Jumat, 24 Desember 2010

Sejarah KH.Rifai

Syaikh Ahmad Rifa’i


Ulama dan Sastrawan Ulung dari Jawa
Syaikh Ahmad Rifa’i (Bukan Syeikh Ahmad Ar Rifa’i yang karyanya di muat bersambung di Cahaya Sufi). Dilahirkan di desa Tempuran Kabupaten Kendal Jawa Tengah pada Tanggal 9 Muharram1200 Hijrah bertepatan dengan tahun 1786 Masehi. Ayahnya bernama RKH. Muhammad bin RKH. Abi Suja’ alias Raden Soetjowidjojo, yang menjadi hakim agama di kabupaten tersebut. Ayahnya meninggal ketika Ahmad Rifa’i berumur 6 tahun. Saudara dekatnya yang paling besar ialah Syaikh Al Asyari (suami Nyai Rajiyah binti Muhammad) ulama pendiri/pemimpin Pondok Pesantren Kaliwungu, mengasuh dan membesarkan dengan pendidikan keagamaan yang benar selama 20 tahun.

Pada tahun 1230 H./1816 M., ketika usianya mencapai 30 tahun, Ahmad Rifa’i pergi ke Mekkah untuk menunaikan kewajiban ibadah haji, dan selama 8 tahun mendalami ilmu-ilmu keislaman
di bawah guru Syaikh Ahmad Usman dan Syaikh Al Faqih Muhammad Ibn Abd al Aziz al Jaisyi, kemudian melanjutkan belajarnya ke Mesir selama 12 tahun, di Kairo, dia belajar kitab-kitab fiqih mazhab Syaffi, demikian dilakukan dengan petunjuk dan arahan dari guru-guru agung dan dua diantara guru-gurunya adalah Syaikh Ibrahim al Bajuri dan Syaikh Abdurrahman al Misry.

Setelah 20 tahun belajar di Timur Tengah, kemudian Ahmad Rifa’i pulang ke Indonesia bersama Syaikh Nawawi Banten dan Syaikh Muhammad Kholil Bangkalan Madura. Dan pada waktu ingin kembali ke Indonesia ketiganya duduk berkeliling memusyawarahkan untuk menyatakan menyebarkan ilmu yang diperolehnya dalam bentuk tulisan, maka mereka bersepakat untuk mengamalkan kewajiban menyampaikan diantara ketiga ulama tersebut, yaitu:
Pertama, kewajiban menjalan kan amar makruf dan nahi munkar.
Kedua, menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa pribumi untuk mencapai kesuksesan dakwah Islamiyah.
Ketiga, mendirikan pondok-pondok pesantren.
Keempat, Jihad fi sabililah untuk mengusir penjajah Belanda dari tanah air.

Mereka sepakat bahwa setiap individu wajib mengembangkan ajarannya, pendidikan dan keagamaan. Maka Muhammad Khofil Bangkalan bertanggung Jawab untuk menyusun kitab-kitab tentang tauhid; Syaikh Nawawi Banten bertanggungjawab dalam menyusun kitab-kitab mengenai tasawuf, dan Syaikh Ahmad Rif’i diberi tanggung jawab untuk mengarang kitab-kitab fiqih. Kedua ulama dari ketiganya memutuskan untuk hidup di tanah airnya, adapun Syaikh Nawawi pada kesempatan lain pergi ke Makkah dan hidup di sana sampai wafatnya di tanah suci tersebut dan dikuburkan di Ma’la, Syaikh Ahmad Rifa’i memilih tinggal di desa Kaliwungu Kendal, agar bisa memusatkan perhatiannya merealisasikan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dan mengarang kitab-kitab Tarajumah. Di samping kesibukannya dalarn urusan pengajaran dan mengarang kitab, Ahmad Rifa’i bekerja keras menanamkan keislaman khususnya kepada murid-muridnya dan kepada masyarakat pada umumnya. Pada waktu itu pemerintah kolonial dan antek-anteknya menjarah penduduk dan tanah airnya untuk dibawa ke negeri kincir angin Belanda.

Ahmad Rifa’i memandang, bahwa mereka itu adalah orang-orang yang bertanggungjawab atas kesengsaraan yang telah menimpa umat Islam pada waktu itu. Gerakan Ahmad Rifa’i telah menyebabkan harus berhadapan dengan pemerintahan kolonial. Karena takut, pemerintah Belanda memanggil Ahmad Rifa’i dan ditempatkan di penjara Kendal dan Semarang.

Setelah keluar dari penjara Ahmad Rifa’i pindah ke desa Kalisalak (Kalisasak). Di desa tersebut dia menikahi gadis yang solehah namanya Sujinah, setelah istri pertamannya, Ummil Umrah meninggal dunia. Kalisalak adalah desa terpencil yang terletak di kecamatan Limpung kabupaten Batang, Jawa Tengah. Di desa tersebut pertama kali Ahmad Rifa’i mendirikan lembaga pondok pesantren yang namanya semakin terkenal di kalangan orang banyak dan berdatangan para murid dari berbagai daerah seperti Kendal, Pekalongan, Wonosobo, dan daerah lainnya.

Untuk memperkuat dan melestarikan pengajarannya selama-lamanya, Ahmad Rifa’i RA. mempersiapkan murid-muridnya dengan cara khusus seperti pengkaderan untuk masa depan pemikiran dan pergerakannya. Mereka itu orang-orang yang akan mengembangkan kitab-kitab yang telah dikarang oleh Ahmad Rifa’i dan mereka dikenal sebagai para penerus. Di antara mereka adalah Abdul Hamid bin Giwa alias Kiai Hadits (Wonosobo), Abu Hasan (Wonosobo), Abdul Hadi (Wonosobo), Abu Ilham (Batang), Ilham bin Abu Ilham (Batang), Maufura bin Nawawi (Batang), Idris bin Abu Ilham (Indramayu), Abdul Manaf dan Abdul Qahar (Kendal), Iman Tsani (Kebumen), Muharar (Purwarejo), Muhsin (Kendal), Muhammad Thuba bin Rodam (Kendal) serta. Abu Salim (Pekalongan) dan sejumlah murid lainnya yang masih banyak.
Ketika pemerintah penjajah mengetahui bahwa gerakan Syaikh Ahmad Rifa’i lambat laun semakin banyak pengikutnya dari daerah lain, maka pemerintah kolonial menangkap dan mengasingkan Ahmad Rifa’i ke Ambon pada tanggal 16 Syawal 1275 Hijriyah (19 Mei 1859).
Maka Ahmad Rifa’i menjadi terasing dari khalayak ramai tetapi dia tidak meninggalkan mengarang kitab sebagai wahana untuk dakwah Islamiyah. Seluruh karya Ar Rifa’i menggunakan bahasa jawa dalam bentuk sya’ir. Menurut keterangan bahwa ia mengarang 4 judul kitab dan 60 kebet tanbih dalam bahasa Melayu ketika berdakwah di Maluku yang kitab-kitabnya dikirimkan ke murid-muridnya di Jawa. Kemudian Ahmad Rifa’i juga pindah ke Kampung Jawa Tondano Kabupaten Minahasa, Menado dan meninggal dunia disana setelah berumur 89 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar