Jumat, 07 Desember 2012

Biografi Natsir


A.Riwayat Hidup Muhammad Natsir

Muhammad Natsir dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1908 di Alahan Pajang, sebuah desa yang berhawa dingin terletak dalam daerah kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat, dengan gelar Datuk Sinaro, anak ketiga dari empat bersaudara. Natsir adalah orang yang penuh sopan santun, rendah hati dan bersuara lembut meskipun terhadap lawan-lawan politiknya.. Ayahnya bernama Idris Sutan Saripodo seorang juri tulis kontrolir dimasa pemerintahan Belanda. Ibunya bernama Khodijah yang dikenal taat memegang nilai-nilai ajaran Islam.[1]
Sebagai seorang pegawai bawahan, ayahnya sering berpindah tugas dari satu daerah lain. Semula ditugaskan di daearah asalnya Alahan Panjang, kemudian dipercaya menjadi asisten demang di Bonjol, berikutnya menjadi juru tulis kontrolir di Maninjau, lalu dimutasikan sebagai sipir di Bekuru Sulawesi Selatan menjelang pensiun dikembalikan lagi ke tempat tugas semula di Alahan Panjang.
Kondisi kehidupan orangtua yang sering berpindah tugas, ikut pula mempengaruhi latar belakang pendidikan Muhammad Natsir. Pada awalnya ia belajar pada sekolah rakyat di Maninjau yang memakai bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Ketika ayahnya dipindahkan ke Bekeru, ia tinggal bersama pamanya di Padang dan mengikuti pendidikan formal di HIS  (Hollandsch Inlandschs School) Adabiah, suatu sekolah swasta yang dikelola Haji Abdullah Ahmad dengan system pendidikan mengacu pada sekolah Belanda yang dilengkapi dengan pelajaran agama Islam. Lima bulan berselang , ketika di daerah Solok dibuka HIS Negeri, Natsir dipindahkan oleh orang tuanya ke HIS yang baru tersebut dan dititipkan pada Haji Musa seorang saudagar yang cukup terkenal di daerah Solok.
Di tempat ini Natsir tidak hanya belajar di lembaga pendidikan formal , tapi pada sore hari ia mendalamai pengetahuan agama di Madrasah Diniyah dan pada malam harinya belajar mengaji al Qur’an di Surau sekaligus mempelajari bahasa Arab, Surau itu bernama Surau Dagang (Surau Pasa Al-Wustha, sekarang sudah menjadi masjid), yang didirikan para pedagang di sekitar Alahan Panjang.Tiga tahun lamanya Natsir belajar di Solok tersebut dan seterusnya pindah ke HIS padang dinilai lebih bermutu jika dibandingkan dengan HIS Solok.
Ketika menamatkan pendidikan di HIS Padang Natsir berhasil meraih prestasi yang istimewa sehingga ia diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yakni MULO  (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dengan mendapatkan beasiswa dari pemerintahan Belanda. Di sekolah tersebut Natsir belajar bersama dalam satu kelas dengan murid-murid keturunan Belanda.[2]
Dengan berdirinya berbagai organisasi kepemudaan, seperti Jong Sumatera dan Jong Islamieten Bond wadah ini dimanfaatkan Natsir sebagai tempat berhimpun  dan berlatih mempersiapkan diri sebagai calon pemimpin bangsa di masa depan. Melalui aktivitas berorganisasi inilah mulai tumbuh kesadaran dalam diri Natsir tentang pentingnya hidup bermasyarakat dan bernegara.
Berangkat dari ketekunanya dalam belajar , akhirnya berhasil merampungkan pendidikanya di MULO Padang dengan prestasi memuaskan sehingga ia kembali mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Belanda untuk melanjutkan pendidikan di AMS (Algemeene Midel School) di bandung, yakini pendidikan setara SMA untuk jurusan Sastra Barat Klasik.
Sebagai seorang yang pernah hidup dalam suasana tradisi religius dan memahami pengetahuan agama yang memadai, ia menilai bahwa pola pendidikan yang diterapkan penjajah Belanda tidak sesuai dengan harapannya sebagai pribadi Muslim, karena tidak hanya akan mendangkalkan kesadaran keberagamaan siswa , lebih dari itu akan membuat antipati terhadap ajaran agama yang dianutnya. Apalagi setiap minggu merekan diwajibkan mendengarkan ceramah agama yang disampaikan oleh pendeta di Gereja, sudah barang tentu  hal ini merupakan strategi pemurtadan bagi siswa yang beragama Islam. Pada suatu ketika pendeta Chirtoffels pernah menyampaiakan ceramahnya tentang Islam dan dipublikasikan dalam surat kabar AID (Algemeen Indischs Dagblad) sebuah harian yang berbahsa Belanda, terkesan isinya sarat dengan penyimpangan fakta dan melecehkan sakralitas ajaran Islam.[3]
Berbekal pengetahuan yang diperoleh ketika masih belajar di kampong halaman, dilengkapi dengan bimbingan seorang ulama radikal yang dikenal sangat luas pengetahuanya bernama Al Hassan. Natsir mencoba memberikan reaksi terhadap ceramah pendeta itu melalui media yang sama.
Bimbingan yang diberikan Al Hassan dalam masalah agama , telah membekas begitu mendalam pada diri natsir. Juga ikut pula mempengaruhi keputusan yang diambilnya setelah menamatkan pendidikan di AMS Bandung. Tokoh lain yang tidak kalah pentingnya dalam pembentukan intelektual  Natsir adalah Haji Agus Salim, perkenalanya terjalin melalui aktvitas natsir sebagai pengurus organisasi JIB (Jong Islamieten Bond). Wadah ini telah banyak memberi kesempatan pada Natsir untuk berkunjung dan mandapatkan bimbingan langsung dari tokoh-tokoh intelektual muslim yang berpengaruh ketika itu seperti haji Agus Salim. HOS Cokroaminoto dan A.M Sangadji. Khusus Haji Agus Salim , sebagaimna dikatakan Ahmad Syafii maarif bahwa tokoh yang disebut terakhir  telah mewariskna segala-galanya  pada Natsir, meliputi kejujuran, intelektualisme Islam , sikap percaya diri, kecakapan mengurus Negara, kesetian pada prinsip – prinsip perjuangan, rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap nasib bangsa dan negara.
Natsir sendiri dalam tulisanya pernah mengungkapkan ketika berkunjung pada Haiji Agus Salim, suasana pendidikan yang diberikan muncul sedemikian rupa , yakni ikhlas , terbuka dan penuh kerelaaan . Pengetahuanya yang luas , baik dalam bidang agama maupun bidang kemasyarakatan menjadikn setipa orang betah untuk bertanya dan berdialog dengannya.
Di samping seperti kedua orang seperti diatas , tokoh lain yang memiliki andil dalam mengisi pemahaman keagamaan Natsir dalah Syeikh Ahmad Soorkoti, seorang ulama reformis  yang berwawasan luas dari kalangan organisasi al –Irsyad. Berbeda dengan Al Hassan yang pemahaman agamanya lebih bersifat tekstual normative, maka Ahmad Aoorkoti telah bercorak konstektual dan berorientasi ke masa depan. Ia memposisikan diri sebagai pengikut Muhammad Abduh. Melalui ulama inilah ,Natsir lebih banyak mengenal pemikiran pembaharuan yang dikembangkan Muhammmad Abduh  di Mesir, terutama melalui berbagai karya tulisanya.
Setelah menamatkan pendidikanya di AMS Bandung (1930), Natsir diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atas biaya pemerintah. Ada dua lembaga pendidikan tinggi yang dapat menerimanya ketika itu yakni, Recht Hogeschool (Fakultas Hukum) di Jakarta atau ke Fakultas Ekonomi di negeri Belanda. Kesempatan emas tersebut ditolaknya dan ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi manapun karena ingin memperdalam pengetahuanya tentang Islam sekaligus ingin segera berbakti untuk kepentingan masyarakat dan bangsanya. Dengan demikian pendidikan formal yang dilaluinya berakhir sampai sebatas manamatkan AMS di Bandung
Keterlibatan Natsir dalam bidang pendidikan telah dimulainya sejak ia menamatkan sekolah AMS di bandung tahun 1930. Aktivitasnya dalam bidang pendidikan dimulainya dengan mengadakan kursus sore hari. Ternyata kursus sore hari berkembang dan berubah menjadi suatu  lembaga pendidikan yang bernama “ Pendidikan Islam “ disingkat “Pendis” pada tahun  1932. Selama sepuluh tahun , yaitu dari tahun 1932-1942 “ Pendis “ berkembang dari mulai taman kanakkanak, HIS, MULO dan Kweekschool (sekolah guru). Setelah Jepang masuk ke Indonesia, Pendis telah berkembang keberbagai kota di Jawa Barat. Beberapa bulan sebelum Indonesia Merdeka tepatnya pada April 1945, ia terlibat dalam pendirian sekolah tinggi Islam bersama Bung Hatta , A. Kahar Muzakkir, . Setelah dikembangkan ke Yogyakarta, intitusi ini berkembang menjadi UII yang sekarang. UII selain tertua juga yang terbesar dari seluruh universitas Swasta dan bercorak Islam di tanah air sekarang ini.
Dari sekian banyak kegiatan yang dilakukan oleh Natsir , diduga kegiatan dalam bidang pendidikan merupakan puncak dari cita-cita yang didambakanya. Tampaknya Intitusi Pendidikan tersebut Natsir benar-benar dapat menerapkan cita-citanya mengenai pembaharuan Islam, yang neburut pemahamanya, cocok untuk kebutuhan mesyarakat. Agaknya tidak mengherankan, kalau sampai akhir hayatnya kegiatan pendidikan selalu ditekuninya.
Dalam dunia politik Beliau adalah Pendiri dan pemimpin partai MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia). Natsir telah mengembalikan Indonesia dari Republik Indonesia Serikat (RIS) ke Republik Indonesia. Natsir jua yang menyatukan kembali NKRI dengan cara damai tanpa ada tetesan darah.. Dalam dunia internasional, Natsir adalah Anggota Dewan Pendiri Rabithah Alam Islami (World Moslem League), juga pernah menjadi sekjennya. Dalam pemerintahan beliau pernah menjadi pedana menteri dan beberapa kali menjadi menteri. Beliau dikenal juga dengan the founding fathers. Natsir tidak hanya dikenal di Indonesia, tapi juga di dunia Islam. Abdullah Al-’Aqil dalam bukunya, Min A’lami Al-Harakah wa Ad-Da’wah Al-Islamiyah Al-Mu’ashirah, menulis biografi singkat DR. Muhammad Natsir (satu-satunya dari Indonesia) Natsir memang mengonsentrasikan kegiatannya untuk umat Islam dan kemudian memimpin Dunia islam. Dapat dikatakan, Natsir adalah anak bangsa Indonesia yang pernah menjadi tokoh Dunia Islam yang begitu dihormati sepanjang sejarah Indonesia bahkan sampai sekarang.[4]
Tahun 1967 beliau tidak terjun lagi ke dunia politik dan focus pada dakwah, beliau mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang aktif dalam gerakan amal tidah hanya di Jakarta tapi juga di daerah, beliau membantu dalam pendirian rumah sakit Islam dan pembangunan mesjid, dan mengirim mahasiswa tugas belajar mendalami Islam di Timur Tengah.Tahun 1980 beliau ikut terlibat dalam kelompok petisi 50 yang mengeritik Suharto Ia dicekal dalam semua kegiatan, termasuk bepergian ke luar negeri. Sejak itu Natsir hanya focus dalam kegiatan dakwah. (Dewan Dakwah Salemba Jakarta) yang juga berfungsi sebagai masjid dan pusat kegiatan diskusi, serta terus menerus menerima tamu mengenai kegiatan Islam.Atas segala jasa dan kegiatannya pada tahun 1957 Natsir memperoleh bintang kehormatan dari Republik Tunisia untuk perjuangannya membantu kemerdekaaan Negara-negara Islam di Afrika Utara. Tahun 1967 dia mendapat gelar Doktor HC dari Universitas Islam Libanon dalam bidang politik Islam, menerima Faisal Award dari kerajaan Saudi Arabia pada tahun 1980 untuk pengabdiannya pada Islam dan mendapatkan gelar Dr HC dari Universitas Sains dan Teknologi Malaysia pada tahun 1991 dalam bidang pemikiran Islam. Beliau mendapat gelar pahlawan nasional pada tgl 10 November 2008, walaupun ada pro dan kontranya. tapi jauh sebelum itu beliau sudah menjadi pahlawan bagi masyarakat Indonesia Pada tanggal 7 Februari 1993 Natsir meninggal dunia di Jakarta dan dikuburkan di TPU Karet, Tanah Abang
.Tidak sedikit tokoh umat yang terinspirasi (atau merasa terinspirasi) oleh Natsir. Tokoh-tokoh yang pernah melejit sebagai 'intelektual muda Islam', hampir selalu pernah dianggap sebagai Natsir muda. Yusril Ihza Mahendra, misalnya. Juga Amien Rais. Anwar Ibrahim dari Malaysia pun tak luput dari  masa dianggap sebagai Natsir muda. Tentu banyak nilai-nilai Natsir yang diserap para tokoh itu. Tapi, tak semua mampu mengikuti seluruh sisi Natsir. Ada yang gagal meneladani kesederhanaan dan kerendahatian Natsir.
Natsir juga bukan sosok yang selalu sabar. Sesekali ia juga masih tampak marah. Tetapi, dalam konteks membangun umat dan bangsa, ia seorang pendakwah sejati. Seorang yang selalu berpegang pada prinsip-prinsip kesantunan dan kesabaran dalam melangkah. Prinsip itu selalu dijaganya. Dengan kesantunan dan kesabaran ia jaga keutuhan bangsa dan umat ini. Baginya, bangsa dan umat bagai dua sisi berbeda dari keping mata uang yang  sama. Langkah-langkahnya hampir selalu diperuntukkan bagi bangsa dan umat sekaligus.

B.Perjuangan Muhammad Natsir

Ketika Belanda hendak menjadikan Indonesia negara serikat, Muhammad Natsir menentangnya dan mengajukan pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia. Usulan ini disetujui 90% anggota Masyumi. Tahun 1950, ia diminta membentuk kabinet sekaligus menjadi perdana Menterinya. Tapi belum genap setahun ia dipecat karena bersebrangan dengan presiden Soekarno. Ia tetap memimpin Masyumi dan menjadi anggota parlemen hingga tahun 1957. Pidatonya yang berjudul :“Pilihlah salah satu dari dua jalan, Islam atau Atheis. yang disampaikan di parlemen Indonesia dan dipublikasikan majalah “Al Muslimin”, punya pengaruh besar pada anggota parlemen dan masyaakat muslim Indonesia.[5]
Saat menerjuni bidang politik, Muhammad Natsir adalah sorang politikus piawai dan ketika menerjuni medan perang, ia menjadi panglima yang gagah berani, dan saat berdebat dengan musuh, ia tampil sebagai pakar ilmu dan dakwah. Muhammad Natsir menentang serangan membuta yang dilancarkan para antek-antek penjajah dan para kaki tangan Barat maupun Timur, dengan menerbitkan majalah Pembela Islam. Ia juga menyerukan Islam sebagai titik tolak kemerdekaan dan kedaulatan, pada saat Soekarno dan antek-anteknya menyerukan nasionalisme Indonesia sebagai titik tolak kemerdekaan.
 Soekarno bersekutu dengan Komunis yang terhimpun dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk melawan Muhammad Natsir dan Partai Masyumi. Pertarungan ini berlangsung hingga tahun 1961, Soekarno membubarkan Partai Masyumi dan menahan pemimpinnya, terutama Muhammad Natsir.Namun perlawanan kaum muslimin Indonesia tidak padam, terus berlanjut hingga terjadi revolusi militer yang berhasil menggulingkan Soekarno pada tahun 1965.
Dikalangan Islam garis keras, banyak yang berusaha melupakan kedekatan pikirannya dengan demokrasi Barat, seraya menunjukkan betapa gerahnya Natsir menyaksikan agresivitas misionaris Kristen di tanah air ini. Dan di kalangan Islam moderat, tidak sedikit yang melupakan periode ketika bekas perdana menteridari Partai Masyumi ini memimpin Dewan Dakwah Islamiyah, seraya mengenang masa tatkala perbedaan pendapat tak mampu memecah-belah bangsa ini.
Pluralisme, waktu itu, sesuatu yang biasa. Memang Mohammad Natsir hidup ketika persahabatan lintas ideology bukan hal yang patut dicurigai, bukan suatu pengkhianatan. Natsir pada dasarnya anti komunis. Bahkan keterlibatannya kemudian dalamPemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), antara lain, disebabkan oleh kegusaran pada pemerintah Soekarno yang dinilainya semakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Masyumi dan PKI, dua yang tidak mungkin bertemu. Tapi Natsir tahu politik identitas tidak di atas segalanya. Ia biasa minum kopi bersama D.N. Aidit di kantin gedung parlemen, meskipun Aidit menjabat Ketua Central Committee PKI ketika itu.[6]
Perbedaan pendapat pula yang mempertemukan Bung Karno dan Mohammad Natsir, dan mengantar ke pertemuan-pertemuan lain yang lebih berarti. Waktu itu, penghujung 1930-an, Soekarno yang menjagokan nasionalisme- sekularisme dan Natsir yang mendukung Islam sebagai bentuk dasar negara terlibat dalam polemik yang panjang di majalah Pembela Islam. Satu polemik yang tampaknya tak berakhir dengan kesepakatan, melainkan saling mengagumi lawannya.Lebih dari satu dasawarsa berselang, keduanya "bertemu" lagi dalam keadaan yang sama sekali berbeda. Natsir menjabat menteri penerangan dan Soekarno presiden dari negeri yang tengah dilanda pertikaian partai politik. Puncak kedekatan Soekarno-Natsir terjadi ketika Natsir sebagai Ketua Fraksi Masyumi menyodorkan jalan keluar buat negeri yang terbelah-belah oleh model federasi. Langkah yang kemudian populer dengan sebutan Mosi Integral, kembali ke bentuk Negara kesatuan, itu berguna untuk menghadang politik pecah-belah Belanda.[7]
Mohammad Natsir, sosok artikulatif yang selalu memelihara kehalusan tutur katanya dalam berpolitik, kita tahu dan tak bisa menghindar dari konflik keras dan berujung pada pembuktian tegas antara si pemenang dan si pecundang. Natsir bergabung dengan PRRI/Perjuangan Rakyat Semesta, terkait dengan kekecewaannya terhadap Bung Karno yang terlalu memihak PKI dan kecenderungan kepemimpinan nasional yang semakin otoriter. Ia ditangkap, dijebloskan ke penjara bersama beberapa tokoh lain tanpa pengadilan.
Dunianya seakan-akan berubah total ketika Soekarno, yang memerintah enam tahun dengan demokrasi terpimpinnya yang gegap-gempita, akhirnya digantikan Soeharto. Para pencinta demokrasi memang terpikat, menggantungkan banyak harapan kepada perwira tinggi pendiam itu. Soeharto membebaskan tahanan politik, termasuk Natsir dan kawan-kawannya. Tapi tidak cukup lama Soeharto memikat para pendukung awalnya. Pada 1980 ia memperlihatkan watak aslinya, seorang pemimpin yang cenderung otoriter.
Natsir yang konsisten itu tidak berubah, seperti di masa Soekarno dulu. Ia kembali menentang gelagat buruk Istana dan menandatangani Petisi 50 yang kemudian memberinya stempel "musuh utama" pemerintah Soeharto. Para tokohnya menjalani hidup yang sulit. Bisnis keluarga mereka pun kocar-kacir karena tak bisa mendapatkan kredit bank. Bahkan beredar kabar Soeharto ingin mengirim mereka ke Pulau Buru, pulau di Maluku yang menjadi tempat tahanan politik pengikut PKI. Soeharto tak memenjarakan Natsir, tapi dunianya dibuat sempit para penandatangan Petisi 50 dicekal
Mohammad Natsir meninggalkan kita pada 1993. Dalam hidupnya yang cukup panjang, di balik kelemah lembutannya, ada kegigihan seorang yang mempertahankan sikap. Ada keteladanan yang sampai sekarang membuat kita sadar bahwa bertahan dengan sikap yang bersih, konsisten, dan bersahaja itu bukan mustahil meskipun penuh tantangan. Hari-hari belakangan ini kita merasa teladan hidup seperti itu begitu jauh, bahkan sangat jauh.


C. Manhaj Dakwah Muhammad Natsir

      Keluar dari penjara, Muhammad Natsir dan rekan-rekannya mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia yang memusatkan aktivitasnya untuk membina masyarakat, mengerahkan para pemuda, dan menyiapkan dai. Kemudian cabang-cabang DDI terbentuk di seluruh Indonesia, dan generasi muda dapat mengenyam fikrah Islam yang benar, memberi pengarahan kepada masyarakat, mendirikan pusat-pusat kegiatan Islam (Islamic Center) dan masjid, menyebarkan buku-buku Islam, membentuk ikatan-ikatan pelajar Islam, serta mendirikan beberapa asosiasi profesional: para insinyur, petani, pekerjadan lain-lain. Ia juga menjalin hubungan dengan gerakan-geraka Islam Internasional, untuk saling tukar pengalaman dan saling mengokohkan persatuan. tahun 1967, Muhammad Natsir dipilih menjadi Wakil Ketua  Muktmar Islam Internasiomal di Pakistan.
Muhammad Natsir sangat seius memperhatikan masalah Palestina. Ia temui tokoh, pemimpin dan dai di negara-negara Arab dan Islam untuk membangkitkan semangat membela Palestina, setelah kekelahan tahun 1967. siang dan malam Muhammad Natsir berkunjung ke wilayah di Indonesia untuk urusan dakwah. Rakyat Indonesia mulai mendekati dai untuk mengenal Islam yang benar. Kesadaran berislam pun merebak dikalangan mahasiswa dan pelajar, juga menyentuh para intelektual.[8]

D. Ungkapan-ungkapan Muhammad Natsir

 “Islam tidak terbatas pada aktivitas ritual muslim yang sempit, tapi pedoman hidup bagi individu, masyarakat dan negara. Islam menentang kesewenang-wenangan manusia terhadap saudaranya. karena itu, kaum muslimin harus berjihad untuk mendapatkan kemerdekaan. Islam menyetujui prinsip-prinsip negara yang benar. Karena itu, kaum muslimin harus mengelola negara yang merdeka berdasarkan nilai-nilai Islam. Tujuan ini tidak terwujud jika kaum muslimin tidak punya keberanian berjihad untuk mendapatkan kemerdekaan, sesuai dengan nilai-nilai yang diserukan Islam. Mereka juga harus serius membentuk kader dari kalangan pemuda muslim yang terpelajar.”
Saat diwawancarai dengan redaktur majalah “Al-Wa’yul Islami” Kuwait di kediaman Muhammad Natsir pada tahun 1989, Muhammad Natsir berkata: “Saya tidak takut masa depan, karena tidak ada bahaya. Masa depan milik Umat Islam, jika mereka tetap istiqomah, baik secara pribadi atau kolektif.” Ketika redaktur bertanya tentang tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam dirinya dan mempengaruhi perjuangannya, Muhammad natsir menjawab: “Haji Syaikh Muhammad Amin Al-Husaini, Imam Asy Syahid Hasan Al-Banna dan Imam Al-Hudhaibi. Sedang tokoh - tokoh Indonesia adalah Syaikh Agus Salim dan Syaikh Ahmad Surkati.”[9]

E. Karya-Karya Muhammad Natsir
Dalam berpolitik untuk umat, Natsir telah mengukir karya yang hingga sekarang belum ada tandingannya. Baginya, keislaman akan selalu berjalan seiring dengan intelektualitas, profesionalitas. Partai Masyumi yang dibangunnya adalah representasi cara pandang itu. Baginya, berpartai bukan  buat kedudukan dan harta. Berpartai adalah buat memperjuangkan nilai-nilai kabangsaan dan keislaman yang mencakup intelektualitas-profesionalitas. Ini sisi lemah bangsa dan umat ini, hingga tertinggal dari bangsa lain.
Banyak tokoh bangsa dan umat kita saat ini yang lemah dalam  intelektualitas. Apalagi profesionalitas. Padahal, tidak akan ada bangsa dan umat yang dapat maju tanpa banyak karya tulis yang ditinggalkan oleh Muhammad Natsir, baik yang terkait dengan dakwah atau pemikiran. Sebagian telah diterbitkan dalam bahasa Arab dengan jumlah lebih dari 35 buah buku, diantaranya adalah Fiqhud Da’wah (Fikih Dakwah) dan Ikhtaru Ahadas Sabilain (Pilih salah satu dari dua jalan). Disamping itu masih banyak ceramah, riset, makalah Muhammad Natsir yang tersebar dan tidak dapat dihitung.[10]      

F. Jabatan yang pernah diduduki Muhammad Natsir
 Jabatan yang pernah diduduki Muhammad Natsir antara lain :
      1.  Ketua Jong Islamieten Bond, Bandung.
      2.  Mendirikan dan mengetuai Yayasan Pendidikan Islam di Bandung.
      3.  Direktur Pendidikan Islam, Bandung.
      4. Menerbitkan majalah Pembela Islam, dalam melawan propaganda antek-antek penjajah dan kaki tangan asing.
      5.  Anggota Dewan Kabupaten Bandung.
      6.  Kepala Biro Pendidikan Kota Madya (Bandung Shiyakush).
      7.  Memimpin Majelis Al Islam A’la Indunisiya (MIAI).
      8.  Menjadi pimpinan Direktorat Pendidikan, di Jakarta.
      9.  Sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) Jakarta.
      10. Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
      11. Anggota MPRS.
12.Pendiri dan pemimpin partai MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) Dalam pemilu 1955, yang dianggap pemilu paling demokratis sepanjang sejarah bangsa, Masyumi meraih suara 21% (Masyumi memperoleh 58 kursi, sama besarnya dengan PNI. Sementara NU memperoleh 47 kursi dan PKI 39 kursi). Pencapaian suara Masyumi itu belum disamai, apalagi terlampaui, oleh partai Islam setelahnya, hingga saat ini
13. Menentang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda dan mengajukan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini dikenal dengan Mosi Integrasi Natsir. Akhirnya RIS dibubarkan dan seluruh wilayah Nusantara kecuali Irian Barat kembali ke dalam NKRI dengan Muhammad Natsir menjadi Perdana Menterinya penyelamat NKRI, demikian  presiden Soekarno menjuluki Natsir.
      14. Menteri Penerangan Republik Indonesia.
      15. Perdana Menteri pertama Republik Indonesia.
16. Anggota Parlemen. Penentang utama sekulerisasi negara, dengan pidatonya “Pilih Salah Satu dari Dua Jalan; Islam atau Atheis” di hadapan parlemen,  memberi pengaruh yang besar bagi anggota parlemen dan masyarakat muslim Indonesia.
      17. Anggota Konstituante.
      18. Menyatukan kembali Aceh yang saat itu ingin berpisah dari NKRI.
19. Mendirikan dan memimpin Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), yang cabang-cabangnya tersebar ke seluruh Indonesia.
      20. Wakil Ketua Muktamar Islam Internasional, di Pakistan.
21. Aktif menemui tokoh, pemimpin dan dai di negara-negara Arab dan Islam untuk membangkitkan semangat membela Palestina.
22. Anggota Dewan Pendiri Rabithah Alam Islami (World Moslem League), juga pernah menjadi sekjennya. Natsir adalah pemimpin dunia Islam yang amat dihormati—Sekretaris Jenderal Rabitah Alam Islami meminta hadirin berdiri saat pak Natsir memasuki ruang sidang organisasi dunia Islam itu.
      23. Anggota Majelis Ala Al-Alamy lil Masajid (Dewan Masjid Sedunia).
      24. Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London.
25. Pendiri UII (Universitas Islam Indonesia) bersama Moh. Hatta, Kahar Mudzakkir, Wahid Hasyim. Juga enam perguruan tinggi Islam besar  lainnya di Indonesia.
26. Ketika presiden Soeharto kesulitan menuntaskan konforontasi  Indonesia-Malaysia (yang dimulai presiden Soekarno), berkat bantuan dan jasa hubungan baik Natsir dengan Perdana Menteri (PM) Tengku Abdul Rahman, Malaysia membuka diri menyelesaikan konfrontasi, dan Letjen TNI Ali Moertopo, Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto, diterima berunding pejabat Malaysia.
27. Berkat jasa hubungan baik Natsir dengan PM Fukuda juga, pemerintah Jepang bersedia membantu Indonesia setelah perekonomian negara ambruk di masa Orde Lama dan setelah pemberontakan G 30 S/PKI
 28.Karena jasa baik dan pengaruh ketokohan Muuhammad Natsir pula, Presiden Soeharto diterima di negara-negara Timur Tengah dan Dunia Islam. Natsir adalah anak bangsa Indonesia yang pernah menjadi tokoh Dunia Islam  yang begitu dihormati sepanjang sejarah Indonesia bahkan sampai sekarang.[11]

G. JASA DAN PENGHARGAAN MUHAMMAD NATSIR

      Atas segala jasa dan kegiatannya, maka Natsir pernah mendapatkan beberapa penghargaan antara lain :
  1. Pada tahun 1957 Natsir memperoleh bintang kehormatan dari Republik Tunisia untuk perjuangannya membantu kemerdekaaan Negara-negara Islam di Afrika Utara.
  2. Tahun 1967 dia mendapat gelar Doktor HC dari Universitas Islam Libanon dalam bidang politik Islam, menerima Faisal Award dari kerajaan Saudi Arabia.
  3. Tahun 1980 untuk pengabdiannya pada Islam dan Dr HC dari Universitas Sains dan Teknologi Malaysia
  4.  Tahun 1991 dalam bidang pemikiran Islam dan Dr HC dari Universitas Sains dan Teknologi Malaysia
Natsir memang termasuk tokoh langka. Ini diakui salah satunya oleh George McT Kahin, Guru Besar Cornell University. “Saat pertama kali berjumpa  dengannya di tahun 1948, pada waktu itu ia Menteri Penerangan RI, saya menjumpai sosok orang yang berpakaian paling camping (mended) di antara semua pejabat di Yogyakarta. Itulah satu-satunya pakaian yang dimilikinya, dan beberapa minggu kemudian staf yang bekerja di kantornya berpatungan membelikannya sehelai baju yang lebih pantas, mereka katakan pada saya, bahwa pemimpin mereka itu akan kelihatan seperti ‘menteri betulan’,” kata Kahin menceritakan sosok Natsir.[12]
Ia juga sangat bersahaja dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya. Mendapat ijazah perguruan tinggi dari Fakultas Tarbiyah Bandung. Mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Ia juga menerima gelar kehormatan akademik dari Universitas kebangsaan malaysia (UKM). Menjadi Perdana  Menteri dalam usia 42 tahun, dan kembali ke haribaan Ilahi pada 6 Februari 1993 di Jakarta. .[13]
Demikian sekilas catatan biografi Muhammad Natsir. Mudah-mudahan Anda tidak mencukupkan diri mengenal tokoh-tokoh Islam dari tulisan ini saja. Di tengah aktivitas Anda dapat menyisihkan sebagian waktu untuk berburu informasi  tentang para pejuang Islam. Masih begitu banyak nama-nama besar dalam dakwah Islam di Indonesia .
.

III. KESIMPULAN

 Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan antara lain :
  1. Bahwa perjuangan harus selalu ada seperti yang dilakukan oleh Natsir.
  2. Natsir merupakan salah satu pahlawan nasional yang patut kita teladani bersama dalam hal perjuanganya serta semangat berfikirnya untuk kemjuan bangsa dan Negara.
  3. Pada saat sekarang ini dibutuhkan tokoh-tokoh seperti Natsir untuk terus berjuang untuk memperjuangkan nasib bangsa.
  4. Kita harus selalu maju dan membela yang benar dan jangan takut dengan kedhaliman sama seperti semangat Natsir.
  5. Tentang kemunduran umat Natsir berpendapat bahwa penyebabnya karena anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
  6. Untuk mengahadapi tantangan masa depan diperlukan sifat Istiqomah agar selamat dunia akhirat.
Demikianlah keimpulan yang dapat kami buat . Semoga makalah ini bermanfaat bagi dunia pendidikan pada umumnya dan khususnya bagi saya pribadi serta teman-teman, kritik dan saran sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini khususnya dari Ibu dosen pengampu mata kuliah Penelitian Sejarah














DAFTAR PUSTAKA

Natsir, Muhammad, Pendidikan, Pengorbanan Kepemimpinan Primordialisme dan Nostalgia, ( Jakarta, Media dakwah, 1987 )
Natsir, Muhammad, 70 tahun kenang-kenangan kehidupan dan perjuangan ( Jakarta, Pustaka Antara, 1978 ),
Natsir, Muhammad , Kapita Selekta, ( Jakarta, Van Hoeve, 1954 ),
Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta Quantum Teaching, , 2005 ),
Sholehuddin, Sugeng, Modernisasi Gagasan , Praktek dan Konsep Pemikiran Pendidikan Islam, (STAIN Pekalongan,2003),
http://andaleh.blogsome.com
http://qudrat.multiply.com/journal/item/54



[1] Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta Quantum Teaching, , 2005 ), h. 288
[2] Ibid, h. 289
[3] Ibid, h. 291
[4] Muhammad Natsir, Pendidikan, Pengorbanan Kepemimpinan Primordialisme dan Nostalgia, ( Jakarta, Media dakwah, 1987 ) h. 35
[5] Muhammad Natsir, 70 tahun kenang-kenangan kehidupan dan perjuangan (Jakarta, Pustaka Antara, 1978 ),h. 56
[6] Ibid, h. 58
[7] Ibid, h. 60
[8] Muhammad Natsir, Kapita Selekta, ( Jakarta, Van Hoeve, 1954 ), h. 87
[9] Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta Quantum Teaching, , 2005 ), h. 290
[10] http://dunia.pelajar-islam.or.id/?p=1312
[11]http://andaleh.blogsome.com

[12] Muhammad Natsir, 70 tahun kenang-kenangan kehidupan dan perjuangan ( Jakarta, Pustaka Antara, 1978 ),h. 32
[13] http://qudrat.multiply.com/journal/item/54


Tidak ada komentar:

Posting Komentar