Rabu, 26 Oktober 2011

Gus Dur

Kemarin, Sabtu, 26 Pebruari 2010, saya diundang oleh Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jawa Timur untuk membahas tentang ”Implementasi Pemikiran Gus Dur terhadap Jam’iyah Nahdlatul Ulama yang Berkualitas dan Berdaya Saing Global”. Acara ini dihadiri oleh KHA. Muchid Muzadi, Ulama NU senior, dan Dr. M. Faqih, dari Institut Teknologi Surabaya (ITS) Sepuluh Nopember Surabaya dan dipandu oleh Dr. Mahmud Mustain, juga dari ITS. Diskusi ini menjadi menarik karena akan dijadikan sebagai materi persiapan Mu’tamar NU ke 32 di Makassar. Dan hasil seminar ini akan dijadikan sebagai rujukan untuk dibahas di Ciganjur Jakarta, beberapa saat yang akan datang.

Pemikiran politik Gus Dur sudah sangat banyak yang mengkaji. Begitu beragamnya kajian tersebut, sehingga agak sulit mencari celah mana yang bisa dimasuki sebagai kajian baru. Untunglah bahwa kajian ini bukan kajian disertasi yang mengharuskan demikian ketat tentang orisinalitas kajian untuk tulisan pendek seperti ini. Tetapi meskipun demikian tulisan ini mestilah merujuk kepada tulisan yang sudah sangat terkenal, seperti tulisan Djohan Effendi tentang A Renewal without Breaking Tradition. Tulisan ini perlu dirujuk sebab ditulis oleh Sarjana Indonesia sendiri, yang selama ini sangat dekat dengan Gus Dur tetapi bukan orang NU. Mungkin simpatisan NU saja.

Gus Dur memang dikenal sebagai penarik gerbong NU yang selama ini dikenal sebagai organisasi tradisional ke arah neo-tradisional. Ketika itu, NU memang dikenal sebagai organisasi sosial, keagamaan dan politik. Selama kurun waktu Orde Lama hingga pertengahan Orde Baru, NU lebih banyak dikenal sebagai organisasi politik.

Dalam hal ini, maka banyak program NU terbengkelai. Program pendidikan, pemberdayaan ekonomi dan program kesehatan banyak yang dipangkas oleh pemerintah. Bahkan dakwah saja diperketat. Bila diingat secara jernih, maka dapat dipastikan bahwa NU mengalami peminggiran yang luar biasa. NU sungguh berada di dalam posisi yang sulit. Semua yang dilakukan NU dianggap sebagai tindakan politik.

Di dalam posisi seperti ini, maka organisasi lain yang menyatakan a politis menuai masa kejayaannya. Akses ke politik NU dibatasi, demikian pula akses lainnya. Tidak ada posisi strategis dalam kehidupan bernegara bangsa yang dipercayakan kepada orang NU. Jangankan posisi selevel menteri, posisi di bawahnya pun tidak diperoleh. Masa Orde Baru adalah sejarah kelam NU dalam percaturannya di dalam kehidupan negara bangsa. Basis NU hanya tinggal di pesantren yang tidak mendukung proses negaranisasi. Bagi yang mendukung negaranisasi, maka dukungan ke NU juga samar-samar.

Maka, NU melalui Gus Dur lalu membangun gerakan civil society. NU membangun penguatan masyarakat sipil. Di era inilah Gus Dur membangun NU dan demokrasi, NU dan pluralisme, NU dan kebebasan Politik, serta NU dan Nasionalisme Kebangsaan. Inilah pilar pikiran NU yang kemudian sangat berguna di era reformasi.

Ketika NU bersama Gus Dur bergerak untuk membangun gerakan masyarakat sipil, bersamaan dengan itu terjadi ledakan sarjana NU pada tahun 1990-an. Maka mereka inilah yang kemudian memasuki dunia politik melalui pintu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk menjadi anggota dewan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kemudian juga menjadi pimpinan daerah di beberapa tempat. Jadi, reformasi itu baik langsung maupun tidak langsung menjadi pintu masuk bagi kader-kader muda NU untuk bermobilisasi vertikal.

Puncak prestasi aktivis NU adalah ketika Gus Dur menjadi presiden dan kemudian Hamzah Hasy menjadi Wakil Presiden. Meskipun lewat pintu yang berbeda, yaitu Gus Dur lewat PKB dan Hamzah Hasy lewat PPP. Selain itu, juga prestasi Hasyim Muzadi sebagai tokoh terkenal di dunia nomor 18, dan kemudian ada lagi Musdah Mulia yang menjadi woman of the year. Torehan prestasi ini menjadikan anggota NU bisa membusungkan dada, karena bangga bahwa ternyata ada orang NU yang punya prestasi membanggakan. Dan inilah yang membuat menjadi orang NU tidak minder lagi dalam relasi antar warga masyarakat.

Memang Gus Dur menjadi penarik gerbong politik luar biasa dalam kehidupan politik Indonesia. Mungkin kita tidak akan melihat mobilitas vertikal seperti ini, jika Gus Dur tidak melakukan gerakan pemberdayaan masyarakat sipil di masa Orde Baru. Melalui sentuhan pengembangan kapasitas politik warga NU itulah, maka kita bisa melihat bagaimana NU seperti sekarang.

Hanya saja, posisi NU dalam peta politik inilah yang hingga sekarang masih menyisakan masalah. Salah satu diantaranya adalah bagaimana harus menempatkan elit NU dalam permainan politik akhir-akhir ini. Makanya, ke depan harus dipikirkan bagaimanakah relasi antara NU dan politik, apakah harus separated, integrated ataukah simbiosis mutualisme. Tentu saja kita akan memilih yang terakhir, yaitu relasi politik dan NU yang simbiosis mutualisme. Hanya saja, bagaimana formulanya? Pertanyaan inilah yang harus dijawab oleh aktivis NU, khususnya Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU). Seandainya hal ini bisa dirumuskan, maka keinginan untuk membuat sistem politik NU yang berbasis politik alokatif kiranya akan dapat disemaikan dengan cerdas dan baik di masa yang akan datang.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Share on Facebook

Tidak ada komentar:

Posting Komentar