AGAMA
DAN PENGARUHNYA
TERHADAP
SIKAP/PERILAKU PEMELUKNYA
I. Pendahuluan
Sebagaimana
institusi sosial lainnya, agama juga memiliki fungsi yang sangat urgen bagi
masyarakat. Fungsi ini sangat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pemeliharaannya.
Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari
dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan
(integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang
bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor).
Salah satu buktinya adalah adanya perhatian khusus
para ahli pskologi terhadap peran agama dalam kehidupan dan kejiwaan manusia.
Pendapat yang paling ekstrem pun tentang hal itu masih menunjukkan batapa agama
sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya
dengan gejala-gejala psikologis.
Sehubungan dengan hal tersebut bahwa agama mempunyai
kaitan atau hubungan yang erat terhadap masyarakat, maka dalam makalah ini akan
dibahas tentang agama dan pengaruhnya tehadap sikap/pilaku pemeluknya yang
meliputi definisi agama, fungsi agama, agama dan pengaruhnya dalam kehidupan
terhadap sikap pemeluknya.
II. Pembahasan
A. Pengertian
Agama
Pengertian agama menurut J.H. Leuba, agama adalah cara
bertingkah laku, sebagai system kepercayaan atau sebagai emosi yang bercorak
khusus. Sedangkan definisi agama menurut Thouless adalah hubungan praktis yang
dirasakan dengan apa yang dia percayai sebagai mahluk atau sebagai wujud yang
lebih tinggi dari manusia.[1]
Kata agama sendiri berasal dari bahasa sangsekerta,
terdiri dari dua kata, yaitu a dan gama; a berarti tidak dan gama berarti
kacau, maksudnya tidak kacau atau teratur; hal ini berarti orang beragama
itu akan memperoleh ketentraman dan hatinya penuh kedamaian.[2]
Secara psikologis, agama adalah ilusi manusia. Manusia
lari kepada agama karena rasa ketidak berdayaan menghadapi bencana. Dengan
demikian, segala bentuk prilaku keagamaan merupakan prilaku manusia yang timbul
dari dorongan agar dirinya terhindar bahaya dan dapat memberikan rasa aman.
Untuk keperluan itu manusia menciptakan Tuhan dalam pemikirannya.
Menuut Skiner, salah seorang tokoh Behaviorisme
mendefinisikan agama sebagai isme social yang lahir dari dua faktor penguat.
Menurutnya kegiatan keagamaan menjadi factor penguat sebagai prilaku yang
meredakan ketegangan. Lembaga-lembaga social termasuk lembaga keagamaan,
bertugas menjaga dan mempertahankan perilaku atau kebiasaan masyarakat. Manusia
menanggapi tuntutan yang terkandung dalam lembaga itu dan ikut melestarikan
lewat cara mengikuti aturan-aturan yang telah baku .
Sedangkan menurut gambaran Elizabeth K. Nottingham,
agama dianggap sebagai gejala yang begitu sering di mana-mana dan agama
berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari
kebeadaan dii sendii dan keberadaan alam semesta, sehingga dapat menbangkitkan
kebahagian bathin.[3]
Adapun pengertian agama dari sudut istilah sangat
sulit untuk didefinisikan karena dalam hal ini tergantung kepada pengalaman yang
mendefinisikan jadi bersifat subjektif, intern dan individual, dimana setiap
orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda.
Namun perlu disadari bahwa setiap umat atau kelompok
yang benar-benar hidup sesuai dengan amanah agamanya masing-masing, maka
kerukunan, persaudaraan, kedaimaian dan kenyamanan akan hadir dengan sendirinya
dalam kehidupan manusia karena semua agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan
tak ada yang menginginkan keburukan, pertikaian, diskriminal dan lain-lain.
Dari beberapa definisi agama diatas dapat disimpulkan
bahwa agama adalah sebagai bentuk keyakinan yang bersifat supernatural yang mempunyai nilai-nilai bagi kehidupan
manusia sebagai perorangan atau sebagai masyarakat pada umumnya serta memberi
dampak atau pengaruh bagi kehidupan sehari-hari.
B. Fungsi Agama
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi
pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif
bagi masyarakat.[4]
1. Fungsi Integratif Agama
1. Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi
masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik
diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban
sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang
mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh
kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam
masyarakat.
Hal ini semakin diperkuat dengan adanya konsep sakral
yang melingkupi nilai-nilai keagamaan sehingga hal tersebut tidak mudah untuk
dirubah dan memiliki otoritas yang kuat di masyarakat.
Dengan mendasarkan pada perspektif fungsionalis,
Thomas F. O’Dea mengungkapkan bahwa agama memiliki fungsi dalam menyediakan dua
hal. Pertama, suatu cakrawala pandangan tentang dunia luar yang tidak
terjangkau oleh manusia (beyond). Kedua, sarana ritual yang memungkinkan
hubungan manusia dengan hal diluar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan
keselamatan bagi manusia.
Lebih jauh, dengan mendasarkan pada dua hal diatas,
Thomas mengungkapkan enam fungsi agama sebagai berikut:[5]
a. Agama
mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia yang melibatkan takdir dan
kesejahteraan, agama menyediakan sarana emosional penting yang membantu manusia
dalam menghadapi ketidakpastian.
b. Agama menawarkan suatu hubungan transendental
melalui pemujaan dan upacara peribadatan, karenanya agama memberikan dasar
emosional bagi rasa aman baru dan identitas yang lebih kuat ditengah kondisi
ketidakpastian dan ketidakmungkinan yang dihadapi manusia.
c. Agama
mensucikan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang telah terbentuk,
mempertahankan dominasi tujuan kelompok diatas kepentingan individu dan
disiplin kelompok diatas dorongan hati individu. Denagn demikian agama
berfungsi untuk membantu pengendalian sosial, melegitimasi alokasi pola-pola
masyarakat sehingga membantu ketertiban dan stabilitas.
d. Agama juga
melakukan fungsi yang bertentangan dengan fungsi sebaliknya, yaitu memberikan
standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang sudah terlembaga bisa dikaji
kembali secara kritis sesuai dengan kebutuhan masyarakat, terutama agama yang
menitikberatkan pada transendensi Tuhan dan pada masyarakat yang mapan.
e. Agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang
penting. Melalui peranserta manusia dalam ritual agama dan do’a, mereka
juga melakukan unsur-unsur signifikan yang ada dalam identitasnya.
f. Agama juga
berperan dalam memacu pertumbuhan dan kedewasaan individu, serta perjalanan
hidup melalui tingkat usia yang ditentukan oleh masyarakat.
Dari keenam
fungsi yang dijalankan oleh agama diatas, nampak bahwa agama memiliki peran
yang urgen tidak hanya bagi individu tetapi sekaligus bagi masyarakat. Bagi
individu, agama berperan dalam mengidentifikasikan individu dengan kelompok,
menghibur ketika dilanda kecewa, memperkuat moral, dan menyediakan unsur-unsur
identitas.
Sedangkan bagi kehidupan bermasyarakat, agama
berfungsi menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan mendukung
pengendalian sosial, menopang nilai-nilai dan tujuan yang mapan, dan
menyediakan sarana untuk mengatasi kesalahan dan keterasingan.
2. Fungsi Disintegratif Agama.
Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang
mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang
sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang
mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu
masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam
mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan
menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain.
Pada bagian ini, pembicaraan tentang fungsi
disintegratif agama akan lebih memfokuskan perhatian pada beberapa bentuk
konflik sosial yang bersumber dari agama.
Hendropuspito setidaknya mencatat empat bentuk konflik
sosial yang bersumber pada agama, yaitu:[6]
a.
Perbedaan doktrin dan sikap mental.
Dalam konteks
ini, konflik sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua kelompok agama yang
berbeda, bukan hanya sebatas konstruksi khayal semata melainkan sebagai sebuah
fakta sejarah yang seringkali masih terjadi hingga saat ini. Konflik yang
muncul lebih banyak disebabkan oleh adanya perbedaan doktrin yang kemudian
diikuti oleh sikap mental yang memandang bahwa hanya agama yang dianutnyalah yang
memiliki kebenaran (claim of truth) sedangkan yang lain sesat, atau setidaknya
kurang sempurna.
Klaim kebenaran inilah yang menjadi sumber munculnya
konflik sosial yang berlatarbelakang agama, terlebih pada umumnya klaim
kebenaran diikuti oleh munculnya sikap kesombongan religius, prasangka,
fanatisme, dan intoleransi. Sikap-sikap tersebut sedikit banyak telah menutup
sisi rasional yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk membangun saling
pengertian antar pemeluk agama. Seringkali sisi non-rasional dan supra-rasional,
yang memegang peranan penting dalam agama, dijadikan sebagai senjata untuk
menolak argumentasi rasional yang ada. Kenyataan inilah yang turut memberikan kontribusi akan eksistensi
sikap-sikap tersebut.
b. Perbedaan suku dan
ras pemeluk agama
Meskipun
tidak sedikit bukti yang menunjukkan bahwa agama memiliki peran dalam
mempersatukan orang-orang yang memiliki perbedaan suku dan ras, namun kita juga
tidak bisa membantah bahwa seringkali perbedaan suku dan ras menimbulkan
konflik sosial. Apabila perbedaan suku dan ras saja telah cukup untuk
memunculkan konflik sosial, maka masuknya unsur perbedaan agama tentunya akan
semakin mempertegas konflik tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari fakta
sejarah bahwa bangsa kulit putih yang notabene beragama Kristen merasa menjadi
bangsa pilihan yang ditugaskan untuk mempersatukan kerajaan Allah di dunia
dengan menaklukkan bangsa lain yang non-Kristen.
c.
Perbedaan tingkat kebudayaan
Sebagai bagian dari kebudayaan, agama merupakan faktor
penting bagi pembudayaan manusia khususnya, dan alam semesta pada umumnya.
Peter Berger menjelaskan fenomena ini dengan menegaskan bahwa agama merupakan
usaha manusiawi dengan mana suatu jagad raya ditegakkan.
Dengan kata lain, agama adalah upaya menciptakan alam
semesta dengan cara yang suci. Dengan kerangka pemikiran bahwa agama memainkan
peran dominan dalam menciptakan masyarakat budaya dan melestarikan alam semesta
maka munculnya ketegangan yang disebabkan karena perbedaan tingkat kebudayaan
tidak bisa dilepaskan dari peran agama dalam menyediakan nilai-nilai yang
disatu sisi mendorong pertumbuhan pemikiran bagi perkembangan budaya dan disisi
lain justru menghambat dan mengekang pemikiran tersebut.
Dengan demikian, bagaimana pemeluk suatu agama dalam
memahami serta menafsirkan ajaran-ajaran agamanya akan sangat menentukan
kemajuan atau kemunduran masyarakat pemeluknya dalam menghadapi fenomena
kehidupan sosial yang berubah dengan sangat cepat. Salah satu kajian fenomenal
terhadap fenomena ini adalah apa yang diungkapkan secara panjang lebar oleh Max
Weber tentang pengaruh protestantisme dalam mendorong munculnya kapitalisme.[7]
d.
Masalah mayoritas dan minoritas
kelompok agama
Dalam suatu masyarakat yang plural, masalah mayoritas
dan minoritas seringkali menjadi faktor penyebab munculnya konflik sosial.
Setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam melihat fenomena konflik
mayoritas-minoritas, yaitu: (1) agama diubah menjadi suatu ideologi; (2)
prasangka mayoritas terhadap minoritas atau sebaliknya; (3) mitos dari
mayoritas.[8]
Sebagaimana yang biasa terjadi bahwa suatu kelompok
agama yang mayoritas seringkali mengembangkan suatu bentuk ideologi yang
bercampur dengan mitos yang penuh emosi sehingga sulit untuk dibedakan mana
kepentingan politik dan mana kepentingan agama, telah menimbulkan suatu
keyakinan bahwa kelompok mayoritas inilah yang memiliki wewenang untuk
menjalankan segala aspek kehidupan di masyarakat.
Kondisi seperti inilah yang pada akhirnya seringkali
memunculkan prasangka dan tindakan sewenang-wenang terhadap kelompok minoritas
yang akan bermuara pada timbulnya konflik sosial.
Dari keempat bentuk konflik sosial yang bermuara pada
permasalahan keagamaan diatas, kita bisa melihat bahwa betapa besar potensi
konflik yang terkandung pada masalah-masalah keagamaan.
Oleh karena itu, sudah selayaknya perhatian terhadap
potensi konflik dari agama memperoleh perhatian serius, termasuk dari kalangan
peneliti sosial keagamaan dalam memberikan gambaran yang lebih detail dan
komprehensif tentang fenomena keagamaan dengan memilih perspektif sosiologis
yang paling sesuai dengan permasalahan keagamaan yang dihadapi.
Fungsi ganda agama sebagaimana yang tergambar diatas
setidaknya telah menunjukkan kepada kita bahwa fenomena keagamaan yang terjadi
di masyarakat merupakan sebuah fenomena yang begitu dinamis, tidak hanya
mencakup wilayah teologis, akan tetapi selalu melibatkan faktor-faktor lain
seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Oleh karena itu, disiplin ilmu sosiologi memiliki
peluang yang cukup besar untuk menjadi perspektif utama dalam melihat fenomena
keberagamaan secara ilmiah. Mengingat begitu pentingnya posisi disiplin ilmu
sosiologi untuk mengungkapkan berbagai fenomena keagamaan secara akademik, maka
pemahaman yang komprehensif tentang berbagai perspektif sosiologis yang ada
menjadi suatu kebutuhan agar kita tidak terjebak hanya pada
perspektif-perspektif umum yang ada.
C. Pengertian Perilaku
Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang
dimiliki oleh manusia
dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan,
persuasi, dan/atau genetika.[9]
Perilaku seseorang
dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh,
dan perilaku menyimpang. Dalam sosiologi,
perilaku dianggap sebagai sesuatu yang tidak ditujukan kepada orang lain dan
oleh karenanya merupakan suatu tindakan sosial manusia
yang sangat mendasar. Perilaku tidak boleh disalahartikan sebagai perilaku sosial, yang
merupakan suatu tindakan dengan tingkat lebih tinggi, karena perilaku sosial
adalah perilaku yang secara khusus ditujukan kepada orang lain. Penerimaan
terhadap perilaku seseorang diukur relatif terhadap norma sosial
dan diatur oleh berbagai kontrol sosial. Dalam kedokteran
perilaku seseorang dan keluarganya dipelajari untuk mengidentifikasi faktor
penyebab, pencetus atau yang memperberat timbulnya masalah kesehatan.
Intervensi terhadap perilaku seringkali dilakukan dalam rangka penatalaksanaan
yang holistik dan komprehensif. Perilaku manusia dipelajari dalam ilmu psikologi,
sosiologi,
ekonomi,
antropologi
dan kedokteran.
Selain itu, Skinner juga memaparkan definisi perilaku
sebagai berikut perilaku merupakan hasil hubungan antara rangsangan (stimulus)
dan tanggapan (respon). Ia membedakan adanya dua bentuk tanggapan, yakni:
1. Respondent
response atau reflexive
response, ialah tanggapan yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu.
Rangsangan yang semacam ini disebut eliciting stimuli karena menimbulkan
tanggapan yang relatif tetap.
2. Operant response atau instrumental response, adalah
tanggapan yang timbul dan berkembangnya sebagai akibat oleh rangsangan tertentu, yang disebut reinforcing stimuli
atau reinforcer. Rangsangan tersebut dapat memperkuat respons
yang telah dilakukan oleh organisme. Oleh sebab itu, rangsangan yang demikian
itu mengikuti atau memperkuat sesuatu perilaku tertentu yang telah dilakukan.
Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku antara lain:
4. Kontrol perilaku pribadi, merupakan kepercayaan seseorang mengenai sulit tidaknya
melakukan suatu perilaku.
Dengan demikian yang dinamakan perilaku keagamaan merupakan segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang keagamaan, serta tindakannya yang berhubungan
dengan keagamaan, seperti ritual, dan ibadah lainya.
- Agama
dan pengaruhnya terhadap sikap/perilaku pemeluknya
Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu
sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut
menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan
keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memilikiarti yang
khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khusus.[10]
Dilihat dari fungsi dan peran agama dalam memberi
pengaruhnya terhadap individu, baik dalam bentuk sistem nilai, motifasi maupun
pedoman hidup, maka pengaruh yang paling penting adalah sebagai pembentuk kata
hati .
Kata hati ini menurut Erich adalah panggilan kembali
manusia kepada dirinya. Sedangkan Shaftesbury mengasumsikan kata hati sebagai
suatu rasa moral didalam diri manusia berupa rasa benar dan salah, suatu reaksi
emosional yang didasarkan atas fakta, bahwa pikiran manusia pada dirinya
sendiri dalam mengatur keharmonisan dirinya dengan tatanan kosmik.[11]
Berdasarkan pendekatan ini, maka pengaruh agama dalam
kehidupan individu dalah memberi kemantapan batin, rasa bahagia, rasa
terlindung, rasa sukses dan rasa puas sehingga mentalnya pun akan bahagia.
Perasaan positif ini lebih lanjut akan menjadi pendorong untuk berbuat. Agaam
dalam kehidupan individu selain menjadi motifasi dan nilai etik juga merupakan
harapan.[12]
Agama berpengaruh sebagai motifasi dalam mendorong
individu untuk melakukan suatu aktifiats, karena perbuatan yang dilakukan
dengan latar belakang keyakinan agama dinilai mempunyai unsur kesucian, serta
ketaatan. Keterkaitan ini akan memberi pengaruh diri seseorang untuk berbuat
sesuatu. Sedangkan agama sebagai nilik etik karena dalam melakukan sesuatu
tindakan seseorang akan terikat kepada ketentuan antara mana yang boleh dan
mana yang tidak boleh menurut ajaran
agama yang dianutnya.
Sebaliknya, agama juga sebagai pemberi harapan bagi
pelakunya. Seseorang yang melaksanakan perintah agama umumnya karena adnya
suatu harapan terhadap pengampunan atau kasih sayang dari sesuatu yang ghoib
(supernatural).
Motifasi mendorong seseorang untuk berkreasi, berbuat
kebajikan maupun berkorban. Sedangkan nilai etik mendorong seseorang untuk
berlaku jujur, menepati janji, menjaga amanat dan sebagainya. Sedangkan harapan
mendorong mendorong seseorang untuk bersikap ikhlas, menerima cobaan yang berat
ataupun berdo’a. Sikap seperti itu akan lebih terasa secara mendalam jika bersumber
dari keyakinan terhadap agama.
III. Kesimpulan
Agama dapat diartikan sebagai bentuk keyakinan manusia
terhadap sesuatu yang bersifat supernatural mempunyai fungsi dan peranan yang
luas terhadap sikap pemeluknya. Dalam kehidupan individu agama mempunyai fungsi
sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa agama
mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap sikap pemeluknya, ini terbukti
dengan adanya fungsi dan peran agama yang menyangkut motifasi, nilai etik dan
harapan.
Dengan motifasi beragama yang kuat akan membuat sikap pemeluknya
menjadi baik dan rela berkorban, sedangkan dengan nilai etik yang tinggi yang
dimiliki akan membuat sikap pemeluknya menjadi orang yang selalu berlaku jujur
serta menepati janji dan menjaga amanat dengan sebaik-baiknya. Adapun dengan
adanya harapan maka mampu mendorong bagi pemeluknya untuk bersikap ikhlas dan
menerima cobaan apapun serta mau berdo’a.
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, untuk itu kritik dan saran yang
membangun dari teman-teman dan khususnya dari Bapak Dosen Pengampu Mata Kuliah
Psikologi Agama sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Akhirnya kami mengucapakan syukur Alhamdulillah kepada
Allah yang selalu mambimbing kami dalam pembuatan makalah ini, semoga apa yang
kami sampaikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya
bagi dunia pendidikan. Amien
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi, Abu, 2007, Psikologi Umum,
Rineka Cipta: Jakarta
Darodjat, Zakiyah, 1995, Peranan Agama
dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Pustaka Setia.
Darodjat, Zakiyah, 1996, Dasar-dasar Agama
Islam, Jakarta, Universitas Terbuka
Fahmi,Mustofa, 1968, Kesehatan Jiwa
dalam Keluarga, sekolah dan Masyarakat, Gunung Agung: Jakarta.
Jalaluddin, 2004, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Notosoedirjo,Moeljono, 2000, Kesehatan
Mental konsep dan Penerapan, UMM: Surabaya.
http://Wikipediaislam.com,
2010/10/05
http://Woordpress
.com, 2010/10/08
[2] http://Woordpress
.com, 2010/10/08
[3] Jalaludin, Psikologi Agama, Raja
Grafindo: Jakarta, 2004, h. 245
[4] Ibid,
h.250
[5] Zakiyah Darodjat, Dasar-dasar
Agama Islam, UT; Jakarta, 1996, h. 26
[6] Moeljono Noetosoedirjo, Kesehatan
Mental, Konsep dan Penerapan, UMM: Surabaya, 2000, h. 15-20
[7] Zakiyah Darodjat, Peranan Agama
dalam Kesehatan Mental, Gunung Agung: Jakarta, 1995, h. 78
[8] Abu Ahmadi, Psikologi Umum, Rineka Cipta:
Jakarta, 1997, h. 67
[9] Id.wikipedia. org/wiki.?20/11/2010
[10] Jalaludin, Psikologi Agama, Raja
Grafindo, Jakarta, 2004, h. 246
[11] Ibid,
h. 248
[12] Mustofa
Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Gunung Agung: Jakarta , 1968, h. 56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar