Rabu, 26 Oktober 2011

Pendidikan Akhlak

Kemarin, 25/07/2010, di Auditorium IAIN Sunan Ampel diselenggarakan acara seminar pendidikan dengan tema “Menggagas Sistem Pendidikan Islam, Tantangan Pendidikan di Era Globalisasi” dengan Nara Sumber, saya dan Prof. Abdul Haris dan dihadiri oleh sejumlah peserta yang terdiri dari dosen dan alumni Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel. Acara ini memang merupakan acara temu kangen para alumni Fakultas Tarbiyah, akan tetapi sekaligus dipadukan dengan seminar tentang pendidikan Islam.

Di dalam kesempatan ini, maka saya mengungkapkan bahwa isu yang sekarang sedang dominan adalah bagaimana mengembangkan pendidikan karakter terutama bagi para peserta didik, baik di kalangan pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Ada tiga kegiatan yang dilaksanakan akhir-akhir ini terkait dengan pendidikan karakter, yaitu: ketika Nina Sardjunani, salah seorang Deputi Menteri PPN/Kepala Bappenas bidang Pendidikan dan Pengembangan SDM menyatakan di dalam Seminar di UIN Jakarta tentang Renaissance pendidikan Islam, beliau menyatakan bahwa pendidikan adalah salah satu instrumen untuk mengembangkan karakter bangsa.

Kemudian, Mohammad Nuh juga menyatakan di dalam pertemuan SNM-PTN di Makssar juga menyatakan bahwa yang dibutuhkan di era sekarang adalah pendidikan karakter. Menurutnya bahwa kehebatan bangsa Indonesia ke depan akan sangat tergantung kepada bagaimana pendidikan karakter tersebut dapat dilaksanakan. Khususnya institusi pendidikan tinggi, maka semestinya dapat melahirkan konsep pendidikan karakter macam apa yang cocok dan relevan dengan bangsa Indonesia.

Lalu, ada sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Pengamal Shalawat Wahidiyah di Rejoagung Jombang yang menggagas tentang “Pendidikan Karakter Sebagai Dasar Pembangunan Bangsa.” Di dalam seminar kebangsaan inilah saya ungkapkan satu konsep yang saya gali dari khasanah Pengamal Shalawat Wahidiyah, yaitu Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Lillah Billah”. Konsep pendidikan karakter bangsa seperti ini didasari oleh Kalimat Tauhid Lailaha illa Allah, dan kemudian dibreakdown ke dalam pendidikan empiris, yang digambarkan ke dalam konsep jujur, kerja keras, tanggung jawab, konsisten, komitmen dan kerja sama.

Di dalam seminar pendidikan di Fakultas Tarbiyah inilah kemudian saya memprovokasi, bahwa semestinya pendidikan karakter tersebut dilahirkan oleh para dosen Fakultas Tarbiyah. Mengapa harus seperti ini? Jawaban yang paling empiris-logis bahwa di Fakultas Tarbiyah seharusnya terdapat “Laboratorium Pendidikan Karakter” yang di dalam konsepsi pendidikan Islam disebut sebagai pendiddikan akhlak. Pendidikan akhlak sudah dilakukan semenjak dini. Mulai dari MI, MTs, MA dan kemudian PTAIN.

Meskipun labelingnya berbeda-beda, misalnya untuk MI sampai MA disebut sebagai mata ajaran Aqidah dan Akhlak, kemudian di PTAIN disebut sebagai Mata kuliah Akhlak dan Tasawuf, akan tetapi sesungguhnya yang menjadi content pendidikannya adalah pendidikan akhlak atau yang di dalam bahasa lainnya disebut sebagai pendidikan karakter. Hanya sayangnya bahwa pembelajaran karakter ini masih sebatas learning to know belum sampai ke learning to do apalagi ke learning to be. Di dalam proses pembelajarannya masih bercorak teoretis-konseptual dan belum ke teoretis-aplikatif. Akibatnya, siapa yang hafal tentang Sabda Nabi Muhammad saw, “innama buitstu liutammima makarim al akhlaq,” maka dialah yang lulus dari mata ajaran atau mata kuliah ini.

Program pendidikan akhlak seharusnya juga tidak hanya menjadi mata kuliah yang separated seperti ini, akan tetapi justru menjadi mata kuliah yang integrated dengan mata kuliah lain. Jadi selain menjadi mata kuliah yang berdiri sendiri juga harus diintegrasikan dengan mata kuliah lain yang dianggap memiliki relevansi dengan persoalan etika. Bukankah etika sesungguhnya mendasari semua tindakan manusia di dalam berbagai aspeknya.

Fakultas Tarbiyah memiliki sumber daya dosen yang sangat memadai. Terdapat sebanyak 17 orang doctor tentang pendidikan Islam dengan kapasitas keilmuan yang tidak diragukan. Andaikan mereka ini duduk bersama untuk memikirkan tentang bagaimana konsep dan aplikasi pendidikan akhlak atau pendidikan karakter tersebut dapat dieksiskan di dalam pendidikan di Indonesia, maka saya yakin akan lahir konsep dan aplikasi pendidikan karakter dimaksud.

Menurut saya, bahwa tugas dosen Fakultas Tarbiyah tidak hanya menjadi pengajar calon guru, akan tetapi yang lebih substantif adalah melahirkan konsep-konsep baru tentang pendidikan. Dan salah satunya adalah melahirkan konsep pendidikan akhlak yang sungguh-sungguh dibutuhkan oleh bangsa ini.

Maka yang diperlukan di era sekarang dan akan datang adalah gerakan “Rekonstruksi Pendidikan Akhlak” yang berbasis pada kalimat Tauhid dan kemudian diimplementasikan ke dalam konsep-konsep yang aplikabel seperti kejujuran, tanggungjawab, konsisten, komitmen, kerja keras, kerja sama dan sebagainya.

Tanpa duduk bersama dan berpikir serius tentu tidak akan dapat dilahirkan konsep yang aplikatif. Dan menurut saya, para doctor di Fakultas Tarbiyah sangat kapabel untuk mendiskusikannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Share on Facebook

Tidak ada komentar:

Posting Komentar