lampiran 2 & 3). Calon pegawai tersebut tinggal di dalam kamar selama sehari untuk ujian tahap pertama, tiga hari untuk ujian tahap kedua, dan lebih lama lagi untuk ujian tahapan ketiga. Output-output yang dikeluarkan dari system pendidikan ini disalurkan menjadi pegawai-pegawai pemerintahan dan mereka yang gagal dalam mengikuti ujian ini akan menjadi tenaga-tenaga pengajar di daerah asalnya.
E. Kebijakan Pemerintah
Pendidikan memiliki peranan yang sangat strategis dalam membangun suatu masyarakat bangsa. Melalui pendidikan suatu bangsa dapat mengembangkan masyarakatnya menjadi masyarakat dan bangsa yang maju. Karena melalui pendidikan akan dapat dikembangkan sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang ingin dikembangkanya. Semua keberhasilan itu, tidak terlepas dari upaya yang dilakukan oleh para pemimpin Cina dalam melakukan reformasi dalam berbagai aspek kehidupan di Cina, terutama dalam dunia pendidikan.
Cina, dalam beberapa tahun terakhir, berhasil membuat prestasi yang sangat mengagumkan, yaitu merubah kondisi sosial ekonomi masyarakatnya, yang tadinya hanya sebagai negara berkembang, yang hanya mampu menyediakan kebutuhan dasar masyarakatnya, kemudian berubah dan masuk ke tahap awal menjadi masyarakat yang makmur. Perubahan yang dialami Cina merupakan perubahan yang sangat berarti. Perkembangan ekonomi dan kemajuan yang dialami Cina sangat dikagumi dunia dan dihormati oleh banyak kalangan. Keyakinan mereka membangun bangsa melalui sektor pendidikan terlihat dari upaya ekspansi yang berkelanjutan yang dilakukan sejak tahun 1980 sampai awal tahun 1990. Selama periode ini, pendidikan terus mengalami kemajuan secara cepat, dan banyak inovasi yang historis selama dekade tersebut.
Kemajuan dunia pendidikan yang terjadi di akhir 90-an dan awal 2000 di Cina tidak lepas dari peran dari seorang birokrat yang memiliki visi dan komitmen yang kuat terhadap dunia pendidikan. Li Lanqing, yang pada tahun 1993 di angkat menjadi Wakil Perdana Menteri Cina, sekaligus ditugasi untuk menangani masalah pendidikan di negeri tirai bambu tersebut, adalah orang yang dianggap berhasil melaksanakan tugasnya mendorong kemajuan Cina melalui reformasi dalam bidang pendidikan. Li Lanqing sebenarnya bukan tokoh yang berlatar belakang bidang pendidikan.
Pada tahun 1993, tercatat, guru memiliki gaji yang rendah dan disadari, kondisi ini akan berpengaruh terhadap kinerja dan profesionalitas guru dalam melaksanakan tugasnya. Bagaimana dapat menuntut guru melaksanakan tugas dengan optimal, kalau dirinya menghadapi masalah dengan kesejahteraan diri dan keluarganya. Pada tahun 1989, dana dari negara untuk pendidikan hanya 9,4 milyar yuan. Dengan dana sebesar itu, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengembangkan dunia pendidikan, yang harus melayani masyarakat lebih dari satu milyar orang. Li Lanqing memandang bahwa yang bertanggung jawab menyediakan pendidikan yang layak adalah pemerintah. Pendidikan dasar, khususnya untuk wajib belajar, sangat tergantung pada alokasi dana dari pemerintah. Demikian juga dengan pembiayaan pengembangan infrastruktur untuk pendidikan keterampilan dan pendidikan tinggi, sangat bergantung pada dukungan dana dari pemerintah. Hanya permasalahannya adalah semua itu harus diatur dengan undang-undang.
Beberapa inovasi lain telah digulirkan Cina adalah, diberlakukannya wajib pendidikan dasar 9 tahun dan penghapusan buta huruf bagi anak muda dan setengah baya. Inovasi ini berhasil meningkatkan tingkat pendidikan nasional secara berarti. Pendidikan tinggi dikembangkan secara cepat dengan beberapa perubahan awal, diantaranya pembelajaran dikembangkan dengan menekankan pada peningkatan kualitas siswa, seperti mengembangkan karakter siswa sebagaimana penguasaan pengetahuan (kognisi). Penggunaan teknologi informasi dalam pendidikan juga telah berhasil mendorong mempercepat moderinisasi. Kompensasi, kesejahteraan dan status sosial guru telah banyak dikembangkan, dan membuat profesi tersebut mendapat respek dan penghormatan dari masyarakat. Pendidikan swasta berkembang dengan cepat. Hal ini ditandai dengan banyak jenis sekolah dibangun. Pertukaran pendidikan dan kerja sama dengan negara lain secara aktif dan luas telah memperkuat daya saing/kompetisi di dunia.
Pada dekade terakhir, sejumlah permasalahan besar telah terpecahkan. Total dana pendidikan nasional telah mencapai rata-rata 20% per tahun, dan mencapai 548 milyar yuan pada tahun 2002, lima kali lebih banyak dibanding tahun 1993. Di akhir abad 20, wajib pendidikan dasar 9 tahun telah mendekati universal dan remaja dan orang-orang setengah baya telah bebas dari buta huruf, sementara pendidikan menengah telah meningkat dengan sangat pesat. Sejak tahun 1999, institusi pendidikan tinggi telah mengerahkan banyak siswa setiap tahunnya hingga tahun 2002. Terdapat 16 juta siswa di jenis pendidikan tinggi yang berbeda. Berdasarkan statistik UNESCO terakhir skala pendidikan tinggi Cina adalah terbesar di dunia. Selama sepuluh tahun perubahan dan pengembangan secara keseluruhan telah menciptakan suatu pemandangan pendidikan baru di Cina.
F. Kurikulum Pendidikan
Untuk mengembangkan pendidikan karakter tersebut, maka Li Lanqing melakukan reformasi pada kurikulum, buku teks, dan sistem evaluasi dan testing. Kurikulum sekolah dikembangkan sesuai dengan potensi yang dimiliki anak; kurikulum diarahkan untuk memfasilitasi semua potensi yang dimiliki anak agar berkembang secara optimal, melaksanakan pembelajaran yang berorientasi pada siswa melalui diskusi, mendorong pada pengembangan berfikir inovatif, dan pembelajaran yang berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
http://juanfranklinsagrim.blogspot.com
http://ahmadsamantho.wordpress.com
http://www.ilmupendidikan.net
D