Minggu, 30 Januari 2011

Ibnu Khaldun

IBNU KHALDUN DAN PEMIKIRANNYA
TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN

A. PENDAHULUAN
Rasanya tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa falsafah tentang
segala sesuatu bukan tidak lebih penting dari sesuatu itu sendiri,
karena falsafahlah yang akan menentukan kemana tujuan dari sesuatu
tersebut diarahkan, karena ia merupakan ide atau pembahasan yang
sistematis tentang permasalahan yang sedang dihadapi, sebagaimana
pula masalah pendidikan.
Brodi, seorang pakar filsafat pendidikan, sebagaimana dikutip
Muhaimin dalam bukunya Wacana Pengembangan Pendidikan Islam,
mengatakan bahwa tugas filsafat pendidikan Islam adalah menyelidiki
suatu persoalan metafisika, epistemologi, etika, logika, estetika,
maupun kombinasi dari semuanya.
Dalam kaitannya dengan pemikiran Ibnu Khaldun mengenai filsafat
pendidikan, dapat dikatakan bahwa pemikiran yang lahir pada
pertengahan abad XIV itu telah mengakomodir ide-ide falsafah
pendidikan yang masih aktual sampai hari ini. Hal itu sebagaimana
dikatakan Ibnu Khaldun pada bab IV dari Muqaddimahnya, bahwa ilmu
pendidikan bukan sebagai suatu aktifitas yang semata-mata bersifat
pemikiran dan perenungan, yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di
dalam kehidupan, akan tetapi ia merupakan gejala konklusif yang
lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan
kebudayaan. Dengan demikian pendidikan merupakan sebuah keniscayaan
dalam sebuah masyarakat manusia, dan ia akan selalu berkembang
sesuai perkembangan dan kemajuan peradaban manusia.
Karena disadari atau tidak, sesungguhnya manusia senantiasa berada
dan tidak mungkin bisa keluar dari ruangan pendidikan yang disebut
“dunia”, karena ketika sekolah dikatakan sebagai lembaga pendidikan
formal, maka sesungguhnya “dunia” merupakan sekolah terbesar bagi
manusia, karena di dalamnya dan dari padanya manusia dapat
memperoleh banyak hal tentang pengetahuan kehidupan. Karena itu Ibnu
Khaldun berkeyakinan bahwa manusia yang tidak sempat memperoleh
pendidikan dari kedua orang tuanya, maka zamanlah yang akan
mendidiknya.
Oleh karena pendidikan sesungguhnya tidak pernah mengenal batas
usia, tempat dan waktu, sebab sepanjang kehidupannya pada hakekatnya
manusia akan selalu berpikir, berkreasi, beraktifitas, memiliki
pengalaman-pengalaman, serta tujuan-tujuan hidup yang akan dicapai
dengan cara-cara itu atau metode tertentu, yang menurut Ibnu Khaldun
tujuan itu adalah kebahagiaan dunia akhirat.
Berangkat dari uraian tersebut di atas, tulisan ini akan mencoba
mendiskripsikan pandangan dan ide-ide Ibnu Khaldun tentang falsafah
pendidikan yang secara implisit mengacu kepada tujuan sebagaimana
tersebut di atas.

B. IBNU KHALDUN: BIOGRAFI DAN KARYANYA
1. Biografi Ibnu Khaldun
a. Asal Usul dan Pendidikannya
Ibnu Khaldun, nama lengkapnya adalah Abdurrahman Zaid Waliuddin bin
Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan
dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Nama kecilnya adalah Abdurrahman,
sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan keluarga, karena
dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah kehormatan
dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat
menjadi Ketua Pengadilan di Mesir.
Adapun asal-usul Ibnu Khaldun menurut Ibnu Hazm ulama Andalusia yang
wafat tahun 457 H/1065 M, disebutkan bahwa: Keluarga Ibnu Khaldun
berasal dari Hadramaut di Yaman, dan kalau ditelusuri silsilahnya
sampai kepada sahabat Rasulullah yang terkenal meriwayatkan kurang
lebih 70 hadits dari Rasulullah, yaitu Wail bin Hujr. Nenek moyang
Ibnu Khaldun adalah Khalid bin Usman, masuk Andalusia (Spanyol)
bersama-sama para penakluk berkebangsaan Arab sekitar abad ke VII
M., karena tertarik oleh kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh
tentara Islam. Ia menetap di Carmona, suatu kota kecil yang terletak
di tengah-tengah antara tiga kota yaitu Cordova, Granada dan
Seville, yang di kemudian hari kota ini menjadi pusat kebudayaan
Islam di Andalusia.
Pada abad ke VII M, anak cucu Khaldun pindah ke Sevilla yang pada
masa pemerintahan Amir Abdullah Ibnu Muhammad dari Bani Umayyah
(274-300 H.) Andalusia dalam suasana perpecahan dan perebutan
kekuasaan dan yang paling parah adalah Sevilla. Dalam suasana
seperti itu anak cucu Khaldun yang bernama Kuraib mengadakan
pemberontakan bersama Umayyah Ibnu Abdul Ghofir, dia berhasil
merebut kekuasaan dan mendirikan pemerintahan (sebagai Amir) di
Sevilla. Akan tetapi karena kekejaman dan kekerasannya dia tidak
disenangi rakyat dan akhirnya meninggal terbunuh pada tahun 899 H.
Banu Khaldun tetap tinggal di Sevilla selama pemerintahan Umayyah
dengan tidak mengambil peranan yang berarti sehingga datangnya
pemerintahan raja-raja kecil (al-Thowalif) dan Sevilla berada dalam
kekuasaan Ibnu Abbad. Pada masa itulah bintang Banu Khaldun
meningkat lagi sampai pada masa pemerintahan Al-Muwahidun. Setelah
raja-raja Thowaif mengalami kemunduran, maka muncullah raja-raja
Muwahhidin menggeser kekuasaan raja-raja Murabbith. Pada
pemerintahan Muwahhidun inilah Banu Khaldun menjalin hubungan dengan
keluarga pemerintah, sehingga mereka mempunyai kedudukan yang
terhormat. Tatkala kerajaan Muwahhidin mengalami kemunduran dan
Andalusia menjadi kacau balau, maka Banu Khaldun pindah ke Tunisia
pada tahun 1223 M. nenek moyang Ibnu Khaldun yang pertama mendarat
ke Tunisia adalah al-Hasan Ibnu Muhammad (kakek keempat Ibnu
Khaldun), kemudian disusul oleh saudara-saudaranya yang lain seperti
Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar Muhammad dan lain-lain. Kakek Ibnu
Khaldun itu rata-rata menduduki jabatan penting di dalam
pemerintahan waktu itu. Sedangkan anaknya Abu Abdillah Muhammad
(ayah Ibnu Khaldun) tidak tertarik kepada jabatan pemerintahan, akan
tetapi ia lebih mementingkan bidang ilmu dan pendidikan, sehingga ia
dikenal sebagai ahli dalam bidang ilmu fiqih, meninggal tahun 749
H/1349 M. Ia meninggalkan beberapa orang anak diantaranya: Abu Yazid
Waliuddin (Ibnu Khaldun), Umar, Musa, Yahya dan Muhammad. Pada waktu
itu Ibnu Khaldun baru berusia 18 tahun.
Adapun pendidikan yang diperoleh Ibnu Khaldun diantaranya adalah
pelajaran agama, bahasa, logika dan filsafat. Sebagai gurunya yang
utama adalah ayahnya sendiri, di samping Ibnu Khaldun juga menghafal
al-Qur’an, mempelajari fisika dan matematika dari ulama-ulama besar
pada masanya. Di antara guru-guru Ibnu Khaldun adalah Muhammad bin
Saad Burral al-Anshari, Muhammad bin Abdissalam, Muhammad bin Abdil
Muhaimin al-Hadrami dan Abu Abdillah Muhammad bin Ibrohim al-Abilli.
Dari merekalah Ibnu Khaldun mendapatkan berbagai macam ilmu
pengetahuan. Pada tahun 1349 setelah kedua orang tua Ibnu Khaldun
meninggal dunia Ibnu Khaldun memutuskan untuk pindah ke Marokko,
namun dicegah oleh kakaknya, baru tahun 1354 Ibnu Khaldun
melaksanakan niatnya pergi ke Marokko, dan di sanalah Ibnu Khaldun
mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan tingginya.
Selama menjalani pendidikannya di Marokko, ada empat ilmu yang
dipelajarinya secara mendalam yaitu: Kelompok bahasa Arab yang
terdiri dari: Nahwu, shorof, balaghoh, khitabah dan sastra. Kelompok
ilmu syari’at terdiri dari: Fiqh (Maliki), tafsir, hadits, ushul
fiqh dan ilmu al-Qur’an. Kelompok ilmu ‘aqliyah (ilmu-ilmu filsafat)
terdiri dari: filsafat, mantiq, fisika, matematika, falak, musik,
dan sejarah. Kelompok ilmu kenegaraan terdiri atas: ilmu
administrasi, organisasi, ekonomi dan politik. Dalam sepanjang
hidupnya Ibnu Khaldun tidak pernah berhenti belajar, sebagaimana
dikatakan oleh Von Wesendonk: bahwa sepanjang hidupnya, dari awal
hingga wafatnya Ibnu Khaldun telah dengan sungguh-sungguh
mencurahkan perhatiannya untuk mencari ilmu. Sehingga merupakan hal
yang wajar apabila dengan kecermelangan otaknya dan didukung oleh
kemauannya yang membaja untuk menjadi seorang yang alim dan arif,
hanya dalam waktu kurang dari seperempat abad Ibnu Khaldun telah
mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan.
b. Perjalanan dan Pengalaman Hidup Ibnu Khaldun setelah Usia
Dewasa
Memasuki tahun ke-20 dari usianya, Ibnu Khaldun mulai tertarik
dengan kehidupan politik, sehingga pada tahu 755 H./1354 Ml., karena
kecakapannya Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretaris Sultan di
Maroko, namun jabatan ini tidak lama di pangkunya, karena pada tahun
1357 Ibnu Khaldun terlibat dalam persekongkolan untuk menggulingkan
Amir bersama Amir Abu Abdullah Muhammad, sehingga ia ditangkap dan
dipenjarakan. Tetapi tidak lama kemudian dia dibebaskan, yang
kemudian pada tahun itu juga setelah Sultan meninggal dunia dan
kekuasaan direbut oleh Al-Mansur bin Sulaiman dari menterinya
Al-Hasan, maka Ibnu Khaldun menggabungkan diri dengan Al-Mansur dan
dia diangkat menjadi sekretarisnya. Namun tidak lama kemudian Ibnu
Khaldun meninggalkan Al-Mansur dan bekerjasama dengan Abu Salim.
Pada waktu itu Abu Salim menduduki singgasana dan Ibnu Khaldun
diangkat menjadi sekretarisnya dan dua tahun kemudian diangkat
menjadi Mahkamah Agung. Di sinilah Ibnu Khaldun menunjukkan
prestasinya yang luar biasa, tetapi itupun tidak berlangsung lama,
karena pada tahun 762 H./1361 M., timbul pemberontakan di kalangan
keluarga istana, maka pada waktu itu Ibnu Khaldun meninggalkan
jabatan yang disandangnya.
Rupanya tidak tahan lama Ibnu Khaldun bergelut dengan dunia politik
dia ingin kembali ke dalam dunia ilmu pengetahuan yang pernah lama
digelutinya. Akhirnya dia memutar haluan bertolak ke daerah Banu
Arif bersama keluarganya, dan di tempat inilah Ibnu Khaldun dan
keluarganya baru merasa hidup tenang dan tentram jauh dari
kemunafikan politik. Dalam ketenangannya itu Ibnu Khaldun merenung
ingin menumpahkan semua pengalaman dan liku-liku kehidupannya. Maka
dari sinilah ia mengalihkan perjalanan hidupnya dari petualang
politik kembali kepada dunia ilmu pengetahuan, dan mulailah ia
menyusun karya besarnya yang kemudian dikenal dengan “Muqoddimah
Ibnu Khaldun”. Selama empat tahun tinggal di daerah Banu Arif Ibnu
Khaldun juga menyusun sejarah besarnya Al-‘Ibar, akan tetapi karena
kekurangan referensi maka ia pergi ke Tunisia, dan disanalah ia
menyelesaikan karyanya. Rupanya ketenangan Ibnu Khaldun terganggu
lagi ketika Sultan mengajaknya untuk mendampingi menumpas pengacau,
namun karena Ibnu Khaldun sudah jenuh dengan kehidupan politik, maka
kemudian ia pindah ke Mesir. Di Mesir Ibnu Khaldun disambut dengan
hangat. Ilmuwan yang sarjana ini sudah tidak asing lagi di sana
karena karya-karyanya sudah tersebar di sana. Sebagai orang baru
Ibnu Khaldun langsung diberi dua jabatan penting yaitu sebagai hakim
tinggi dan sebagai guru besar di perguruan Al-Azhar. Setelah sekian
lama berhidmat untuk ilmu dan mengabdi kepada Afrika Utara dan
Andalusia ilmuwan besar dan terkemuka itu meninggal dunia pada hari
Rabu tanggal 25 Ramadhan 808 H. bertepatan dengan tanggal 17 Maret
1406 M. dalam usianya yang ke-76, dan dimakamkan di pekuburan
orang-orang sufi Babul Nashr di Kairo.
c. Kepribadian dan Corak Pemikiran Ibnu Khaldun
Sebagai seoang pemikir Ibnu Khaldun memiliki watak yang luar biasa
yang kadang terasa kurang baik. Dalam hal ini Muhammad Abdullah Enan
melukiskan kepribadian Ibnu Khaldun yang istimewa itu dengan mencoba
memperlihatkan ciri psikologik Ibnu Khaldun, walaupun diakuinya
secara moral ini tidak selalu sesuai. Menurutnya ia melihat dalam
diri Ibnu Khaldun terdapat sifat angkuh dan egoisme, penuh ambisi,
tidak menentu dan kurang memiliki rasa terima kasih. Namun di
samping sifat-sifatnya yang tersebut di atas dia juga mempunyai
sifat pemberani, tabah dan kuat, teguh pendirian serta tahan uji.
Disamping memiliki intelegensi yang tinggi, cerdas, berpandangan
jauh dan pandai berpuisi. Menurut beberapa ahli, Ibnu Khaldun dalam
proses pemikirannya mengalami percampuran yang unik, yaitu antara
dua tokoh yang saling bertolak belakang, Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd.
Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd bertentangan dalam bidang filsafat. Ibnu
Rusyd adalah pengikut Aristoteles yang setia, sedangkan Al-Ghozali
adalah penentang filsafat Aristoteles yang gigih. Ibnu Khaldun
adalah pengikut Al-Ghozali dalam permusuhannya melawan logika
Aristoteles, dan pengikut Ibnu Rusyd dalam usahanya mempengaruhi
massa. Ibnu Khaldun adalah satu-satunya sarjana muslim waktu itu
yang menyadari arti pentingnya praduga dan katagori dalam pemikiran
untuk menyelesaikan perdebatan-perdebatan intelektual. Barangkali
karena itulah seperti anggapan Fuad Baali bahwa Ibnu Khaldun
membangun suatu bentuk logika baru yang realistik, sebagai upayanya
untuk mengganti logika idealistik Aristoteles yang berpola
paternalistik-absolutistik-spiritualistik. Sedangkan logika
realistik Ibnu Khaldun ini berpola pikir
relatifistik-temporalistik-materialistik.
Dengan berpola pikir seperti itulah Ibnu Khaldun mengamati dan
menganalisa gejala-gejala sosial beserta sejarahnya, yang pada
akhirnya tercipta suatu teori kemasyarakatan yang modern.
2. Karya-karya Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun terkenal sebagai ilmuwan besar adalah karena karyanya
“Muqaddimah”. Rasanya memang aneh ia terkenal justru karena
muqaddimahnya bukan karena karyanya yang pokok (al-‘Ibar), namun
pengantar al-‘Ibarnyalah yang telah membuat namanya diagung-agungkan
dalam sejarah intelektualisme. Karya monumentalnya itu telah membuat
para sarjana baik di Barat maupun di Timur begitu mengaguminya.
Sampai-sampai Windellband dalam filsafat sejarahnya menyebutnya
sebagai “Tokoh ajaib yang sama sekali lepas, baik dari masa lampau
maupun masa yang akan datang”.
Sebenarnya Ibnu Khaldun sudah memulai kariernya dalam bidang tulis
menulis semenjak masa mudanya, tatkala ia masih menuntut ilmu
pengetahuan, dan kemudian dilanjutkan ketika ia aktif dalam dunia
politik dan pemerintahan. Adapun hasil karya-karyanya yang terkenal
di antaranya adalah:
1. Kitab Muqaddimah, yang merupakan buku pertama dari kitab
al-‘Ibar, yang terdiri dari bagian muqaddimah (pengantar). Buku
pengantar yang panjang inilah yang merupakan inti dari seluruh
persoalan, dan buku tersebut pulalah yang mengangkat nama Ibnu
Khaldun menjadi begitu harum. Adapun tema muqaddimah ini adalah
gejala-gejala sosial dan sejarahnya.
2. Kitab al-‘Ibar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam
al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man Asharuhum min dzawi
as-Sulthani al-‘Akbar. (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman
Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa Politik Mengenai
Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar yang
Semasa dengan Mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar,
yang terdiri dari tiga buku: Buku pertama, adalah sebagai kitab
Muqaddimah, atau jilid pertama yang berisi tentang: Masyarakat dan
ciri-cirinya yang hakiki, yaitu pemerintahan, kekuasaan,
pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan
dengan segala sebab dan alasan-alasannya. Buku kedua terdiri dari
empat jilid, yaitu jilid kedua, ketiga, keempat, dan kelima, yang
menguraikan tentang sejarah bangsa Arab, generasi-generasi mereka
serta dinasti-dinasti mereka. Di samping itu juga mengandung ulasan
tentang bangsa-bangsa terkenal dan negara yang sezaman dengan
mereka, seperti bangsa Syiria, Persia, Yahudi (Israel), Yunani,
Romawi, Turki dan Franka (orang-orang Eropa). Kemudian Buku Ketiga
terdiri dari dua jilid yaitu jilid keenam dan ketujuh, yang berisi
tentang sejarah bahasa Barbar dan Zanata yang merupakan bagian dari
mereka, khususnya kerajaan dan negara-negara Maghribi (Afrika
Utara).
3. Kitab al-Ta’rif bi Ibnu Khaldun wa Rihlatuhu Syarqon wa
Ghorban atau disebut al-Ta’rif, dan oleh orang-orang Barat disebut
dengan Autobiografi , merupakan bagian terakhir dari kitab al-‘Ibar
yang berisi tentang beberapa bab mengenai kehidupan Ibnu Khaldun.
Dia menulis autobiografinya secara sistematis dengan menggunakan
metode ilmiah, karena terpisah dalam bab-bab, tapi saling
berhubungan antara satu dengan yang lain.

C. PEMIKIRAN IBNU KHALDUN TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN
1. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun
Pada bab ini akan dibahas pandangan-pandangan Ibnu Khaldun mengenai
pendidikan. Menurut Ibnu Khaldun dalam awal pembahasannya pada bab
empat dari Muqaddimahnya, dia menyatakan bahwa ilmu pendidikan
bukanlah suatu aktivitas yang semat-mata bersifat pemikiran dan
perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan,
akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang
lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan
kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain
merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Di dalam kitab Muqaddimahnya Ibnu Khaldun tidak memberikan definisi
pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan gambaran-gambaran
secara umum, seperti dikatakan Ibnu Khaldun bahwa:
Barangsiapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik
oleh zaman, maksudnya barangsiapa tidak memperoleh tata krama yang
dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka
yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal
itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam,
dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan
mengajarkannya.

Dari pendapatnya ini dapat diketahui bahwa pendidikan menurut Ibnu
Khaldun mempunyai pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya
merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding,
tetapi pendidikan adalah suatu proses, di mana manusia secara sadar
menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam
sepanjang zaman.
Menurut Ibnu Khaldun bahwa secara esensial manusia itu bodoh, dan
menjadi berilmu melalui pencarian ilmu pengetahuan. Alasan yang
dikemukakan bahwa manusia adalah bagian dari jenis binatang, dan
Allah SWT telah membedakannya dengan binatang dengan diberi akal
pikiran. Kemampuan manusia untuk berfikir baru dapat dicapai setelah
sifat kebinatangannya mencapai kesempurnaan, yaitu dengan melalui
proses; kemampuan membedakan. Sebelum pada tahap ini manusia sama
sekali persis seperti binatang, manusia hanya berupa setetes sperma,
segumpal darah, sekerat daging dan masih ditentukan rupa mentalnya.
Kemudian Allah memberikan anugerah berupa pendengaran, penglihatan
dan akal. Pada waktu itu manusia adalah materi sepenuhnya karena itu
dia tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Dia mencapai kesempurnaan
bentuknya melalui ilmu pengetahuan yang dicari melalui organ
tubuhnya sendiri. Setelah manusia mencapai eksistensinya, dia siap
menerima apa yang dibawa para Nabi dan mengamalkannya demi
akhiratnya. Maka dia selalu berfikir tentang semuanya. Dari pikiran
ini tercipta berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian-keahlian.
Kemudian manusia ingin mencapai apa yang menjadi tuntutan wataknya;
yaitu ingin mengetahui segala sesuatu, lalu dia mencari orang yang
lebih dulu memiliki ilmu atau kelebihan. Setelah itu pikiran dan
pandangannya dicurahkan pada hakekat kebenaran satu demi satu serta
memperhatikan peristiwa-peristiwa yang dialaminya yang berguna bagi
esensinya. Akhirnya dia menjadi terlatih sehingga pengajaran
terhadap gejala hakekat menjadi suatu kebiasaan (malakah) baginya.
Ketika itu ilmunya menjadi suatu ilmu spesial, dan jiwa generasi
yang sedang tumbuh pun tertarik untuk memperoleh ilmu tersebut.
Merekapun meminta bantuan para ahli ilmu pengetahuan, dan dari
sinilah timbul pengajaran. Inilah yang oleh Ibnu Khaldun dikatakan
bahwa ilmu pengetahuan merupakan hal yang alami di dalam peradaban
manusia.
Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun, bahwa di dalam
Muqaddimahnya ia tidak merumuskan tujuan pendidikan secara jelas,
akan tetapi dari uraian yang tersirat, dapat diketahui tujuan yang
seharusnya dicapai di dalam pendidikan. Dalam hal ini al-Toumy
mencoba menganalisa isi Muqaddimahnya dan ditemukan beberapa tujuan
pendidikan yang hendak dicapai. Dijelaskan menurutnya ada enam
tujuan yang hendak dicapai melalui pendidikan, antara lain:
1. Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan, yaitu dengan
mengajarkan syair-syair agama menurut al-Qur’an dan Hadits Nabi
sebab dengan jalan itu potensi iman itu diperkuat, sebagaimana
dengan potensi-potensi lain yang jika kita mendarah daging, maka ia
seakan-akan menjadi fithrah.
2. Menyiapkan seseorang dari segi akhlak. Hal ini sesuai pula
dengan apa yang dikatakan Muhammad AR., bahwa hakekat pendidikan
menurut Islam sesungguhnya adalah menumbuhkan dan membentuk
kepribadian manusia yang sempurna melalui budi luhur dan akhlak
mulia.
3. Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial.
4. Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan.
Ditegaskannya tentang pentingnya pekerjaan sepanjang umur manusia,
sedang pengajaran atau pendidikan menurutnya termasuk di antara
ketrampilan-ketrampilan itu.
5. Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan
pemikiran seseorang dapat memegang berbagai pekerjaan atau
ketrampilan tertentu.
6. Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, di sini termasuk
musik, syair, khat, seni bina dan lain-lain.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan
bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi
juga untuk mendapatkan keahlian. Dia telah memberikan porsi yang
sama antara apa yang akan dicapai dalam urusan ukhrowi dan duniawi,
karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki. Maka
atas dasar itulah Ibnu Khaldun beranggapan bahwa target pendidikan
adalah memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja,
karena dia memandang aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya
pikiran dan kematangan individu. Karena kematangan berfikir adalah
alat kemajuan ilmu industri dan sistem sosial.
Dari rumusan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun menganut prinsip
keseimbangan. Dia ingin anak didik mencapai kebahagiaan duniawi dan
sekaligus ukhrowinya kelak. Berangkat dari pengamatan terhadap
rumusan tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun, secara
jelas kita dapat melihat bahwa ciri khas pendidikan Islam yaitu
sifat moral religius nampak jelas dalam tujuan pendidikannya, dengan
tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi. Sehingga secara umum
dapat kita katakan bahwa pendapat Ibnu Khaldun tentang pendidikan
telah sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam yakni aspirasi
yang bernafaskan agama dan moral.
2. Pandangan Ibnu Khaldun mengenai Kurikulum dan Materi
Pendidikan
Sebelum membahas pandangan Ibnu Khaldun tentang kurikulum perlu
kiranya diberikan pengertian kurikulum pada zamannya, karena
kurikulum pada zamannya tentu saja berbeda dengan kurikulum masa
kini yang telah memiliki pengertian yang lebih luas. Pengertian
kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih terbatas pada
maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau
sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk
kitab-kitab tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam
tiap tahap pendidikan.
Sedangkan pengertian kurikulum modern, telah mencakup konsep yang
lebih luas yang di dalamnya mencakup empat unsur pokok yaitu: Tujuan
pendidikan yang ingin dicapai, pengetahuan-pengetahuan,
maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan, pengalaman-pengalaman
dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran serta
bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan
untuk mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan. Dalam
pembahasannya mengenai kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan
kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada
tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan
Timur. Ia mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang
berlaku di Maghrib, bahwa orang-orang Maghrib membatasi pendidikan
dan pengajaran mereka pada mempelajari al-Qur’an dari berbagai segi
kandungannya. Sedangkan orang-orang Andalusia, mereka menjadikan
al-Qur’an sebagai dasar dalam pengajarannya, karena al-Qur’an
merupakan sumber Islam dan sumber semua ilmu pengetahuan. Sehingga
mereka tidak membatasi pengajaran anak-anak pada mempelajari
al-Qur’an saja, akan tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran lain
seperti syair, karang mengarang, khat, kaidah-kaidah bahasa Arab dan
hafalan-hafalan lain. Demikian pula dengan orang-orang Ifrikiya,
mereka mengkombinasikan pengajaran al-Qur’an dengan hadits dan
kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan tertentu.
Adapun metode yang dipakai orang Timur seperti pengakuan Ibnu
Khaldun, sejauh yang ia ketahui bahwa orang-orang Timur memiliki
jenis kurikulum campuran antara pengajaran al-Qur’an dan
kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan. Dalam hal ini Ibnu Khaldun
menganjurkan agar pada anak-anak seyogyanya terlebih dahulu
diajarkan bahasa Arab sebelum ilmu-ilmu yang lain, karena bahasa
adalah merupakan kunci untuk menyingkap semua ilmu pengetahuan,
sehingga menurutnya mengajarkan al-Qur’an mendahului pengajarannya
terhadap bahasa Arab akan mengkaburkan pemahaman anak terhadap
al-Qur’an itu sendiri, karena anak akan membaca apa yang tidak
dimengertinya dan hal ini menurutnya tidak ada gunanya.
Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi adalah
merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal
ini Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang
banyak dipelajari manusia pada waktu itu menjadi dua macam yaitu:
1. Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang
dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan
dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada
otoritas syari’at yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits.
Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara lain:
ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh,
ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta’bir mimpi.
2. Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah)
Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui
kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota
masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban
umat manusia di dunia. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat
(aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu: a. Ilmu logika,
b. Ilmu fisika, c. Ilmu metafisika dan d. Ilmu matematika. Walaupun
Ibnu Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan
sosiologi, namun ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam
klasifikasi ilmunya.
Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun membagi ilmu
berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang
masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas
mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
1. Ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh
dan ilmu kalam.
2. Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan
ilmu Ketuhanan (metafisika)
3. Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari’at),
yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain
yang membantu mempelajari agama.
4. Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu
logika.
Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu adalah
merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu
itu sendiri. Sedangkan kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu
alat) adalah merupakan alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan
golongan pertama.
Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang materi ilmu pengetahuan yang
menunjukkan keseimbangan antara ilmu syari’at (agama) dan ilmu
‘Aqliyah (filsafat). Meskipun dia meletakkan ilmu agama pada tempat
yang pertama, hal itu ditinjau dari segi kegunaannya bagi anak
didik, karena membantunya untuk hidup dengan seimbang namun dia juga
meletakkan ilmu aqliyah (filsafat) di tempat yang mulia sejajar
dengan ilmu agama. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu pengetahuan
tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar banyak
tergantung pada para pendidik, bagaimana dan sejauh mana mereka
pandai mempergunakan berbagai metode yang tepat dan baik.
3. Pandangan Ibnu Khaldun tentang Metode Pendidikan
Pandangan Ibnu Khaldun tentang metode pengajaran merupakan bagian
dari pembahasan pada buku Muqaddimahnya. Sebagaimana kita ketahui
dalam sejarah pendidikan Islam dapat kita simak bahwa dalam berbagai
kondisi dan situasi yang berbeda, telah diterapkan metode
pengajaran. Dan metode yang dipergunakan bukan hanya metode mengajar
bagi pendidik, melainkan juga metode belajar yang harus digunakan
oleh anak didik. Hal ini sebagaimana telah dibahas Ibnu Khaldun
dalam buku Muqaddimahnya.
Di dalam buku Muqaddimahnya dia telah mencanangkan langkah-langkah
pendidikan sebagai berikut:
Pertama: Didalam memberikan pengetahuan kepada anak didik, pendidik
hendaknya memberikan problem-problem pokok yang bersifat umum dan
menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal anak didik.
Kedua: Setelah pendidik memberikan problem-problem yang umum dari
pengetahuan tadi baru pendidik membahasnya secara lebih detail dan
terperinci.
Ketiga: Pada langkah ketiga ini pendidik menyampaikan pengetahuan
kepada anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan
berusaha membahas semua persoalan bagaimapaun sulitnya agar anak
didik memperoleh pemahaman yang sempurna. Demikian itu metode umum
yang ditawarkan Ibnu Khaldun di dalam proses belajar mengajar.
Disamping itu Ibnu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode
diskusi, karena dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam
mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk berbicara,
disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau
dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir
reflektif dan inovatif. Lain halnya dengan metode hafalan, yang
menurutnya metode ini membuat anak didik kurang mendapatkan
pemahaman yang benar. Disamping metode yang sudah disebut di atas
Ibnu Khaldun juga menganjurkan metode peragaan, karena dengan metode
ini proses pengajaran akan lebih efektif dan materi pelajaran akan
lebih cepat ditangkap anak didik. Satu hal yang menunjukkan
kematangan berfikir Ibnu Khaldun, adalah prinsipnya bahwa belajar
bukan penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman, pembahasan
dan kemampuan berdiskusi. Karena menurutnya belajar dengan
berdiskusi akan menghidupkan kreativitas pikir anak, dapat
memecahkan masalah dan pandai menghargai pendapat orang lain,
disamping dengan berdiskusi anak akan benar-benar mengerti dan paham
terhadap apa yang dipelajarinya. Demikian pandangan Ibnu Khaldun
tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan pendidikan. Dan
apabila kita cermati satu demi satu pandangannya tentang kurikulum
materi dan metode pendidikan, maka dapat kita tarik suatu kesimpulan
bahwa ilmuan yang diakui Barat dan Timur ini memang memiliki
pandangan yang jauh ke depan dalam berbagai masalah pengetahuan,
berfikir universal dan sintetik, sehingga filsafatnya tentang
pendidikan tidak pernah dirasanya usang bahkan banyak diteladani
baik kawan maupun lawan.

D. KESIMPULAN
Mengakhiri tulisan tentang Filsafat Pendidikan dalam pandangan Ibnu
Khaldun ini ada beberapa hal yang menurut hemat penulis perlu
mendapatkan perhatian.
Yakni bahwa sebagai ilmuan yang juga sejarawan Ibnu Khaldun telah
banyak turut mewarnai pemikiran-pemikiran tentang pendidikan. Dia
telah mencanangkan dasar-dasar dan sistem pendidikan yang patut
diteladani baik di masa lalu maupun masa sekarang. Dari segi metode,
materi, maupun kurikulum yang ditawarkan secara keseluruhan pantas
untuk dikaji dan dicermati.
Walaupun di dalam menuangkan tentang pandangannya terhadap filsafat
pendidikan Ibnu Khaldun hanya mengemukakan secara garis besar, namun
harus diakui bahwa sumbangannya terhadap proses pendidikan cukuplah
besar. Dia telah menyajikan pandangan-pandangannya dalam bentuk
orientasi umum, sehingga dia mengatakan bahwa aktifitas pendidikan
bukan semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, akan tetapi ia
merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani, dan
karenanya ia harus dinikmati oleh setiap makhluk sosial yang bernama
manusia. Karena orientasi pendidikan menurutnya adalah bagaimana
bisa hidup bermasyarakat.
Sementara itu Ibnu Khaldun melihat bahwa penguasaan terhadap bahasa
merupakan prasyarat bagi keberhasilan suatu pendidikan.
Adapun metode yang ditawarkan Ibnu Khaldun adalah bersifat
intelektualitas, dengan prinsip memberikan kemudahan-kemudahan bagi
anak didik, demi terciptanya tujuan pendidikan. Karena menurutnya
hakekat manusia itu adalah jiwanya, sehingga jiwanyalah yang akan
menentukan hakekat perbuatan-perbuatannya, termasuk perbuatan
pendidikan.




DAFTAR PUSTAKA

Akhmad, K.H. Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1984.
Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, Jakarta:
Grafiti Press, 1985.
Ali, A. Mukti, Ibnu Khaldun dan Asal-Usul Sosiologinya, Yogyakarta:
Yayasan Nida, 1970.
Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam,
(terj.) Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Audah, Ali, Ibnu Khaldun Sebuah Pengantar, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1986.
Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam,
alih bahasa Osman Ralibi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode, Yogyakarta:
Andi Offset, 1987.
Enan, Muhammad Abdullah, Ibnu Khaldun: His Life and Work, New Delhi:
Kitab Bhavan, 1979.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Riset I, Yogyakarta: Andi Offset, 1982.
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (terj.) Ahmadi Thoha,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003.
Muhammad, AR., Pendidikan di Alaf Baru, Yogyakarta: Prisma Sophie,
2003.
Raliby, Osman, Ibnu Khaldun, Tentang Masyarakat dan Negara, Jakarta:
Bulan Bintang, 1978.
Sulaiman, Fathiyah Hasan, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan
Pendidikan, Bandung: Diponegoro, 1987.
_______, Sistem Pendidikan versi Al-Ghazali, Bandung: Diponegoro,
1987.
Thoha, Nashruddin, Tokoh-tokoh Pendidikan Islam di Jaman Jaya,
Jakarta: Mutiara, 1979.
Wafi, Ali Abdul Wahid, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, terj.
Ahmadie Thoha, Jakarta: Grafiti Press, 1985.
IBNU KHALDUN DAN PEMIKIRANNYA
TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN








Oleh:

SIROJUL HUDA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar